Chereads / Sabine / Chapter 14 - Hidup baru Sabine

Chapter 14 - Hidup baru Sabine

Lima tahun kemudian...

Sore sepulang sekolah, seperti biasa Sabine menolong Bude Rita melayani pembeli di warung depan rumah.

"Nggak usah dikasih plastik, Neng geulis. Udah gini ajah,"

"Oh, oke, Bu," Sabine langsung menyerahkan satu kotak berisi kue cucur ke Bu Teti, pelanggan yang rumahnya berada di seberang rumah Bude Rita.

"Rita...," Bu Teti menegur Bude Rita yang sedang menghitung uang di laci warung.

"Ya..., apalagi," tanggap Bude Rita malas-malasan.

"Eh. Gue bukan mau beli kue lu lagi,"

"La trus...?,"

Bu Teti menarik salah satu kursi plastik yang ada di warung kecil Bude Rita, lalu duduk dengan posisi yang serius.

"Eh, lu tau kagak. Bu Syahril yang tinggal di rumah petak wak haji Naim,"

"Oh..., iya ngarti gue. Yang rumahnya lagi di renov kan? Lagi banyak duit tuh orang,"

"Hah..., duit lendir,"

"Hush!! Lu kalo ngomong yang sopanan dikit napa?,"

"Elaaaa..., Emang gue kagak sopan, Ritaaa,"

Sabine yang sedang membaca buku dengan kaki yang diangkat di atas meja, tersenyum simpul mendengar dua ibu-ibu tua sedang bergosip ria di warung budenya.

"Duit lendir gimana? Bu Syahril yang tuir kayak gue, emang masih ada yang mau? Layu ah tuh barang. Kiwir-kiwir...," cecar Bude Rita sambil goyang pinggul.

Meski Bude Rita berasal dari Solo, tapi sudah puluhan tahun tinggal di daerah yang penduduknya kebanyakan dari suku Betawi. Logatnya pun berubah. Sangat Betawi.

"La, Bu Syahril kan punya anak perempuan yang kuliah. Asni. Yang cantiiiik..., kayak Yuni Shara. Mungil-mungil gitu. Denger-denger tuh..., jadi piaraan Om-om senang,"

"Masa? Bu Syahril kan baru umroh tahun kemarin?,"

Bu Teti membuka kue yang dia beli, dan mengunyahnya dengan semangat.

"Sab..., aqua gelas satu. Langsung ditusuk ya?," pinta Bu Teti ke Sabine yang masih membaca buku. Sabine langsung mengambil aqua gelas dan memberikannya ke Bu Teti.

Dan sepertinya ibu itu mulai serius.

"Jadi Ritaaaa, Leli ponakan gue kan satu kuliah ama si Asni nih ceritanya. Dia bilang ke gue, Asni ntu sekarang sudah nggak tinggal di rumah itu lagi. Tapi tinggal di apartemen mewah Senopati. Ke kampus bawa mobil tekuper kuper...,"

"Apaan tekuper-kuper...,"

"Ah. Gue lupa mereknya. Taunya kuper doang ujungnya..., eh lu paham mobil tekuper-kuper nggak, Sab?,"

Sabine kaget. Dia mengira dirinya tidak dilibatkan dalam gosip hangat Bu Teti dan budenya.

"Minicooper kali, Buuu,"

"Ya itu. Minikuperrr. Yang harganya 1 miliar loh. Keluaran terbaru. Si Asni juga tambah glowing, kulitnya mulussss, ke mana-mana bawa barang branded puluhan jutaaaa."

"Hm..., yah mau gimana lagi..., udah rejekinya, Tetiii,"

"Ih. Lu apa nggak gimana-gimana gitu? Geliii...,"

"Ya. Lu justru doain ponaan lu supaya nggak ikutan gitu-gitu,"

"Oh..., Leli mah anaknya alim gitu. Yah, gue yakin dia nggak bakalan jadi yang begonoooo,"

Dan selanjutnya, dua ibu-ibu tua itu ngobrol ngalor ngidul kesana kemari. Sesekali Sabine tampak tersenyum mendengar celoteh mereka yang cukup menghibur waktu sorenya.

