Pagi semakin beranjak tinggi. Niko dan Sabine masih tertidur lelap. Peristiwa semalam benar-benar membuat pasutri itu lelah hingga tak mampu beranjak dari ranjang. Posisi tidur mereka berpelukan. Berhadap-hadapan pula.
Tiba-tiba ponsel Niko yang tergeletak di atas meja kecil di samping tempat tidur berbunyi cukup keras. Niko pun terbangun dibuatnya. Diraihnya benda itu. Ternyata Evi yang menghubunginya. Niko menekan tombol sisi kanan ponsel. Dia tidak ingin suara ponsel mengganggu tidur Sabine yang masih terlelap.
Dan pertanyaan 'kenapa' seketika hinggap di pikirannya. Karena sejak perceraiannya dengan Evi, mereka tidak saling kontak. Hanya sesekali Evi masih mengirimnya pesan-pesan dan Niko membalasnya dengan sekenanya. Kadang Niko bahkan tidak membalasnya.
Diletakkannya kembali gawai itu ke atas meja.
Niko yang tidak ingin pikirannya terganggu, menatap wajah Sabine yang masih terlelap. Dia tersenyum. Masih terngiang-ngiang di benaknya teriakan Sabine, Udah, Om. Udah..., sakiiit. Udaaah. Aku udah puas. Teriakan yang membuatnya bergairah malam tadi. Dia tidak menyangka sama sekali. Sempat dia berpikir, apa Sabine hanya berakting agar dia percaya diri. Namun, saat melihat Sabine semakin meringis dan wajahya memerah menahan sakit, serta merasakan otot selangkangannya yang menegang, Niko yakin Sabine tidak berpura-pura. Apalagi, mereka melakukannya beberapa kali. Niko tidak pernah sedahsyat itu di ranjang.
Niko menyingkapkan selimut, karena hendak beranjak ke kamar mandi. Namun pandangannya tersita ke noda merah pekat di atas seprai. Niko tersenyum. Sabine ternyata masih perawan. Lalu apa saja yang Sabine lakukan bersama Akhyar sebelumnya? Apalagi Bella, sempat mengatakan bahwa hubungan keduanya bukan sebatas sugdad dan sugbab, tapi lebih daripada itu. Apa sebaiknya aku tanyakan?, batin Niko.
Niko yang masih telanjang, melangkah menuju kamar mandi. Membersihkan diri.
***
"Kok bisa?"
Sabine yang sedang menikmati teh panas buatan Niko tertawa keras melihat ekspresi Niko. Sambil menggoyang-goyangkan dua kakinya yang tertekuk di atas kursi santai, Sabine menyeruput tehnya.
Sabine melemparkan pandangannya ke kolam renang yang terhampar cantik di teras belakang rumah Niko. Pikirannya kini tertuju ke peristiwa semalam. Dia masih merasakan perih di seputar area sensitifnya saat buang air pagi tadi. Diliriknya suaminya yang cukup beringas semalam.
"Aku harus bilang apa?" Sabine balik tanya.
Niko mengangkat bahu.
"Menurut aku , Om hanya nggak pede aja."
Sabine menggerak-gerakkan jari telunjuknya di tepi gelas tehnya dengan gerakan memutar.
"Oh ya? Kayaknya kamu memang berpengalaman," pancing Niko.
Sabine memperbaiki letak duduknya.
"Om mau tau sesuatu?"
"Ya..., tentu. Pertanyaan kamu bikin Om penasaran."
Kali ini Sabine menghangatkan telapak tangannya di atas gelas teh yang masih panas.
"Sebenarnya aku tau Om bisa. Aku sempat melirik milik Om yang bereaksi." Sabine tergelak sejenak.
"Waktu Om antar aku pulang dari mall PI. Di mobil. Aku sengaja mancing. Kayaknya Om nggak sadar. Aku langsung berpikir Kalo Om terlalu lelah bekerja. Pikiran Om cuma kerja aja. Entahlah..."
Niko menghela napasnya. Dia akui memang pikirannya selalu kerja kerja dan kerja. Apalagi sejak menikah dengan Evi. Sikap Evi yang cenderung mendikte, sikap Evi yang merasa dirinya lebih tinggi darinya, membuat Niko semakin rajin bekerja. Hingga berhasil duduk di posisi tinggi di kantornya. Niko hanya ingin membuat Evi bertekuk di hadapannya. Ingin Evi menyadari bahwa dia juga bisa menjabat seperti dirinya, bahkan kedudukan Niko lebih tinggi.
Karena terlalu asyik dengan pekerjaannya dan berhasil membuat Evi tunduk, Niko pun lupa diri. Dia tidak menyadari bahwa Evi juga seorang wanita normal yang menginginkan kasih sayang lebih. Dan kasih sayang itu tidak berhasil diwujudkan lewat dirinya. Niko tidak bergairah di ranjang. Selalu say no.
Dan Evi sebenarnya cukup sabar.
"Om terpikir sesuatu?" tanya Sabine tiba-tiba.
Niko mengangguk. Sekejap dirinya merasa bersalah.
"Kamu benar..., Om terlalu sibuk bekerja." Pandangan Niko kosong ke depam.
"Tapi entah kenapa saat mendengar nama kamu dari mulut Bella di café itu, Om mulai ya..., mungkin mulai ingin santai. Tidak terlalu memikirkan kerja. Lagipula posisi Om di kantor yang baru tidak setinggi sebelumnya. Jadi bisa sedikit lebih relaks."
Niko menelan ludahnya.
