Chereads / Sabine / Chapter 15 - Pengalaman Pertama

Chapter 15 - Pengalaman Pertama

Evi mengusap-usap punggung Niko saat Niko membuka surat dari dokter Andrologi. Niko dinyatakan memiliki gangguan kesuburan di sistem reproduksi dan fungsi seksualnya. Harapan memiliki anak sepertinya pupus sudah.

"Maaf, Sayang..., mungkin ini jawabannya kenapa kita sulit memiliki anak. Aku minta maaf jika selama ini selalu menolak diperiksa," ucap Niko seraya membuka kacamatanya dan menyeka keningnya.

Hampir enam tahun lebih Niko dan Evi menunggu kehadiran buah hati. Selama itu juga mereka sudah melakukan berbagai macam usaha, namun tidak membuahkan hasil. Sebelumnya Evi sudah memeriksakan dirinya ke dokter kandungan. Hasilnya tidak ada gangguan di kandungannya, malah semuanya dinyatakan sangat sangat normal. Hasil pemeriksaan terhadap kandungan Evi tersebut justru membuat Niko menjadi tiap siap untuk diperiksa, khawatir tidak siap dengan hasilnya.

Akhirnya, Niko pun memutuskan untuk memeriksakan dirinya. Ini karena hampir setiap malam menjelang tidur, Evi selalu tampak sedih dan sering membuka-buka laman mengenai berbagai cara agar memiliki keturunan.

"Nggak papa, Niko," ucap Evi lirih.

"Maaf," ucap Niko sekali lagi. Lalu dengan langkah gontai dia menuju ke balkon kamar, duduk termenung, lalu menyalakan rokok.

Evi hanya memandang nanar punggung Niko. Sedikit menyesal karena kerap menyuruh Niko memeriksakan diri. Dia sebenarnya hanya berharap Niko bisa menerima kenyataan dan mau mengikuti saran-saran dari dokter. Tapi sepertinya hasil pemeriksaan yang sudah diterima malah membuat perasaan Niko sangat terpukul dan tidak lagi percaya diri.

_______

"Jika kamu memang sangat menginginkannya. Kita bisa pisah baik-baik. Kamu normal, Sayang,"

"Aku nggak mau, Niko. Aku nggak sanggup pisah,"

"Aku juga nggak mau jadi beban kamu terus menerus, Evi,"

"Kita cari jalan lain. Pasti ada, Niko,"

"Sampai kapan? Kamu lelah nanti,"

Niko memandang wajah istrinya lamat-lamat. Sungguh dia tidak ingin menjadi penghalang bagi Evi yang menginginkan seorang anak.

"Niko. Aku mau menunggu,"

"Sampai kapan, Sayang?,"

Evi menggelengkan kepalanya.

"Aku belum siap. Please, jangan bicarakan tentang pisah. Aku nggak mau," isak Evi lalu memeluk Niko erat-erat.

"Mungkin memang seharusnya aku memeriksakan diri sedari dulu. Ini sudah enam tahun lebih," ujar Niko sambil membelai rambut Evi dan mengecup kepala Evi berulang-ulang. "Usiamu semakin bertambah, Sayang. Aku malah takut kamu nggak punya kesempatan lagi untuk memilikinya," lanjutnya. Suara Niko terdengar sangat serak.

Pasti sangat berat bagi keduanya. Sebelum menikah, mereka menjalin kasih selama lima tahun, lalu menikah. Dan kini usia pernikahan mereka sudah hampir memasuki tahun ke tujuh. Berpisah sangatlah tidak diinginkan keduanya. Karena mereka saling sayang dan cinta.

Evi mengeratkan pelukannya. Bimbang sudah menyelimuti jiwa dan raganya. Tidak sanggup membayangkan berpisah dari Niko, namun di sisi lain dia sangat menginginkan seorang anak.

***

Malam Minggu ini, Sabine menghabiskan waktunya bersama Bella dan Katie di sebuah café mewah. Kebetulan Bella dan Katie sedang tidak 'bertugas'.

"Jadi Om Beni sama Om Ikhsan itu satu kantor?," tanya Sabine setelah meneguk minuman sodanya.

"Iya..., sekarang lagi ditugaskan ke Pontianak," jawab Bella.

Sabine celingukan.

"Napa, Sab?,"

"Kok kita ke café sih? Bukannya biasanya mereka-mereka itu senangnya di club-club?,"

Katie dan Bella tertawa.

