Chereads / Sabine / Chapter 40 - Akhir Petualangan

Chapter 40 - Akhir Petualangan

Saat bertemu dengan Akhyar, Sabine sempat mencurahkan isi hatinya bahwa dia berkeinginan untuk bertemu Mama dan dua kakaknya yang berada di Melbourne. Sabine juga beralasan ingin memperkenalkan Niko ke keluarganya. Sebenarnya Sabine ingin ke sana secepatnya, tapi dirinya tidak kuasa memaksa Niko, karena kesibukan Niko yang tidak dapat dielak.

Dan Akhyar lah yang mengusulkan untuk segera ke sana. Dia bersedia mengatur semua dan malah ingin ikut serta. Awalnya tentu saja Niko keberatan karena masih mengira bahwa Akhyar masih mengharapkan Sabine jatuh ke pelukannya. Tapi apa iya? Untuk apa? Setahu dirinya, tak mungkin Akhyar melakukan tindakan yang bodoh. Akhyar adalah orang yang sangat hati-hati dalam mengambil keputusan. Dia sangat mengenal mantan bosnya itu.

Niko akhirnya mengikuti saran Akhyar setelah mendengar alasan yang cukup menyentuh dari Akhyar mengenai Sabine.

"Dia ingin sekali ketemu Mama dan kakak-kakaknya, meskipun dia tau bahwa dia tidak diinginkan mereka. Dia hanya ingin merasa bahwa dia tidak sendiri di dunia ini. Dia hanya ingin bisa berkata ini mamaku, ini kakakku. Kamu adalah awal mula, Niko. Dia bahagia sekali saat mengatakan Om Niko itu suamiku, orang yang sangat dekat dengan aku. Jadi, berilah dia kesempatan untuk bahagia, bertemu mamanya. Walau hanya seminggu, paling tidak dia bisa memeluk mamanya. Kamu juga bisa lebih mengenalnya, keluarganya. Kemudian, kamu kenalkan dia ke keluarga kamu di Bantul."

Alasan yang cukup bagi Niko untuk berkesimpulan bahwa Akhyar sudah merelakan Sabine berada di sisinya.

"Senang?" tanya Niko yang sudah siap-siap tidur. Sabine yang di sampingnya senyum-senyum memandangnya.

"Biasanya jam segini masih main hape. Sudah dua malam ini kamu langsung mau tidur. Lupa kasih ciuman ke Om." Niko sedikit merengut.

"Kenapa? Biar waktu berangkat ke Melbourne terasa lebih cepat? Yang sabar dong,"

Sabine mengangguk. Senyumnya usil sekali.

"Boleh?" tanya Niko dengan senyum menggoda.

Sabine mengangguk lagi.

Lalu dengan semangat Niko melepas pakaian tidur Sabine.

"Om..., yang pelan," desah Sabine saat dua tangan Niko sudah menggenggam penuh buah dadanya.

"Kalo pelan nggak kerasa, Sayang," balas Niko. Dia sudah siap-siap menindih Sabine.

"Soalnya anu Om gede...,"

"Sakit?"

"Nggak, Om. Cuma jadi capek banget. Soalnya nagih terus. Kepingin lagi."

Niko tergelak mendengar pengakuan Sabine.

Dan malam itu mereka menghabiskan waktu khusus dengan sangat hikmad.

Apalagi Niko yang merasa masalah Sabine dan Akhyar sudah selesai, seakan malam ini adalah awal dia merasa memiliki jiwa dan raga Sabine seutuhnya, juga di hari-hari selanjutnya. Pun Sabine, tanpa jenuh menatap wajah Niko yang tampak sangat bahagia ketika merasakan sentuhan mautnya.

***

"Jangan ngobrol yang nggak-nggak ya?"

"Maksud, Om?"

"Kamu tau sugar Daddy sahabatmu itu kan sahabat Om. Nanti obrolannya ngalor ngidul ke mana-mana lagi."

Sabine tertawa.