"Sebenarnya menikah bukan keinginan Om, Sabine. Karena Om tidak ingin pasangan hidup Om kecewa. Om masih mengira kamu mungkin berubah. Atau melupakan perasaan khusus kamu ke Om dulu. Keinginan Om yang sangat kuat bertemu kamu, karena Om rindu, sayang..., ingin jaga kamu. Bahkan Om sempat membayangkan kamu tinggal di sini bersama suami kamu suatu saat..., anak-anakmu kelak."
Niko menundukkan pandangannya. Sementara Sabine hanya diam.
"Om..., masih cinta Tante Evi?". Tiba-tiba Sabine bertanya.
Niko tertawa. Sabine ternyata tidak terlalu fokus dengan apa yang dia keluhkan tadi. Dipegangnya lutut Sabine.
"Hambar. Dikhianati orang yang kita sangat cinta itu, tidak bisa diungkapkan atau digambarkan seperti apa. Tapi bisa dirasakan. Sakit. Apalagi saat kita terjatuh."
Niko masih ingat saat dirinya membaca hasil pemeriksaan dirinya dari dokter. Sejak itulah, Evi mulai sedikit demi sedikit berubah. Hingga dia melakukan pengkhianatan. Sempat dia merasa bahwa dirinya tidak lagi berpijak di bumi. Merasa hal itu tidak adil bagi dirinya. Lalu dia pun berusaha menguasai dirinya. Dan Niko berhasil melewati masa-masa sulitnya.
"Apa Om cinta aku?"
"Sabine..., kamu masih kayak dulu...," desahnya penuh binar.
Sabine menatap Niko tajam.
"Om belum jawab aku,"
"I love you, Sayang. Emang harus diucapkan gitu?" ucap Niko senyum-senyum. Dia mulai menggoda Sabine. Senang melihat istrinya cemberut.
Sabine mencebik.
"Iya. Harus. Kadang meski kita nggak mengungkapkannya dari hati, tetap terdengar merdu...,"
"Emangnya menurut kamu, Om nggak bilang dari hati?"
"Lah, soalnya Om tadi malah nanya emang harus diucapkan gitu?"
"Kan Om cuma nanya, Sabine,"
"Pertanyaannya bikin runyam,"
Niko tertawa.
"Atau kita buat suasana hati kamu biar nggak runyam...,"
Sabine mengangguk. "Aku mau makan pizza, Om,"
"Dulu katanya suka cilok,"
"Ya..., kan dulu...,"
Niko meraih gelas kosong milik Sabine dan meletakkannya di atas meja. Sambil terus memandang wajah Sabine dengan perasaan cinta, dia meraih pinggang Sabine menggendongnya, dan membawanya ke ruang dalam.
Sabine pasrah ketika tubuhnya perlahan direbahkan di atas sofa ruang yang berada di ruang tengah. Sepertinya Niko sudah ingin memulai petualangannya kembali dengan menggigit bibir Sabine dan menghisapnya sambil melepaskannya. Niko melakukannya berulang-ulang. Dia ingin mendengar Sabine merintih seperti semalam.
Kini basah disertai kedutan sudah dirasakan Sabine di area sensitifnya. Dia biarkan Niko melepas bawahannya. Sementara Niko yang tidak mampu lagi menahan gejolak dari dalam tubuhnya, sudah tak berbaju.
"Do it...," tantang Sabine yang sudah mengangkang. Sepertinya dia juga tidak sabar ingin Niko memasukkan miliknya ketubuhnya. Sabine tersenyum puas ketika melihat pe....s Niko menegang.
"Pelan ya, Om. Jangan kayak semalam," mohon Sabine. Dia masih mengingat kejadian semalam, Niko menguasai tubuhnya tanpa ampun, hingga perih di pangkal pahanya masih terasa sekarang.
Niko mengangguk sambil mengarahkan miliknya ke sela paha Sabine dengan tangannya.
"Oooh..., " Niko mulai mendesah saat penisnya sudah berada di dalam tubuh Sabine secara penuh.
Niko berusaha menguasai dirinya. Dia mulai mengontrol gerakan pinggulnya di atas tubuh Sabine yang mengangkang.
"You can do it," ujar Sabine memberi semangat.
Sabine lalu menyilangkan kakinya dipinggang polos Niko.
"Sabine...," desah Niko sambil menggoyangkan pinggulnya.
Sabine tersenyum ke arahnya. Dipegangnya dua pipi Niko, menatapnya penuh kasih.
"You are my first love..., my very very first love," desah Sabine.
Tak berapa lama, Sabine mulai meracau, lalu berteriak keras karena lemas sudah melanda sekujur tubuhnya. Sementara Niko masih saja bergerak. Semakin cepat. Entah kenapa cukup lama dia bertahan hari ini.
"Sabine..., why is it too long," keluhnya. Merasa tidak nyaman saat melihat wajah lemas Sabine.
Sabine meraih kepala Niko dan mendekatkannya ke wajahnya. Dilumatnya bibir Niko dengan buas. Niko menyambutnya. Sepertinya Niko mulai melemah, karena lumatan bibir Sabine semakin membuatnya terbuai. Apalagi merasakan jari jemari mungil Sabine meraba-raba dua puting dadanya, Niko malah memperlambat gerakan pinggulnya, karena benar-benar ingin menghayati dan merasakan detik-detik kenikmatan.
"Enak, Sayang..., Oo My God," ucapnya berulang-ulang.
Niko akhirnya tumbang.
"Om..., aku lapar. Mau pizza...," desah Sabine.
Niko tertawa mendengarnya. Dia juga lapar.
***