Sesak dada Akhyar melihat foto pernikahan Sabine dan Niko lewat layar ponselnya. Dia terisak sambil mendekap kemeja putih bekas pakai Sabine yang tak pernah dia cuci. Ada bau tubuh Sabine yang bisa dia baui tiap-tiap malam sejak Sabine menghilang.
Lalu pandangannya mengedar di setiap sudut apartemennya. Masih ingat tubuh telanjang Sabine berjalan-jalan bebas di apartemennya yang luas. Tubuh polos yang wangi yang selalu dia dekap di kala berduaan.
Akhyar memejamkan matanya. Bibirnya bergerak-gerak seakan mengingat saat-saat dia mencumbui gadis itu. mengecup seluruh tubuh gadis itu. Masih terngiang-ngiang di telinganya suara erang dan desah Sabine kala dicumbunya. Akhyar membasahi bibirnya dengan lidahnya membayangkan kewanitaan Sabine yang sering dia kecup, hisap, dan dia jilat. Dia wangi sekali. Tidak ada gadis sewangi dia, gumamnya.
Akhyar menelan salivanya. Lalu mengatur napasnya yang mulai tidak teratur.
***
"Maaf, Pak Akhyar. Apa perlu kami kembalikan semua yang pernah Pak Akhyar berikan kepada kami. Kami juga tidak tahu bahwa Sabine sudah menikah. Kami tidak mau jadi beban," ujar Bude Rita melalui telepon genggamnya.
Sebenarnya Bude Rita enggan menerima segala pemberian Akhyar sejak Sabine menghilang. Tapi karena Akhyar tahu bahwa Sabine sangat menyayangi pasutri yang sudah berusia senja itu lewat cerita Asni, Akhyar berinisiatif membantu mereka. Bahkan Akhyar terkesan sedikit memaksa.
"Tidak usah, Bude Rita. Malah saya berharap kita akan terus berkomunikasi. Saya ingin kita semua sehat-sehat...,"
Begitu tahu dari Asni bahwa Sabine sudah menikah, Bude Rita yang selama ini dibantu Akhyar menjadi agak segan menerima segala jenis bantuan Akhyar. Tapi setelah mendapat jawaban Akhyar lewat telepon barusan, Bude Rita sedikit lega.
"Asni..., Bude rindu Sabine...," isak Bude Rita sambil memegang dadanya. Saat itu Asni sedang mampir di rumahnya karena ingin menyampaikan kabar terbaru Sabine.
"Kapan Bude bisa bertemu dia ya? Bude pingin meluk dia...,"
"Nanti Asni kasih kabar segera, Bude..., yang penting Bude dan Pakde terus jaga kesehatan,"
***
Sementara itu di Alam Sutera...
Kediaman Nikolaus Loudin
Hidup Niko dan Sabine sangat bahagia sekarang. Terutama Niko, dia merasa rumahnya benar-benar seperti surga. Sebelumnya, jika sudah saatnya pulang kantor, dia malah keluyuran di luar, ke mall, ngafe, atau bahkan nonton. Kadang sendirian, kadang juga bersama teman-temannya. Hingga tengah malam. Niko tidak betah di rumah, karena merasa kesepian. Sekarang, jam pulang kantor selalu dia tunggu-tunggu di setiap harinya. Senyum rekah Sabine membuatnya semangat untuk pulang segera.
Seperti sore ini. Sabine yang hanya memakai atasan baju kaos tipis tanpa bra berlarian menuju garasi menyambut kepulangan Niko dari kantor.
"Hei...," sapa Niko dengan senyum lebarnya. Dikecupnya bibir Sabine yang sudah menggelayut manja di bawah ketiaknya. Sabine mengerang manja. Niko suka sekali melihat wajah binar istrinya itu.
Sabine langsung menyambut tas kerja dan tas bekal Niko.
Lalu, sambil bergandengan tangan, mereka melangkah memasuki rumah.
————
"Tadi lagi ngapain?" tanya Niko yang kini sudah duduk di tepi tempat tidur.
"Nyari info kuliah, Om," jawab Sabine sambil meraih sepatu yang baru dilepas Niko dari kakinya. Lalu meletakkannya di rak sepatu sisi pintu kamar mandi.
"Udah ada gambaran mau belajar apa?"
Sabine tersenyum malu. Dia lalu duduk mengangkan di pangkuan Niko sambil melepas kancing-kancing kemeja Niko.
