Sabine meraih ponselnya yang dia tidak acuhkan sejak semalam. Bibirnya mencebik melihat ada banyak panggilan yang dia terima. Dari Bella juga Katie.
"Di mana lo, Sab?." Terdengar suara garang Bella di telinga Sabine.
"OTW balik. Gue baru pulang dari hotel. Ini masih di taksi," jawab Sabine cuek.
"Ha? Dari hotel? Lo bukannya kabur dari Om Bira semalam?,"
"Tau dari mana lo?,"
Helaan jengkel dari Bella terdengar.
"Sabine..., gue ditelpon sama Om Ikhsan, dia cerita kalo lo mewek pas mo mulai. Bira yang kasih tau dia semalam,"
"Lo? Kok Om Bira hubungi Om Ikhsan? Bukannya perjanjiannya harus jaga rahasia?,"
"Soriii, gue lupa ngasih tau lo soal kedekatan Om Ikhsan ma Om Bira. Mereka sepupuan."
Sabine mendengus kesal. Sebelum memutuskan untuk 'bekerja', Bella berhasil meyakinkan dirinya bahwa menjadi piaraan pria hidung belang kelas atas harus pandai-pandai menjaga rahasia dan tidak mengumbar kegiatan yang berhubungan dengan mereka di medsos. Ternyata bocor juga dan malah terjadi di saat dia baru saja memulai. Ya, mungkin aku memang nggak berbakat menjadi sugar baby, Sabine membatin.
"Eh, trus lo baru dari hotel? Lo ngapain di sana? Nginap di mana lo?,"
Pertanyaan yang di luar dugaan muncul dari mulut Bella. Sabine sempat terdiam.
"Gue nginap di balik-balik tiang hotel," dusta Sabine.
"Ha? Masa? Kok bisa? Nggak diangkut satpam hotel lo?," cecar Bella.
"Nggak..., gue disayang satpam, Bellaaaa," canda Sabine.
"Aih? Sabiiiine!! Geliii,"
***
Minggu sore, Sabine kembali meluncur bersama Bella dan Katie dengan mobil mewah yang dikendarai Bella. Mereka menuju sebuah café mewah di daerah Sudirman. Bukan mengincar para gadun yang sering nongkrong di sana, tapi Bella hanya iseng ingin menjelaskan ke Sabine dunia yang dia geluti sekarang.
Dan kini mereka sudah duduk cantik di dalam café dan mulai menyalakan rokok masing-masing. Minuman dingin yang sebelumnya mereka pesan pun sudah siap dinikmati.
"Sab Sab. Untung kita sobitan dari awal SMP. Kalo nggak, gue cekek leher lo sampe mampus!," mulai Bella. Katie yang di sebelahnya cekikikan.
"Sori, Bel. Gue bener-bener nggak siap semalam. Gue ngerasa Om Bira nggak begitu senang sama gue,"
"Gimana mau senang, lah komuk lo aja anyep gitu. Kan udah gue bilang ke elo, lo harus centil-centil, manja-manja...,"
"Enak banget Sabine, duit dapet, sementara lo masih 'utuh'," Katie ikut menyela.
Bella terlihat kesal dengan Sabine.
"Jadi gimana nih? Lo masih mau terusin? Atau lo jalan sendiri. Gue punya aplikasi nih kalo lo mau. Cuma kekurangannya kalo lewat aplikasi, kita benar-benar blank. Kalo lewat gue ya orangnya jelas. Nih, macam-macam jenisnya, ada yang cuma sekadar ajak ngobrol tanpa ngesex, tapi emang bayarannya kecil. Terserah lo. Gue cuma ngasih lo jalan. Kalo masih ngarepin relasi gue, gue bisa atur,"
Sabine hanya memandang layar ponsel Bella sekilas. Senyum sinis muncul begitu saja dari bibirnya. Dia tidak begitu bergairah membaca berbagai informasi yang ditawarkan lewat aplikasi tersebut. Dia sudah dimanja Akhyar semalam.
Sabine menghisap dalam-dalam rokoknya mengenang kejadian semalam. Benar-benar di luar perkiraannya. Masih terasa lembutnya sentuhan-sentuhan jari-jari panjang halus Akhyar yang memandikannya semalam. Penuh kasih sayang. Kembali terkenang masa kecilnya yang senang dimandikan oleh pengasuh-pengasuhnya terdahulu, dari Ika, Erni, terakhir Niko. Lalu semalam Akhyar.
Sabine memejamkan matanya ketika menghembuskan asap rokok dari mulutnya sambil mengingat dirinya yang didekap penuh Akhyar semalam di atas tempat tidur. Begitu hangat. Aroma tubuh polos Akhyar masih tercium olehnya. Tatapan lembut Akhyar pun seakan memenuhi benaknya sekarang.
Tiba-tiba Bella berteriak tertahan. Sabine tersentak, lamunannya pun buyar.
"Paan, Bel?," tanya Katie yang sedari tadi asyik memainkan ponselnya.
"Wah..., ada bos besar Akhyar, Ket..., noh. Gile sekali jalan bawa tiga. Hahaha," ujar Bella dengan nada tertahan. Dia juga tidak ingin orang-orang di sekelilingnya mendengar.
Sontak Sabine dan Katie menoleh ke sosok pria matang gagah sedang berjalan memasuki café. Pria itu ditemani tiga gadis-gadis muda yang semuanya cantik-cantik. Terdengar pula tawa-tawa renyah dari mereka.
Wajah Sabine sedikit berubah, perlahan dia perbaiki letak duduknya. Dia tidak ingin Akhyar melihatnya.
