Dua bulan kemudian...,
Akhyar tercenung melihat daftar belanja Sabine lewat ponselnya. Entah kenapa tiba-tiba sosok Sabine terlintas di benaknya sore itu. Tidak seperti 'anak-anak asuh'nya yang lain yang bisa menghabiskan ratusan juta tiap bulan bahkan tiap minggu, Sabine tidak. Uangnya seakan utuh, tidak sampai sepuluh persen dari jumlah uang yang ada di kartu itu yang sudah dipakai Sabine. Itupun digunakannya untuk pengobatan dan biaya kesehatan atas nama Puyono Affan.
Mungkin saking banyaknya sugar baby yang dia miliki, dia hampir saja melupakan Sabine. Lagipula, Sabine juga tidak menghubunginya. Rasanya aneh saja, karena semua bayinya selalu menanyakan kabarnya di tiap-tiap harinya, Sabine tidak. Padahal dia sudah menawarkan Sabine tempat tinggal, karena malam itu Sabine sedikit mengeluh mengenai tempat tinggalnya yang sempit. Sabine juga mengaku merasa kehadirannya merepotkan Pakde dan Budenya.
Tapi lagi-lagi Akhyar merasa heran kenapa Sabine tidak menghubunginya lagi? Padahal malam itu Sabine memohon-mohon kepadanya untuk bisa lebih dekat. Saat itu Akhyar menolak karena dia tidak ingin pikirannya terganggu. Dia sedang fokus dengan acara konferensi internasional yang sangat penting malam itu.
Akhyar menghela napas berat. Tidak tahu kenapa dia rindu gadis itu. Masih ingat wajah Sabine yang cerah saat dimandikannya. Sabine memang bilang kepadanya bahwa dia suka dimandikan.
"Ken, kamu tolong cari informasi gadis bernama Edith Sabine Mahfouz. Biasanya dia narik uang di daerah Pondok Cabe,"
***
Awalnya Bude Rita sedikit curiga dengan uang yang didapat Sabine. Dia sempat berpikiran bahwa Sabine mungkin saja berbuat 'jauh'. Dia teringat akan cerita tetangganya mengenai anak dari seorang tokoh masyarakat yang berbeda gang dari rumahnya. Anak gadis yang bernama Asni itu diduga menjadi piaraan gadun yang kini tinggal di sebuah apartemen dan memiliki barang-barang mewah.
Tapi ketika melihat gelagat dan tingkah Sabine yang tidak berubah, dia buang pikiran itu jauh-jauh. Sabine juga tidak membeli barang-barang mewah dan masih tinggal dengannya. Malahan Sabine lebih giat belajar. Dia bangun lebih pagi, juga lebih semangat.
Sempat pula terpikir olehnya bahwa uang yang didapat Sabine adalah hasil curian. Tapi ini sudah dua bulan dan tidak ada yang melapor atau mendatangi rumahnya, sekadar mengaku kehilangan kartu. Lagipula Sabine mengetahui pin kartu itu. Terlebih, Sabine juga acuh tak acuh dengan keberadaan kartu itu. Kadang dia letakkan begitu saja di atas meja makan jika Bude Rita membutuhkannya. Mungkin memang ada orang yang baik yang mau menolongnya, begitu simpul Bude Rita akhirnya.
***
Karena musim ulangan di sekolah, Sabine mengurangi pertemuannya dengan Bella dan Katie. Mereka hanya kerap berhubungan lewat aplikasi pesan. Pembahasan mengenai gadun-gadun tetap menjadi bahan pembicaraan mereka di group aplikasi tersebut. Dan Sabine hanya membalas percakapan grup dengan emotikon saja. Karena hanya dia yang belum 'resmi' jadi anak asuh seorang gadun. Meski sudah dimanja dan diberi uang jajan oleh pria matang bernama Akhyar.
Ket, gimana rencana lo ganti gadun?
Iya nih, sebel gue. Tiap hari diteror ama bininya Om Beni.
Atau sama Om Bira noh, kata Om Ikhsan, Om Bira masih nyari-nyari.
La? Mereka saling kenal, Bellong!
Sabine! Woi..., jangan ngintip aja lo! Ngucap kek!
😁
Haha, Sabine, sugar baby nggak jadi. Bikin apes Om Om.
Bodo...,
Masih minat, Sab?
Kagak
Sabine betah miskin, Bellong!
Sabine emang beda, Kucing!
Seterusnya, Sabine hanya tersenyum-senyum membaca pesan-pesan dari dua sahabatnya. Bella dan Katie memang sering berbeda pendapat, tapi mereka sebenarnya sangat dekat. Dibanding dirinya, Bella dan Katie lebih sering jalan bersama, karena kebetulan tempat tinggal mereka berdekatan, plus duduk di kelas yang sama pula.
Menjadi sugar baby bagi Katie dan Bella hanya bentuk pelarian. Hidup dengan orang tua tunggal tidak mudah bagi mereka. Bella yang sejak kecil ditinggal papanya tentu menginginkan kasih sayang pria matang. Atau Katie yang sedari kecil ditinggal mamanya, dan papanya menikah lagi dengan wanita lain, di mana dia sendiri tidak begitu akur dengan mama tirinya, sehingga hubungan dengan papanya sangat buruk. Tentu saja dia ingin mencari kasih sayang dari pria matang. Dan Om Beni adalah tempat curahan hatinya. Lagipula dia juga mampu memenuhi apa yang dibutuhkan Beni.