"Yah, nggaklah. Bella ama Katie itu malah nggak pernah nyampein gosip-gosip nggak jelas ke sugdad mereka, Om. Tau sendiri mereka cuma senang-senang..., yang penting duit lancar. Hahaha..., kalo prinsip Bella nggak mau mumet. Makanya mereka kalo udah ketemuan, fokus sama sugdad mereka dan nggak pernah nyinggung hal-hal lain. Biar nyaman sama nyaman."

Niko menggeleng mendengar celoteh Sabine.

"Oke, Om paham. Karena kamu juga punya pengalaman...," ujarnya tanpa ada maksud menyinggung. Dan Sabine hanya tersenyum simpul.

"Hati-hati, Sayang. Hubungi Om kalo udah selesai...,"

Sore itu Niko mengantar Sabine ke Café tempat Sabine dan dua sahabatnya bertemu. Bella sebelumnya menghubungi Sabine untuk bertemu. Mereka kangen ngobrol, juga ingin tahu keadaan Sabine setelah menikah. Sabine tentu senang. Dia juga rindu Bella dan Katie, dua sahabat yang kadang menyebalkan tapi tetap hangat.

"Ok, Om," balas Sabine yang sudah menutup pintu mobil dari luar.

Niko tidak langsung melajukan mobilnya. Dilihatnya langkah Sabine menuju pintu utama café. Sejenak kata-kata Uzma, adik Akhyar terngiang di telinganya.

"Dia seperti kehilangan semangat hidup sejak Sabine menghilang. Dia banyak cerita tentang Sabine. Dia merasa ada yang membuatnya begitu dekat ketika berdekatan dengan anak itu....Dia punya kesalahan masa lalu, yang membuatnya tidak ingin menikah...,"

Niko menelan ludahnya. Akhyar memang tidak pernah menikah. Lalu kesalahan apa? Sebenarnya dia ingin tahu lebih lanjut, tapi sepertinya Uzma tidak merasa nyaman ketika Akhyar dan Sabine muncul di ruang tamu.

Sebegitu spesialkah Sabine di hati Akhyar? Kenapa bisa?

Niko menggelengkan kepalanya. Cepat-cepat dia buang rasa penasaran tentang Akhyar. Dia tidak ingin terlalu jauh memikirkannya hingga menghambat langkah masa depannya yang akan dia jalanji bersama Sabine.

***

Bella dan Katie berteriak histeris saat Sabine melangkah menuju mereka yang sudah duduk manis di meja café.

"Ya ampuuun, Sabiiiine!! Lo berubah!!" Bella menganga melihat penampilan Sabine yang sangat feminim dan lebih rapih. Blus wrap pink sangat pas melekat di tubuh Sabine saat itu.

"Lo cantik banget..., ndut dikit," puji Katie sambil membandingkan lengannya yang memang agak kecil dibanding lengan Sabine yang berisi.

Sabine lalu memeluk kedua sahabatnya dengan penuh rasa rindu. Sahabat yang amat berjasa baginya karena melalui mereka, dia akhirnya bertemu dengan cinta pertama sekaligus cinta sejatinya.

"Hm..., wangi parfumnya udah beda loh, Bel..., mahal punya. Beda ya..., kalo jadi istri bankir sukses si Nikolaus Loudin...," sindir Katie. Matanya penuh binar melihat Sabine.

"Lo lo nggak berubah. Pada lebay semua...," tanggap Sabine seraya meletakkan pantatnya di kursi café.

Lalu dengan santai dia merogoh tas kecilnya dan meraih rokok dan zippo.

Bella dan Katie tertawa melihatnya.

"Hah! Ternyata..., gue kira kegiatan yang satu ini udah selesai juga..., udah kita nahan-nahan nggak merokok," rutuk Bella.

Sabine langsung menggeser kotak rokoknya ke arah Bella dan Katie.

"Hm..., gaya lo, Sab," decak Bella sambil mengambil satu batang rokok dari kotak rokok milik Sabine, lalu menyalakannya dengan zippo mahal Sabine. Katie melakukan hal yang sama.

