Wajah Bella gusar saat menerima telepon dari Om ikhsan. Berkali-kali dia memukul-mukul setirnya. Dia kecewa karena Sabine tidak bersikap yang diharapkan.
"Duh. Si Sab gimana sih!," ucapnya sedikit berdecak setelah mengakhiri panggilan dari Ikhsan.
"Emang kenapa, Bel?," tanya Katie yang duduk di sebelahnya.
"Sabine mewek pas mau dipegang Om Bira. Katanya nangis kejer. Si Bira ni nggak tega, trus Sabine disuruh pergi. Dikasih duit sih. Tapi kan gue malu, Ket..., nggak enak. Soalnya gue yang rekomen Sabine ke Om Ikhsan biar dipake Om Bira."
"Hm..., maklumlah, pengalaman pertama. Lagian lo tau kan si Sabine dari awal ragu-ragu gitu, pas ketemu langsung ama gadun yaaa wajarlah takut...,"
"Hah. Bikin masalah aja. Gedeg gue. Untung Om Ikhsan di luar kota. Kalo nggak, bisa-bisa gue yang kehilangan gairah gara-gara nih sabun," rutuk Bella sambil meremas-remas ponsel mahalnya.
"Lo telpon Sabine, Ket. Ada di mana tuh orang!," perintah Bella.
Katie meraih ponselnya dan menghubungi Sabine.
"Hm..., nggak diangkat," gumamnya dengan raut wajah kecewa.
"Duh..., di mana sih tu anak. Bikin hari gue runyam aja," Bella mulai kesal.
"Mungkin pulang, trus tidur kali...,"
Bella mendengus kesal. Sabine benar-benar membuat suasana hatinya kacau.
______
Sementara itu di kamar Hotel Daddy Akhyar
"Edith Sabine Mahfouz...," gumam Akhyar sambil memainkan busa dan mengusap-ngusapkan ke bahu polos Sabine yang tubuh telanjangnyanya sudah berada di dalam bath up. Sementara Akhyar yang masih berpakaian lengkap duduk bersimpuh di sisi luar bath up sambil menatap wajah cantik Sabine. Sesekali jari-jari panjangnya mengelus pipi Sabine perlahan.
Sabine tersenyum ke arah pria lembut itu.
Akhyar sejenak memperbaiki dasi yang masih melekat di kemejanya.
"Kamu cantik..., ada darah arab yang mengalir di tubuh ini?," tanyanya menatap Sabine penuh kagum.
Sabine mengangguk lemah. Dia tampak senang diperlakukan sangat lembut oleh pria berhidung mancung itu.
"Iya. Almarhum Papa imigran Aljazair di Perancis. Trus pindah ke Jakarta sejak umur 16. Mama aku Solo,"
Akhyar tersenyum mendengar jawaban dari mulut mungil Sabine.
_____
Sebelumnya, saat tiba di kamar, Akhyar berhasil membujuk Sabine yang tengah menangis. Lalu dengan tenang dia mendengar keluh kesah dan kisah hidup Sabine. Akhyar melihat ada kejujuran di mata Sabine. Dipeluknya tubuh Sabine erat seakan ingin memberinya kekuatan dan dukungan. Sikap Akhyar yang lembut dan penuh kasih sayang ini sekejap meruntuhkan perasaan sedih Sabine malam itu.
Bahkan tatapan Akhyar pun mampu membuat Sabine melucuti seluruh pakaiannya.
"Bersihkan tubuh kamu, Sayang...," perintah Akhyar setelah selesai puas memandang tubuh polos Sabine yang mulus tak bercela.
_____
"Jadi ini pertama kali kamu mencoba mencari uang?," tanya Akhyar lembut. Diusapnya kepala Sabine yang duduk di sampingnya di tepi tempat tidur.
"Iya, Dad," jawab Sabine. Entah kenapa dia merasa tenang di sisi Akhyar. Sabine merebahkan kepalanya di dada Akhyar, lalu memohon Akhyar memeluk tubuhnya.