***

Sabine sekarang duduk di bangku kelas 12 di salah satu SMA Negeri dekat rumah. Cukup ditempuh dengan jalan kaki. Penampilan Sabine lumayan berubah. Rambutnya tetap pendek seperti sebelum-sebelumnya, kulit tubuhnya masih putih mulus, wajahnya juga masih cantik terurus. Tapi, Sabine sedikit memberi kesan garang di tubuhnya dengan memberi tato kecil di leher bergambar bunga tulip, dan di betis kirinya, juga gambar bunga, bunga mawar.

Sabine sudah tidak terlalu banyak berharap hidupnya akan kembali seperti dulu. Meski Pakde Yono dan Bude Rita menyayanginya, tapi tetap saja Sabine merasa segan untuk bermanja-manja. Sabine yang dulunya manja kini berubah sedikit cuek. Sabine sudah sangat pasrah dengan hidup yang sekarang dia jalani. Dia juga tidak dendam atau marah dengan kerabat terdekatnya yang seakan tidak menginginkan kehadirannya. Menurutnya, jalani saja.

Walau berubah, kebiasaan tiap malam mengenang kecupan pertama dari Niko masih rutin dia lakukan. Sambil melihat-lihat foto-foto bersama Niko saat wisuda, Sabine terus mengenang masa-masa indah bersama Niko. Buku-buku cerita favoritnya juga kerap Sabine baca sebelum tidur, sambil mengingat suara dan gaya Niko membacakannya.

Entah kenapa Sabine hanya senang mengenang Niko tanpa berusaha menghubunginya lagi. Mungkin karena ada pesan terakhir yang dia baca dari Evi, istri Niko. Maaf, Sayang. Om Niko sibuk sekali. Dia tidak bisa dihubungi kali ini. Sering bolak balik Jakarta-Kuala Lumpur hingga Kinabalu. Nanti Tante info waktu tepat kontak Om Niko ya?

Setelah itu hampir setiap hari Sabine menghubungi Niko, tapi tidak pernah mendapatkan jawaban. Bahkan pesannya seperti dihapus. Hingga musibah itu datang. Sabine tidak lagi mengaktifkan akunnya. Sabine memang kecewa, tapi tidak tahu kecewa dengan siapa. Evikah? Nikokah? Atau malah dirinya? Sabine akhirnya berkesimpulan Niko tidak lagi menghiraukannya. Dia sudah hidup bersama cinta sejatinya. Dia sudah punya kehidupan sendiri. Untuk apa diharapkan lagi.

Namun bagi Sabine, mengenang Niko sudah cukup membuatnya bahagia dan tenang dengan hidupnya.

______

Sabine terlihat santai dengan rokoknya di sebuah warung kopi kecil dekat dengan sekolahnya. Seragam sekolah yang masih dia pakai tertutup dengan jaket hitamnya. Ada juga gelas berisi kopi pahit di hadapannya.

"Nunggu Bella ama Katie, Sab?," tanya Bu Ida, penjaga warung kopi sambil membersihkan meja yang ada di sebelah Sabine duduk. Bu Ida memang sangat mengenal Sabine, karena Sabine adalah salah satu pelanggan tetap di warungnya.

"Iya, Bu. Biasa..., tumben sepi ya?,"

"Yaa..., mungkin karena masih pada kejar setoran tuh kuli-kuli,"

Tak perlu menunggu satu rokoknya habis, sebuah mobil mewah meluncur cantik dan berhenti di depan warkop Bu Ida. Dua orang gadis cantik turun dari mobil tersebut sambil tertawa centil.

"Dah lama nunggu, Sab?," tanya Bella basa basi.

"Bentar doang...," balas Sabine cuek sambil menghisap rokoknya yang tinggal setengah batang.

Bella duduk di hadapan Sabine, sementara Katie pergi menuju Bu Ida dan memesan sesuatu.

"Gimana? Udah mantap keputusan lo?," tanya Bella sambil mengeluarkan rokoknya dan menyodorkan ke arah rokok Sabine yang masih menyala.