"Beh..., sial banget. Bikin kepingin ganti sugar daddy kalo ngeliat Daddy Akhyar," rutuk Bella. Pandangannya penuh dengki melihat gadis-gadis cantik yang mendampingi Akhyar. Penampilan mereka memang sangat wah.
"Lo cari mati, Bel. Lo tau sendiri bayi-bayi Akhyar galak-galak. Lo ingat nggak waktu kita kencan bareng di café Kemang, pas acara seminar kantornya Om Ikhsan dan Om Beni. Ada dua bayinya tuh gadun lagi berantem di depan café, cuma gara-gara saling merasa dikasih perhatian lebih dari Akhyar," sela Katie.
"Haha..., bener lo, Katie. Sampe Om Ikhsan bilang tuh sugar baby cantik selangit, tapi norak. Hahaha...,"
"Iya..., norak-norak, Bel. Duitnya banyakan mereka,"
"Hahaha..., bener banget lo, Kucing,"
"Sejak itu kan kata Om Beni, Daddy Akhyar ogah bawa bayi-bayinya ke acara-acara penting kantor,"
"Oh...gitu,"
Sabine tampak diam saja mendengar celoteh dua sahabatnya. Entah perasaannya kini berubah galau.
"Ya..., Daddy Akhyar mah kelasnya beda. Anak kuliahan incarannya. Trus anak-anak orang kaya. Aneh ya? mereka udah kaya, trus masih nyari sugar Daddy. Nggak puas-puasnya,"
"Itu artinya, Daddy Akhyar punya pesonaaaa... pria kayak dia wajar sugar baby banyak, sampe hampir setiap titik apartemen jakarta tersedia bayi-bayi gula buat dia. Duitnya banyak. Tapi gampang-gampang susah lo deketinnya. Katanya terlalu banyak peraturan juga. Dia high class. Yang kuliah-kuliah aja,"
Sabine hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saat mendengar celoteh Bella dan Katie. Dia coba usir perasaan galaunya dengan menyalakan rokoknya sekali lagi.
"Nambah, Sab? Tumben? Biasanya ada jedah..., hehe," ujar Bella.
Sabine hanya tersenyum simpul. Sebentar ditolehnya sekali lagi sosok Akhyar yang penuh senyum tengah merangkul gadis-gadisnya. Akhyar memang sangat hangat dan menyenangkan.
***
Sabine memanfaatkan uang yang diberikan Akhyar dengan membeli obat-obatan buat Pakde Yono. Dia juga tidak lupa mengantarkan Pakde Yono ke dokter spesialis paru. Ternyata, Pakde Yono memiliki riwayat TBC akut. Untungnya masih ada harapan untuk sembuh, karena Pakde cepat memeriksakan dirinya ke dokter.
"Kamu dapat uang dari mana bisa beli obat-obat mahal ini, Sabine?," tanya Bude Rita saat Sabine menyiapkan obat untuk Pakde Yono.
"Dikasih sama Pak Akhyar namanya. Aku cerita tentang keadaan keluarga kita, Bude. Perlu uang lebih buat kesehatan Pakde Yono. Trus dia kasih aku kartu ini. Kalo Bude butuh apa-apa, bilang aku. Atau Bude mau pegang?,"
Bukan perasaan senang yang dirasa Bude Rita. Dia justru terenyuh dengan sikap Sabine.
"Kamu pegang aja. Emang banyak?," tanya Bude Rita sambil menjawil pinggang Sabine. Matanya mengerling nakal.
Sabine mengangguk.
"Ratusan juta...,"
Bude Rita ternganga.
"Bude mau beli apa? Mau jalan-jalan? Baju? Biar Sabine cairkan, atau Bude pegang kartu ini biar Bude bisa bebas pilih yang Bude mau beli,"
Bude Rita tertawa.
"Mau beli mobil nggak punya garasi," gumam Bude Rita dengan wajah cemberut.
"Hahaha, Budeeee,"
"Ya udah. Motor aja. Buat Pakde Yono ngojek. Motor lama tak ganti,"
Sabine tersenyum lebar.
"Kartunya kamu pegang, Sabine. Duitnya Bude pegang ya?,"
"Iya, Bude. Hahaha...,"
_________
Sabine senang melihat Pakde Yono yang semakin hari semakin kelihatan sehat. Sudah dua malam ini dia tidak lagi mendengar rintihan dan erangan Pakde Yono menjelang tidur. Wajah Bude Rita juga terlihat lebih bugar, karena tidurnya tidak lagi terganggu. Sebelumnya, wajah Bude Rita terlihat lelah setiap bangun pagi. Sekarang, Bude Rita tampak semangat memulai hari-harinya.
Pun Sabine. Dia juga semakin semangat belajar. Tekad ingin mendapatkan beasiswa kuliah di salah satu Universitas favorit di negeri Kangguru semakin menggebu. Meski Mama dan kakak-kakaknya tidak memperdulikan dirinya, tetap saja ada sedikit rindu yang dirasa Sabine. Walaubagaimanapun, mereka adalah keluarga Sabine. Toh, selama ini hidupnya juga tidak jauh-jauh dari keluarga, meski duka dan musibah menghampiri.
Sabine cukup hemat. Uang pemberian Akhyar tidak serta merta dia habiskan begitu saja. Sudah banyak yang dia rencanakan menjelang dia benar-benar akan mandiri dengan uang itu. Terpenting bagi Sabine sekarang adalah kesehatan Pakde Yono, Bude Rita, juga dia sendiri.
Untungnya Bude Rita juga tidak terlalu euforia dengan uang sebanyak itu. Dia juga tidak punya hasrat memiliki sesuatu yang berlebihan. Yang penting sehat dan masih bisa mengais rezeki seperti biasa. Bude Rita tidak ingin hari-harinya berubah.
***