"Wah..., memang beda zippo mahal nih," puji Bella memulai.

"Ambil...,"

"Asyik. Nah gitu dong."

Sabine tertawa melihat ulah Bella yang tidak berubah. Tampak Bella buru-buru meletakkan zippo ke dalam tasnya setelah menyalakan rokoknya dan rokok yang ada di ujung mulut Katie.

"Ah. Lega..., dari tadi asem mulut gue, Sab...,"

"Lagian ngapain juga nunggu gua baru ngasap...,"

Bella nyengir.

"Gimana kabar lo, Sab?" tanyanya akhirnya.

"Lo liat gue dong," jawab Sabine dengan gaya soknya.

"Hah..., gaya lo,"

Tiba-tiba Bella dan Katie saling pandang. Lalu keduanya melemparkan pandangan ke arah Sabine secara bersamaan.

Hening seketika setelah itu. Mereka asyik menghisap rokok.

Sabine heran melihat sikap Bella dan Katie yang seakan ingin bertanya sesuatu tapi sepertinya tidak berani mengungkapkannya.

"Lo..., hm..., gimana dengan laki lo? Asyik?" tanya Bella akhirnya. Dia terlihat kikuk. Karena takut menyinggung perasaan Sabine.

"Iya..., asyik."

Bella mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu sebentar melirik Katie yang mencibir ke arahnya.

"Paan si lo?" rutuk Bella ke Katie yang memandangnya remeh.

"Sab..., lo oke dengan Om Niko?" tanya Katie. Sepertinya malah Katie yang lebih berani dari Bella. Bella mulai sedikit gelisah.

"Bukannya dia hm..., letoy..."

Sabine terbahak-bahak.

"Lo sarap...,"

Sabine membuang ampas rokoknya di asbak. Lalu menghirup kopi panasnya. Dia masih tertawa.

"Lo tau dari mana Om Niko begini?" tanya Sabine sambil menunjukkan jari telunjuknya dengan gerakan melingkar ke bawah.

"Om Beni. Gue nguping dia dapat telpon dari Om Bira. Kira-kira seminggu setelah lo kawinlah. Mereka bahas Om Niko. Ada yang naksir gitu dengan Om Niko, tapi Om Bira malah bilang ke cewek yang naksir itu kalo Om Niko itu beginiiii."

Sabine tersenyum menggeleng.

"Jadi kayaknya udah banyak yang tau juga tentang laki lo, Sab,"

Sabine menarik dua bibirnya sambil menaikkan alis matanya.

"Gue justru tau dia begitu sebelum menikah," ucapnya.

"Trus?"

Sabine tertawa kecil melihat wajah dua sahabatnya yang penasaran dengan kisah rumah tangganya. Terutama urusan ranjang. Mungkin karena khawatir saja.

"Ya..., he is not that bad. He is hot,"

"Maksud lo?"

"It is working. Udah ah. Ngapain bahas-bahas ranjang gue. Gue malah pingin tau kabar-kabar lo lo pada,"

"Jadi dia nggak letoy?"

"Keteeeeek..., lo ah. Iya, gede..., puas lo!"

"Lo apain?"

"Belooong..., ampun dah! Kalian... Gue latih sampai dia pinterr,"

Akhirnya Bella dan Katie menghela lega.

"Hm..., Daddy Akhyar?"

Sabine jadi curiga dengan dua sahabatnya. Jangan-jangan dari mereka juga Akhyar jadi tahu perihal pernikahannya. Tapi dia urung membahasnya.

"Ya..., dua hari lalu gue sama Niko ke rumahnya. Dan, rencananya kami bertiga berangkat ke Melbourne...,"

Bella dan Katie lagi-lagi memasang wajah sangat kaget.

"Wow..., hidup lo hepiending banget, Sab...," puji Katie.