"Ya. Gimana lagi? Pakde gue sakit-sakitan melulu. Lama-lama nggak tega juga gue liatnya," jawab Sabine setelah menyalakan rokok Bella lewat rokoknya. Lalu dia menyambut dua kopi susu yang dibawa Katie.

"Wah..., self service..., diskon dong Bu Ida!!," teriak Bella cuek.

"Enak aja lo! Udah murah ni gua kasih harga! Biasa lo lo anteng banget bayar bayar di cafe mahal!," pekik Bu Ida dari dalam warungnya. Katie dan Bella hanya tersenyum simpul mendengar pekik Bu Ida.

Katie dan Bella duduk di kelas 12 di SMA yang sama. Awalnya Sabine juga mendaftarkan diri di SMA mereka, tapi karena lokasinya lumayan jauh dari rumah Bude Rita, Sabine memilih di SMA Negeri terdekat. Biar tidak berat di ongkos.

"Awal gue mikir sih, Bel. Tapi ya..., gue juga nggak mau hidup gue begini-begini terus. Lagipula juga nggak ada yang peduli ma gue," keluh Sabine sambil menekan-nekan rokoknya yang sudah habis. Lalu diseruputnya kopi hitam pahitnya.

Bella prihatin mendengar alasan Sabine.

"Gitu dong..., ntar gue kasih tips-tips jadi sugar baby yang bisa bikin pusing Om om senang kalo mereka nggak ketemu kita-kita. Ya nggak, Ket?," Katie terkekeh mengiyakan.

"Dari dulu gue tawarin lo, Sab. Pake mikir segala. Kita nih punya problem sama. Orang-orang yang hidupnya kagak jelas," lanjut Bella.

"Iya, Sab. Coba aja. Lo kan butuh duit. Jadi sugar baby aja. Hm..., kayak gue nih, bentar lagi gue dapet jatah I phone terbaru. Tipe paling tinggi. Tinggal kontak... asyik-asyik sama Om Beni. Hm..., kerja enak, duit banyak," celoteh Katie.

Sabine senyum-senyum.

"Lo lo dapetin info Om Om senang dari mana, coy," tanyanya.

"Lo mau ikut nggak?,"

Sabine mengangguk sambil tersenyum menyeringai.

"Lo nggak usah khawatir. Kita bisa atur. Lo ikut kita ke café tempat biasa nongkrongnya Om Om senang. Ntar gue yang nanya gadun gue, apa masih ada bokap asuh buat lo," timpal Bella setelah menyeruput kopi susunya.

"Pengalaman pertama rasanya gimana sih?," tanya Sabine. Ada sedikit perasaan ngeri di benaknya. Menjadi peliharaan para pria hidung belang bukan keinginannya sama sekali. Tapi karena dia butuh uang dan memikirkan Pakde Yono yang sakit-sakitan. Sabine pun tidak tahan. Setiap malam mendengar rintihan Pakde Yono yang kamarnya bersebelahan dengan kamarnya, sangat menyiksa batin Sabine.

Sabine pun merasa dirinya menjadi beban mereka selama tinggal di sana. Karena mereka pun harus bekerja keras memenuhi kebutuhan sekolah Sabine, karena Mama Lita sudah enam bulan tidak lagi mengirimkan uang buat Sabine.

"Ya awalnya sih ngeri kalo gue. Nggak tau kalo Bella yang udah biasa sama Sapta nge sex di kosan."

"Lah iya dong, biar mahir bercinta. Jadi pengalaman, nggak kayak lo, nangis-nangis habis dipecahin perawan ama Om Beni,"

"Habis tititnya gede banget. item,"

"Hahahaha,"

"Tukeran dong. Punya Om Ikhsan kecil..., terpaksa nyari gaya yang pas. Gaya gue gitu-gitu aja tiap kencan. Nggak asyik,"

"Najis!,"

"Kita udah jadi najis, Kucing!,"

Sabine menggeleng-geleng menyaksikan dua sahabatnya berceloteh seru.

_____