"Hm..., aku mau ambil perhotelan, Om. UPH," jawab Sabine dengan senyum manjanya.
Niko terkejut.
"Ah? Yakin? Om kira kamu mau ambil Ekonomi, Pendidikan, atau yang biasa orang-orang pilih. Dapat ide dari mana?" Niko meraih pinggang Sabine, merekatkan ke tubuhnya.
"Nggak tau juga. Tapi jurusannya masih bingung, Om. Antara Kitchen Laboratory, Pastry, atau Fine Dining Restaurant." Sabine menarik kemeja Niko dari celananya, lalu melepasnya dari tubuh Niko, juga singlet Niko.
"Kamu mau jadi apa dulu?" tanya Niko dengan wajah sendunya. Dijawilnya hidung Sabine.
"Pingin kerja di bagian dapur hotel gitu. Aku kan sudah ahli motong-motong ikan, Om,"
Niko terbahak. Seketika bayangan Sabine yang dengan memotong-motong ikan di pasar melintas di benaknya. Sabine sangat lihai melakukannya.
"Kitchen Lab mungkin. Om nggak paham soalnya," usul Niko.
"Ok..., ntar aku tanya-tanya lagi lewat email," tanggap Sabine yang tangannya mulai nakal saat melepas gesper celana Niko. Niko merasakan alat vitalnya menegang. Wajahnya mulai sayu menatap Sabine yang dengan santainya menurunkan celananya. Tapi Sabine tetap dengan posisinya, duduk mengangkang di atas pangkuan Niko.
Kini, tubuh Sabine dan Niko hanya berbalut celana dalam.
"Ehem..., So?" tanya Niko berdehem.
Sabine tersenyum manis. Dipeluknya Niko erat.
"Om mandi dulu ya? Mau ikut?"
Sabine mengangguk.
Niko yang masih memangku Sabine perlahan bangkit dari duduknya, lalu melangkah menuju kamar mandi. Dan Sabine terus saja menggelayut manja seperti koala di tubuh Niko.
"Mau nyanyi apa?" tanya Niko usil. Mereka berdua sudah berada di dalam kotak kaca kamar mandi.
Sabine tertawa. Dulu memang Niko senang mengajak Sabine kecil bernyanyi di kamar mandi.
"Row row your boat atau incy wincy spider...," bisik Niko yang dua tangannya mulai melingkar di pinggang polos Sabine.
"Haha. Aku bukan anak TK, Om,"
"La kamu dulu suka nyanyi itu kan?"
Lalu keduanya saling bertukar ludah. Saling melumat bibir.
"Sabine...," desah Niko saat Sabine meremas-remas rambutnya.
Niko lalu menghidupkan shower.
Sekujur tubuh mereka berdua pun terguyur air hangat.
Lalu keduanya mulai saling mengusap sabun.
Mereka melakukannya dengan penuh perasaan cinta yang mendalam. Lalu terdengar desahan Sabine ketika Niko mengusap sabun di dadanya. Niko mengusapnya sambil meremas-remas kedua buah dadanya dari belakang.
Dada Sabine pun mulai terasa sesak. Napasnya mulai tersengal-sengal ketika tangan Niko perlahan turun menuju area sensitifnya. Mengusap-usapnya dengan seluruh jari jemarinya.
Lalu Niko membiarkan air mengucur ke tubuh Sabine agar busa yang menempel di tubuhnya luruh, hingga kesat dan wangi.
"Sabine...," desah Niko sambil membalikkan tubuh Sabine agar berhadap-hadapan.
"I love you...," ucap Niko. Lalu dilumatnya bibir Sabine yang setengah terbuka. Sabine pun menyambutnya. Mulut keduanya pun menyatu, saling hisap dan bertukar ludah. Sesekali Niko menggigit lidah Sabine yang terjulur ke dalam mulutnya, lalu menghisapnya sedikit kuat, hingga terdengar teriakan manja Sabine. Sabine juga melakukan hal yang sama. Dia bahkan sudah berani meraih penis Niko yang menegang sambil meremasnya.
Setelah puas berciuman, Niko mengangkat tubuh Sabine. Sabine lalu melingkarkan kedua kakinya di pinggang Niko. Niko yang sudah siap dengan posisinya, mendorong perlahan tubuh Sabine ke dinding kamar mandi, agar dia mudah 'menyerang' Sabine.
"Bisa, Om?" tanya Sabine ketika Niko sedikit kesusahan memasukkan pe...snya ke tubuh Sabine.