"Kamu pasti rindu Papa kamu ya?," desah Akhyar seraya melingkarkan dua tangannya di pinggang Sabine.
Sabine mengangguk. Dia jarang sekali bertemu papanya sejak lahir, karena tugas papanya yang kerap berpindah-pindah.
"Kamu mau Daddy kasih tempat tinggal yang lebih baik? Apartemen?,"
"Kenapa musti di apartemen, Daddy? Kenapa nggak sama Daddy aja? Daddy bilang Daddy nggak menikah," mohon Sabine.
Akhyar terkekeh. Dijawilnya dagu Sabine.
"Nanti banyak yang cemburu. Anak asuh Daddy bukan kamu saja, Sayang,"
Sabine tersenyum malu menyadari kebodohannya. Dikecupnya pipi Akhyar yang penuh dengan jambang yang lumayan tebal, namun ketampanan pria matang itu masih terlihat jelas.
"Trus..., kamu nanti ingin kuliah di Melbourne?,"
"Iya, Dad. Aku ingin kuliah di Melbourne. Aku belum pernah ke sana," jawab Sabine. Dia mengingat beberapa foto keluarganya yang sangat bahagia berada di sana.
Akhyar lalu membimbing tubuh Sabine yang polos untuk berbaring di sisinya di atas tempat tidur. Matanya tajam menatap mata Sabine yang mulai menunjukkan kepasrahan. Lalu lelaki matang itu melepas semua yang melekat di tubuhnya, dan hanya menyisakan celana dalam saja.
Dipeluknya tubuh Sabine, dikecupnya titik-titik di tubuh Sabine yang membuat Sabine merintih nikmat.
Hingga dia menindih Sabine dan kembali menatap wajah Sabine yang mulai menunjukkan kecemasan luar biasa.
Akhyar tersenyum manis.
"Daddy peluk kamu saja malam ini ya...," ujarnya akhirnya dengan nada membujuk.
Akhyar menarik selimut tebal untuk menutupi tubuhnya dan tubuh Sabine.
Dipeluknya tubuh polos Sabine sampai akhirnya mereka berdua benar-benar tertidur.
_______
Keesokan harinya,
Sabine dan Akhyar masih enggan bangkit dari tempat tidur meski sinar matahari cukup tajam memasuki celah-celah gorden yang terurai panjang di jendela.
"Dad..., Aku ok. Kalo Dad mau?," tawar Sabine tersenyum. Sepertinya dia sudah tenang. Sabine mulai membuka kakinya lebar-lebar menghadap tubuh besar Akhyar.
Akhyar mendorong tubuh Sabine perlahan sambil meletakkan kaki Sabine ke posisi semula.
"You are so precious..., Daddy yang nggak siap, Sayang,"
"Ok, Daddy,"
Sabine kecewa. Dia merasa kurang berhasil menggoda Akhyar. Padahal dia berharap segera mendapatkan satu pengalaman yang bisa membuatnya terbiasa dan tidak kaget lagi dengan hari-hari selanjutnya. Dia juga sudah yakin dengan kerja barunya. Tapi apa boleh buat, Akhyar menolak melakukannya.
Dengan perasaan tidak menentu, dia turun dari tempat tidurnya. Lalu, masih dengan tubuh polosnya, Sabine melangkah menuju kamar mandi. Langkahnya terlihat sangat gontai.
Sementara Akhyar yang masih terbaring hanya tersenyum melihatnya dari belakang. Entah apa yang dipikirkannya saat mengamati punggung polos Sabine yang membelakanginya.
______
"Mungkin aku bukan tipe mereka. Sudah dua pria yang menolak aku...," gumam Sabine sambil merapikan lipstiknya. Dia sudah rapi dan siap-siap untuk pulang. Dia tampak pasrah, menyadari bahwa dirinya memang tidak memiliki bakat menggoda pria-pria. Sekejap dia ingat saat berusia sepuluh tahun, dia berusaha menggoda Niko, Niko pun tidak tergoda oleh sikap manjanya. Hanya satu kecupan yang berhasil dia dapatkan dari pengasuhnya itu.