Tinggal Sabine. Sepertinya dia hampir saja memulai petualangannya. Hanya saja dia belum berani berbagi kisahnya dengan dua sahabatnya. Pasti keduanya heboh, begitu tahu bahwa yang pria yang tidur dengannya di hotel itu dua bulan lalu adalah seorang bos besar, atasan sugdad mereka.
Tapi Sabine juga tidak yakin dengan Akhyar. Pria itu suka mengumbar uang saja menurutnya. Bukannya kasih sayang seperti yang didapatkan Bella dan Katie dari sugdad mereka. Apalagi ternyata Akhyar memang terkenal memelihara banyak gadis-gadis belia seperti dirinya. Sabine memutuskan untuk tidak terlalu jauh, toh uang yang diberikan Akhyar kepada dirinya sudah lebih dari cukup.
Sabine sebenarnya juga tidak bisa menyangkal perasaannya yang begitu dalam dengan Akhyar. Perlakuan Akhyar malam itu benar-benar membuatnya terbuai hingga mampu menghapus kenangannya bersama cinta pertamanya, Niko. Sentuhannya, tatapan teduhnya, suara bassnya yang begitu merdu, begitu merindukan. Hingga Sabine merasakan cemburu hebat saat melihat Akhyar pergi bersama gadis-gadis lain di café.
Dan Sabine tidak mau membiarkan perasaan itu menguasai dirinya. Lebih baik jalan sendiri seperti sekarang. Tenang bersama Bude dan Pakdenya. Tidak ada yang dikhawatirkan.
Tapi sepertinya ketenangan itu tidak berlangsung lama. Sebuah mobil mewah sedan berhenti tepat di hadapan Sabine yang berdiri tengah menunggu angkot menuju pulang. Saat itu Sabine baru saja ke luar dari ruang ATM yang kebetulan letaknya agak jauh dari rumahnya. Dan Sabine masih berseragam sekolah dengan jaket hitam yang selalu setia menutupinya.
Sabine terperangah saat kaca mobil bagian belakang turun perlahan.
Akhyar tersenyum ke arahnya.
Sesak dada Sabine melihat senyum pria itu. Sekejap dia merasa tidak mampu bergerak.
"Naiklah," perintah Akhyar.
Sabine masih tidak bergerak. Dia ragu. Dia masih terus mengatur deru napasnya yang tiba-tiba memburu. Dia belum siap bertemu dengan pria itu. Wajahnya menunjukkan kecemasan luar biasa.
Tampaknya Akhyar menyuruh sopirnya untuk membimbing Sabine memasuki kendaraannya.
"Ayo, Dik. Masuk. Pak Akhyar mau ngobrol. Nggak lama. Yuk," bujuk sang sopir sopan. Saking sopannya dia membungkuk hormat ke arah Sabine. Tentu Sabine luluh dengan sikap sang sopir. Akhirnya dia menurut, melangkah memasuki mobil dan duduk di sisi Akhyar.
Pintu mobil pun ditutup Sopir perlahan.
"Kamu nggak pernah hubungi Daddy lagi, Sabine?," tanya Akhyar tanpa basa basi. Ditatapnya wajah Sabine yang menunduk di sampingnya.
"Sabine...,"
"Nggak papa, Daddy. Uangnya masih cukup. Makanya aku nggak hubungi Daddy lagi,"
"Kamu bilang sebelumnya kalo kamu mau pindah ke apartemen. Daddy udah siapin buat kamu,"
"Nggak perlu, Dad. Aku nggak enak sama Bude dan Pakde,"
"Kamu bilang kamu nggak mau susahin mereka,"
"Uangnya cukup, Daddy,"
Tiba-tiba Sabine tidak sanggup menahan tangisnya.
"Sabine..., ayo. Ngomong, Sayang. Pasti ada yang kamu sembunyikan,"
Sabine menggeleng. Dia terus menunduk.
Akhyar meraih dagu Sabine.
"Hei..., ada apa?," tanya Akhyar yang memandang wajah Sabine yang sudah penuh dengan air mata.
"Aku balikin aja kartu Daddy ya?,"
Akhyar melepaskan tangannya dari dagu Sabine.
"Kamu punya pacar?,"
Sabine menggeleng.
"Ini, Daddy, kartunya. Aku pake sekitar tiga puluh juta...,"
"Sabine!,"
Akhyar mendorong tangan Sabine yang menyerahkan kartu ke arahnya.
"What's wrong? Must be about me,"
Sabine tertunduk lagi. Kali ini tangisnya benar-benar pecah. Dia tutup wajahnya dengan dua tangannya.
"Aku cemburu...,"
Akhyar mengusap-usap punggung Sabine.
"Aku nggak sanggup liat Daddy jalan sama yang lain di café Sudirman dua bulan lalu,"
Tanpa ayal Akhyar merangkul pundah Sabine. Memeluknya.
"Maaf, Daddy. Aku nggak bisa jadi anak Daddy,"
Akhyar mengusap-usap kepala Sabine serta mengecupnya.
"You are my baby, Sweetheart," bisiknya lembut.
***