"Emang Niko nggak cemburu? Bukannya Daddy Akhyar suka sama lo,"

"Gue dan Daddy Akhyar sepakat berdamai..., dan..., Daddy Akhyar angkat gue jadi babynya...,"

"Maksud lo,"

"Jadi anak pungut...,"

"Sabine?"

Sabine memainkan alis matanya.

Empat mata dua sahabat Sabine berbinar melihatnya.

"Pantas lo, bahagia bangeeeeet. Gue iriiii," rengek Bella sambil memukul-mukul meja café.

Sabine tertawa. Juga Katie.

"Katie bakal jadi ipar lo, Sab. Bulan depan dia bakal dilamar Bang Ridwan...," ujar Bella tiba-tiba.

"Ha? Katie?"

Tak ayal Sabine langsung memburu Katie. Memeluknya kuat-kuat. Tidak menyangka Katie menyimpan perasaan khusus tentang 'abang'nya.

Katie lalu bercerita tentang kisahnya yang sudah mantap memutuskan hubungannya dengan Beni. Awalnya memang sangat berat. Beni juga sudah terlanjur cinta dengannya. Tapi Katie berpikir, jika seandainya Beni menceraikan istrinya, lalu menikahinya, pasti ke depan hidupnya penuh dengan caci maki. Katie tidak sanggup membayangkannya. Katie juga tidak tega dengan nasib anak dan istri Beni kelak. Cukup sudah petualangannya. Dia juga menikmatinya. Saatnya untuk mengubah nasib.

Dan..., entah kenapa sejak dia putus dari Beni, Katie tiba-tiba mengingat Ridwan. Ridwan yang sangat menyayangi Sabine hingga bersedia membiayai acara pernikahan Sabine dan Niko. Pasti Ridwan pria yang sangat baik hati. Iseng, Katie nekat ke pasar tempat Ridwan menjual ikan. Katie langsung mengajaknya bicara dari hati ke hati. Berdua di warung kopi di tengah pasar. Katie mencurahkan segala yang dia rasakan selama hidupnya. Hingga berterus terang bahwa dia sempati hidup bergantung dengan pria matang tanpa ikatan.

Dua hari setelah itu, Ridwan menghubunginya. Ridwan bersedia menjadi 'pasangan'nya. Merasa cocok dengan Katie, seminggu setelahnya, Ridwan melamar Katie. Katie pun menerimanya.

Sabine menangis sejadi-jadinya mendengar kisah Katie. Dia lalu menelpon Ridwan saat itu juga. Terdengar suara Ridwan meraung-raung menyebut nama Sabine. Dia rindu Sabine.

"Katieee..., gue doain lo bahagia kayak gue. Bang Ridwan itu baiiiiik. Penampakan dia emang sangar. Lo pasti jadi perempuan yang sangat beruntung. Gue yakin...,"

Katie mengangguk membenarkan apa yang diucapkan Sabine. Ridwan memang pria baik hati.

"Bella juga udahan dari Om Ikhsan, Sabine. soalnya Om Ikhsan punya sugbab baru. Namanya Asni..., mantan Akhyar. Tetangga lo," jelas Katie sambil merangkul Bella.

Sabine terperanjat.

"Lo kenal dia juga, Bel?," tanya Sabine.

"Ya..., bahkan gue dikenalin dengan Om Ikhsan..., rencana awal Om Ikhsan memang mau punya dua, gue ama Asni. Tapi gue ogah. Gue akhirnya minta putus. Beda kalo Om Beni berat melepas Katie, Ikhsan justru dengan gampang melepas gue. Mungkin dia udah seneng dengan Asni," Bella menghela napas berat. Dia sangat kecewa.

"Tapi gue seneng. Malah lebih lega karena hubungan kami berakhir tanpa drama. Doain gue cepat menemukan pria yang mau menerima gue apa adanya, seperti pria-pria yang lo lo dapatkan. Yang mau menerima lo juga masa lalu lo...,"

Lalu ketiganya berangkulan. Menangis sesenggukan.

"Pasti, Bella..., lo pantas dapat yang lebih baik...," ucap Sabine.

***