Niko tertawa kecil. Lalu dia perbaiki posisinya. Sabine turut membantunya.
"Angkat dikit, Om..., Yah... gitu,"
Wajah Sabine menunjukkan lega saat merasakan benda masuk ke dalam tubuhnya. Apalagi Niko sudah menggerak-gerakkan tubuhnya naik turun. Sabine mulai mengerang.
"Kencengin, Om," pinta Sabine ketika merasakan tegang di area selangkangannya. Wajahnya mulai memerah.
Niko semakin semangat mendengar permintaan Sabine. Digerak-gerakannya tubuh Sabine sedikit lebih cepat. Sabine mengerang lagi. Kali ni lebih keras.
Sabine merangkul bahu Niko sekuat tenaga, karena gerakan pinggul Niko semakin cepat.
"Pelaaaan," teriak Sabine yang sudah lemas. Hampir saja kaki yang melingkar di pinggang Niko terbuka. Tapi Niko dengan cekatan menahannya.
"Tunggu Sayang, ya. Bentar lagi," bujuk Niko.
Lalu Niko terus menggesekkan miliknya yang masih berada di dalam tubuh Sabine sambil menggoncang-goncangkan tubuh Sabine.
"Bantu Om puas, Sayang. Please...," mohon Niko. Dia khawatir Sabine yang semakin lemas, sementara dia belum mencapai klimaks.
Sabine tersenyum. Dia kembali mengeratkan lingkaran kakinya di pinggang Niko.
"Ayo, Om. Om kuat,"
Niko pandang Sabine. Perempuan yang sangat dia cinta. Perempuan yang berhasil membuatnya percaya diri.
Lalu keduanya saling pandang, saling bergerak, saling hantam. Sabine pun semakin semangat, karena ternyata hasrat ingin meraih kepuasan kedua kalinya muncul kembali.
Beberapa saat kemudian, barulah terdengar teriakan dari keduanya.
"Aah...," Niko melenguh saat merasakan kedutan di ujung penisnya yang masih berada di dalam tubuh Sabine. Dia biarkan dulu sampai tuntas.
Niko dan Sabine berpelukan. Ini adalah petualangan pertama yang mereka lakukan di kamar mandi.
______
"Kayaknya Om harus olah raga. Biar lebih kuat bercinta seperti tadi," gumam Sabine sambil mengambilkan semangkuk sup buat suaminya. Menu makan malam kali ini adalah sup jagung ayam, yang sudah dia persiapkan Sabine sebelum Niko pulang sore tadi.
"Nggak ada waktu..., Om sibuk. Apalagi bos Om yang sekarang lumayan galak, hm..., nggak kayak Akhyar,"
Sabine mulai cemberut. Dia lalu mengambilkan semangkuk sup buat dirinya.
"Aha. Daddy Akhyar kan suka olahraga kan? Pasti lebih ...," Niko menggantungkan kalimatnya karena melihat wajah Sabine yang mulai bete.
Sabine menghela napasnya. Agak kecewa dengan sikap Niko yang mulai membanding-bandingkan dirinya dengan Akhyar. Tidak nyaman rasanya.
"Maaf, Om. Kalo aku maksa menikah," ucap Sabine datar.
Dan makan malam ini tidak terlalu indah dilewati.
Biasanya, setelah makan malam, Sabine duduk-duduk di sofa empuk depan tivi. Santai sejenak menyaksikan program yang dia sukai. Tapi sepertinya malam ini dia langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Sejak Niko menyinggung nama Akhyar saat makan malam tadi, Sabine tidak enak hati. Lebih baik tidur saja langsung, menenangkan diri.
Niko perlahan menyentuh pundak Sabine yang posisi rebahnya membelakangi.
"Maaf. Om keceplosan. Tiba-tiba aja kesebut...," ucap Niko. Dia merasa bersalah. Tidak tahu kenapa akhir-akhir ini bayang-bayang Akhyar terlintas di benaknya. Sejak bergairah berhubungan badan dengan Sabine, Niko malah penasaran apa saja yang dilakukan Sabine saat menemani Akhyar.
Menurutnya, Sabine luar biasa. Dia mampu mengembalikan kepercayaan diri Niko. Terutama saat melakukan kegiatan di atas ranjang.
Tidak ada balasan dari mulut Sabine.
Niko lalu merebahkan tubuhnya di belakang Sabine, lalu memeluk Sabine dari belakang.
