Niko menghentikan mobilnya tepat di depan pagar rumah Sabine. Dia tampak sangat gagah sekarang. Sejak menikah dan bekerja, Niko memang sangat berubah, terutama dilihat dari segi penampilannya. Wajarlah, sebagai konsultan keuangan yang kerap bertemu dengan klien dari kalangan jetset, Niko harus terus menjaga penampilannya agar tetap prima.
Niko merasa De Javu saat memencet bel mesin penjawab. Dia masih ingat saat pertama kali berdiri di depan rumah cantik milik Mama Carmen itu.
"Ya, cari siapa? Ada janji?," terdengar suara dari mesin penjawab.
"Niko, Mbak. Saya ingin bertemu dengan Sabine," jawab Niko sopan.
"Sabine? Nggak ada yang nama Sabine di sini,"
Niko terperanjat mendengar jawaban dari mesin penjawab.
"Hm..., ini rumah Carmenita Azhar kan?," tanya Niko heran.
Tidak ada jawaban.
Tapi sepertinya pagar dibuka otomatis dengan sengaja.
"Silakan masuk, Mas,"
_______
Bukan main terkejutnya Niko setelah mendengar penjelasan dari pemilik rumah baru bahwa Mama Carmen dan Pak Baskoro meninggal dalam kecelakaan pesawat dari Singapore menuju Jakarta beberapa bulan lalu.
"Kasian anaknya, Mas. Denger cerita tetangga, anaknya sendirian di Bandara sedang menunggu kedatangan mamapapanya dari Singapore. Dia pulang tengah malam sendiri. Menangis di pojok sana. Pembantunya sedang pulang kampung. Anak itu nginap di pos satpam. Besoknya baru kita-kita pada tahu apa yang terjadi pada anak itu. Saya saja tidak sanggup membayangkannya," tutur Ibu pemilik baru rumah Bu Carmen. Dia menyeka matanya dengan ujung jilbabnya.
Ternyata rumah Bu Carmen dibeli ibu itu yang tidak lain adalah tetangga beda dua rumah dari rumah Bu Carmen. Rumah itu memang dijual dengan harga yang sangat murah oleh Bu Lita. Karena Bu Lita membutuhkan uang untuk biaya anak-anaknya kuliah di Melbourne juga melunasi cicilan rumahnya di sana.
Niko ikut menangis. Pandangannya mengitar halaman rumah Sabine sambil mengingat-ingat apa yang dulu dia lakukan bersama gadis malang itu.
"Jadi, Ibu nggak tau Sabine pindah ke mana?"
"Saya nggak tau, Mas. Mungkin ikut ke Melbourne. Sejak rumah ini dijual, Bu Lita sempat bilang ke saya mau jual rumahnya juga yang di Kemang. Laku atau nggak saya juga nggak tau."
***
Lagi-lagi Niko tidak mendapat informasi mengenai keberadaan Sabine saat dia berdiri tepat di depan rumah megah Bu Lita. Ada spanduk bertuliskan kata SOLD yang terbentang di depan pagar.
"Orang yang punya pindah ke Australia, Mas. Kira-kira tiga bulan lalu,"
"Ibu itu bawa anak seumuran kira-kira sebelas atau dua belas tahun nggak, Pak?" tanya Niko. Dia belum yakin Sabine ikut serta ke Melbourne, karena dia tahu kakak-kakak Sabine tidak menyukai Sabine.
"Wah..., saya malah nggak liat anak yang itu. Yang saya ingat dulu itu hanya Bu Lita sama dua anaknya saja di mobil Alphard yang mereka tumpangi menuju bandara. Yang kecil malah saya nggak liat,"
Niko menghela napas kecewa. "Ok, Pak. Terimakasih," ucapnya pasrah.
Setelah dari Kemang, Niko kembali memutar setirnya menuju sekolah Sabine. Di sana, dia menanyakan ke mana Sabine pindah. Lagi-lagi Niko kecewa, karena pihak sekolah juga tidak mengetahui ke sekolah mana Sabine pindah.
Niko pasrah. Dia akhirnya berkesimpulan bahwa mungkin Sabine ikut keluarganya ke Melbourne.
***
"Terakhir dia kirim pesan pas kamu sibuk-sibuknya dulu. Trus, nggak pernah aktif lagi IGnya. Facebooknya juga tidak pernah online. Wanya juga nggak aktif lagi," ujar Evi dengan raut wajah sangat sedih.
Niko lemas ketika tiba di rumah. Evi pun jadi ikut sedih melihat suaminya bercerita mengenai apa yang terjadi pada Sabine.
"Aku kangen, Vi. Kangen Sabine. Aku nggak sanggup membayangkan dia sendiri di Bandara tengah malam. Padahal aku dulu selalu jaga dia hingga dia benar-benar tidur di setiap malamnya," isak Niko.
"Ya ampuun..., apa mungkin dia pindah ke Melbourne?" gumam Niko seakan tidak yakin.
Niko terduduk lemas. Padahal dia sudah berencana mengajak Sabine jalan-jalan bersama Evi. Karena dirinya mendapat promosi kenaikan jabatan di kantor. Niko ingin berbagi kebahagiaan dengan Sabine.
Evi lalu memburu Niko, memeluknya.
"Mudah-mudahan ada kejelasan tentang Sabine, Sayang," bujuk Evi.
Malam itu, Niko memang memejamkan matanya. Tapi benaknya dipenuhi wajah sedih Sabine. Niko masih ingat kala dia mengecup bibir Sabine yang tengah menangis kencang. Waktu itu Sabine memohonnya untuk memberinya kecupan.
Niko menggigit bibirnya, seolah masih terasa lembut bibir kecil Sabine dan hangat napas yang terhembus dari hidung mungil makhluk kecil itu.
"Sabine...," batinnya sendu.
***