"Sudah siap pulang?," tanya Akhyar yang masih tidak berbaju. Dia duduk di tepi tempat tidur.
Sabine mengangguk lemah.
Akhyar perlahan bangkit dari duduknya, melangkah mendekati Sabine yang sudah hendak membuka pintu kamar hotel.
"Kamu temani Daddy ngobrol aja next time. Nggak perlu sex. Kecuali kalo kepepet," ujar Akhyar lembut sambil memeluk Sabine dan mengecup bibir Sabine sekilas.
Sabine tergelak. Akhyar juga. Mereka saling pandang, seakan sudah mengenal lama.
"Ini kartu buat jaga-jaga. Kalo kurang tinggal bilang Daddy ya? Daddy siapkan apartemen buat kamu kalo kamu sudah siap. Ok?,"
Perasaan Sabine kini berangsur tenang. Apalagi saat menatap mata teduh Akhyar seakan ingin melindunginya.
"Ok, Daddy," jawab Sabine dengan senyum lebar.
***
"Jadi lo semalam sudah mau grepe-grepe calon sugar baby lo. Trus dia mewek gitu? dan lo nggak tega?" Niko tampak santai duduk-duduk di berhadapan dengan Bira, sahabatnya. Mereka sedang berada di bagian luar restoran hotel. Seperti biasa rokok di tangan masing-masing dan dua gelas kopi pahit yang tergeletak cantik di atas meja.
"Iya. Sial tuh Ikhsan. Nyodorin gue yang belum pengalaman. Gue udah ngebayangin sugar baby yang dia tawarkan itu yang seneng-seneng, yang manja-manja, yaaaah... lo tau lah yang centil-centil. Ini malah yang diem, takut-takut. Yaelaaaa, gue juga takut, Nik. Paling nggak enak nangisin anak orang. Mending yang ditawarin Akhyar. Berpengalaman." Bira menggerutu panjang. Masih ingat semalam di benaknya wajah penuh air mata Sabine ketika hendak dia goda.
Niko terbahak-bahak mendengar cerita Bira.
"Lagian lo pake nyoba-nyoba,"
"Soalnya cantik banget, Nik. Gue terus terang belum pernah melihat cewek yang sesempurna calon bayi gula gue semalam. Yah..., agak nyesel-nyesel gimanaaaa gitu gue sekarang,"
"Udah. Jangan lo nyoba-nyoba lagi, Bir. Lo cari bini aja sekarang,"
"Yah..., gimana ya, Nik. Belum mau gue. Nggak siap punya komitmen kayak lo,"
"Hidup lo kentang, Bir. Lo kepingin bebas kayak bos Akhyar kayaknya nggak bisa, disuruh nikah lo nggak mau. Nikah, Bir. Biar hati lo tenang...,"
"Emang lo tenang, Nik?,"
Niko terdiam. Pertanyaan terakhir Bira sedikit menyentak hatinya. Apalagi seminggu lalu dia merasa galau luar biasa sejak dinyatakan mengalami gangguan fungsi seksual.
"Ya..., setidaknya ada yang meratiin lo, Bir. Ada yang mengkhawatirkan lo... nanyain apa udah makan atau belum. Yah..., hal-hal kecillah yang pasti bikin lo tenang,"
Bira mencebik. Dia tahu akhir-akhir ini Niko banyak diam. Dia juga tahu permasalahan rumah tangga Niko yang sebenarnya.
"Justru gue takut kayak lo, Nik. Seandainya gue di posisi lo sekarang, dibilang nggak bisa punya anak. Hah..., belum sanggup gue,"
Niko tersenyum.