"Om nggak tau. Mungkin cemburu,"
Sabine masih diam.
"Hei..., Om sudah minta maaf. Janji nggak akan nyinggung dia lagi,"
Dikecupnya kepala Sabine.
Niko tersenyum, wangi kepala Sabine hampir sama ketika Sabine masih umur sepuluh.
Dikecupnya lagi berulang-ulang. Dia suka wangi kepala Sabine.
"Maaf kalo aku maksa nikah, Om. Karena aku memang cinta Om Niko. Aku nggak mau pisah lagi. Tapi kalo Om nyinggung-nyinggung masa lalu aku, ya..., aku harus gimana lagi. Aku nggak bisa rubah masa lalu...,"
"Om janji..., nggak sebut nama dia lagi," ulang Niko. Dipeluknya Sabine lebih erat.
***
Tapi sepertinya janji itu tidak bisa Niko tepati. Keesokan malamnya, sepulang dari kantor, Niko yang baru saja melepas baju kerjanya dan hendak menikmati makan malamnya bersama Sabine, tiba-tiba harus menerima panggilan dari Akhyar.
"Apa kabar?"
Jantung Niko berdegup sangat kencang. Perasaannya tiba-tiba cemas.
"Baik, Pak,"
Niko langsung memberi kode ke Sabine bahwa dia menerima panggilan penting. Sabine saat itu tidak tahu bahwa panggilan yang sedang diterima Niko adalah panggilan dari Akhyar.
Niko bangkit dari duduknya dan melangkah ke luar dapur. Menuju teras belakang. Dia tidak ingin Sabine mendengar.
Terdengar helaan berat dari Akhyar di telinga Niko.
"Jadi. Kamu menikah dengan Sabine?"
"I...iya, Pak,"
"Oh. Ternyata kamu sudah tahu hubungan saya dengan Sabine?"
"Iya."
"Lalu kamu menikahinya?"
Niko terdiam. Dia baru sadar, dia memang mengetahui hubungan Sabine dengan Akhyar sebelum menikah. Tapi kan...
"Dia..., mencintai saya,"
"Kamu?"
Niko mengurut dahinya.
"Saya mencintainya,"
"-------"
"Dia memaksa saya menikahinya,"
"Can I talk to her?"
"Pak...,"
"Just a couple minutes,"
Niko sudah berjanji.
"Please...,"
Niko bingung.
"Saya suaminya. Saya tidak akan mengizinkan Bapak bicara dengannya,"
"Niko..., tolong. Saya rindu anak itu,"
"Dia tidak ingin saya menyinggung nama Bapak lagi. Dan saya sudah janji. Saya tidak ingin mengecewakan Sabine, Pak Akhyar,"
"Ok...,"
Panggilan pun ditutup Akhyar.
Niko kembali memasuki rumahnya dengan langkah gontai. Cemas dan khawatir bercampur menjadi satu. Niko bingung apakah dia harus mengatakan hal ini kepada Sabine. Jika dia melakukannya, dia melanggar janji. Jika tidak, dirinya akan selalu bertanya-tanya, darimana Akhyar tahu bahwa dirinya sudah menikah? Kenapa Akhyar seolah-olah masih merasa berhak atas diri Sabine? Lalu apa yang akan terjadi selanjutnya?
Dan Niko akhirnya menyantap hidangan makan malam dengan perasaan tidak menentu.
"Bos Om yang nelpon?" tanya Sabine yang sudah menyelesaikan makan malamnya. Dia menemani Niko yang masih menyantap makanannya.
Niko mengangguk. Akhyar juga bosnya. Dulu. Dia tidak berbohong.
Tapi sepertinya jawaban dari Niko tidak memuaskan Sabine. Karena cemas terlihat jelas dari wajah Niko.
"Om..., kok Om gugup?," tanya Sabine. Dilihatnya tangan Niko sedikit gemetar saat menyendok makanan ke mulutnya.
Niko memejamkan matanya.
"Om punya masalah di kantor?," tanya Sabine. Dia sangat khawatir.
"Bisa Om habiskan makanan dulu?" pinta Niko.
Sabine mengangguk.
Beberapa menit kemudian. Niko pun menghabiskan nasi tim ayam hainan masakan Sabine.
Niko lalu meneguk air minumnya.
"Akhyar tadi yang menelpon," ujar Niko akhirnya.
Sabine terperangah. Dia pegang dadanya.
***