"Ya..., lo jangan jadikan gue patokan. Si Roy tuh hepi udah nikah dan punya anak satu. Aman dia. Gue juga meski belum punya, tetap aja gue bahagia sama Evi. Yang penting tetapkan hati lo, Bir. Lo mau kayak Akhyar? Dia lain cerita. Emang dunianya sudah di situ. Bukan rahasia umum lagi. Coba lo pikir, cuma Akhyar doang yang sanggup begitu di kantor. Yang lain? Kagak ada. Padahal mereka juga berduit. Bisa aja punya anak asuh banyak kayak Akhyar,"
Bira terdiam. Tiba-tiba dia tersenyum.
"Apa gue ajak sugar baby gue semalam kawin aja ya? Hahaha..., gile, cantik banget, Nik. Masih ingat gue mukanya. Sayang nggak sempat moto," gumam Bira sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
Tiba- tiba pandangan Bira tersita ke seorang gadis muda yang sedang berjalan menuju sebuah taksi biru yang sudah menunggu.
"Shit!," umpatnya sambil melempar puntung rokoknya yang tinggal sedikit ke arah selokan yang ada di sisi bawah meja. Bira langsung berdiri dan mengejar gadis itu, tapi langkahnya langsung terhenti ketika taksi biru itu sudah melaju membawa gadis itu.
Dengan perasaan kecewa, Bira melangkah balik ke tempat duduknya semula di hadapan Niko.
"Napa, Bir?," tanya Niko heran.
Bira hanya menggeleng, lalu kembali menikmati rokoknya. Tapi setelah itu, dia diam seperti memikirkan sesuatu. Seingatnya Sabine langsung pulang semalam dari kamar hotelnya, tapi kenapa gadis itu muncul dari hotel itu di pagi harinya?
Tak lama kemudian, terdengar suara ramai di bagian dalam restoran. Niko dan Bira menoleh ke sumber suara ramai itu. Ternyata para peserta konferensi yang sedang menikmati sarapan pagi di bagian dalam restoran, menyambut dua tamu penting yang baru saja tiba. Lalu dua tamu itu ikut menikmati sarapan bersama mereka.
Sejenak suasana restoran pun kembali seperti semula.
Bira dan Niko yang duduk di bagian luar restoran hanya menggeleng-gelengkan kepala. Keduanya saling lempar senyum.
"Akhyar Sirojuddin ketemu Igor Kashawn. Klop! Yang satu gila bayi gula, satu lagi gila nenek-nenek. Bah! Hancur dunia persilatan...," gerutu Bira. Dan dua nama yang dia sebut adalah dua tamu penting yang disambut para peserta konferensi di dalam.
Niko terbahak-bahak. Mereka berdua memang sangat tahu sisi gelap kehidupan atasan-atasan mereka.
"Nik. Lo liat Akhyar bawa bayinya nggak semalam?," tanya Bira. Dia sedikit curiga dengan Sabine yang ternyata masih berada di hotel setelah ke luar dari kamarnya malam tadi.
"Nggak. Dia tuh paling anti diganggu kalo ikut acara serius kegini. Selalu sendirian, Bir," tanggap Niko yang sepertinya memiliki kedekatan dengan atasannya, Akhyar.
Bira menghisap rokoknya dalam-dalam. Pikirannya masih tertuju ke diri Sabine.
"Emang kenapa, Bir?," tanya Niko yang curiga dengan sikap Bira yang sedikit gelisah dari tadi.
"Nggak. Gue kepikiran ama calon bayi gue semalam. Habis gue kasih duit, tuh cewek pulang. Tapi barusan dia ke luar dari lobi hotel, trus pulang naik taksi yang udah nunggu di depan. Makanya tadi gue pingin kejar... Nah, nginep di mana bayi gueeee? Jangan-jangan pura-pura mewek aja tuh bayi. Sial!,"
Niko tergelak.
"Mungkin ada salah satu peserta kali. Dan menurut gue sih bukan Akhyar, apalagi Igor. Lo tau sendiri selera Igor tante-tante kaya,"
Pagi itu, pikiran Bira dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan.
***