"Yaelah, Sab. Bakal ketawan dong kalo di sana. kalo di sini nggak terdeteksi. Jadi kesannya kayak ketemu klien gitu,"

"Paham aja lo, Bel,"

Bella merapikan rambut panjangnya dengan gaya sok. "Iya dong..., professional sugar baby," decaknya.

Sabine dan Katie saling pandang. "Preeet," Katie sudah tidak sanggup lagi menahan rasa jengkelnya terhadap gaya sok Bella.

"Bentar...," desah Bella saat ponselnya berbunyi.

"Ya, Om Ikhsan? Hm..., iya ini kita udah nunggu hampir setengah jam. Namanya Om Bira ya? Birahi? Hahaha..., Om bisa aja. Oh..., Cakrabirawa. Okee, baju batik biru? Trus? Iya nggak papa kalo dia nggak mau kasih nomer hape. Yang penting kan Om Ikhsan bisa tetep berhubungan dengan Bella... Siap. Cantik. Iyaaa... sayaaaang. Mmmuah, ntar Bella cek rekening Bella besok. Oke Om Ikhsan ganteeeeng,"

Klik. Ponsel ditutup Bella.

Sabine mencibir melihat tingkah manja Bella saat menerima telepon.

"Ingat..., professional sugar baby. Harus manja-manja. Kalo nggak kegitu, Om-Om nggak sayaaaang. Lo contohin kayak tadi, Sab. Sikap cuek dan diam lo, lo usir jauh-jauh,"

Katie menepuk pundak Sabine, "Lo pasti bisa...," ucapnya memberi semangat.

Lalu pandangan ketiganya tertuju ke sosok pria bertubuh gempal, berbatik batik biru, sedang berdiri di depan meja kasir.

"Itu kali..., wah, atletis booo, gumussssh," decak Katie.

"Sab..., kita tinggal ya?," ujar Bella.

"Good luck," dukung Katie.

Katie dan Bella pun pergi meninggalkan Sabine.

_______

Sabine mengatur detak jantungnya yang mulai tidak beraturan saat pria bertubuh kekar itu berjalan menuju tempat duduknya. Apalagi saat pria itu tersenyum lebar ke arahnya. Sabine hanya mampu membalas senyum pria itu dengan senyum kecut.

"Sabine?," tanya pria itu memastikan.

"I...iya, Om," jawab Sabine gugup.

Pria itu lalu duduk di hadapannya.

Tak lama seorang pramusaji datang membawa pesanannya.

"Panggil Om Bira," ujar Bira setelah pramusaji itu pergi.

"Ok, Om Bira,"

Bira menikmati kue kecil yang dia pesan.

"Sekolah?,"

"Iya, Om. Kelas 12,"

Lalu keduanya diam karena Bira pun tampak kikuk.

-----

Sabine pasrah saat Bira menggandeng tangannya melangkah menuju hotel mewah. Tidak banyak kata-kata yang ke luar dari mulut Bira selama perjalanan dari café menuju hotel bersama Sabine. Hanya senyum yang menghiasi bibir Bira dan tatapan sendu saja.

Kini Sabine berada di sebuah hall yang dipenuhi banyak orang. Banyak juga yang berperawakan sangat asing. Ternyata ada acara penting di sana, yaitu konferensi internasional yang membahas mengenai perekonomian dunia. Sepertinya, Bira adalah salah satu peserta acara tersebut.

"Yuk. Ikut Om," ajak Bira akhirnya yang sebelumnya menyuruh Sabine menunggu dirinya di depan gerbang Hall.

Sabine menurut.

Entah apa yang Sabine rasakan saat berduaan dengan seorang laki-laki. Dia kembali mengingat Niko, sosok laki-laki pertama yang sangat dekat dengannya. Ingat juga pesan Niko yang selalu mengingatkannya untuk selalu menjaga dirinya dengan sebaik-baiknya. Sabine hanya diam membisu mengenangnya.

Sabine menelan ludahnya kelu ketika Bira membukakan pintu kamar hotel untuknya. Aroma dari dalam kamar langsung menerpa hidungnya. Perasaan Sabine kembali bercampur aduk, antara takut dan cemas. Tidak sadar, keringat dingin mulai mengucur dari dahinya.

"Baru pertama kali?," tanya Bira yang sudah mulai membuka kancing-kancing baju Sabine.

"Iya, Om," jawab Sabine lirih. Matanya sudah mulai memanas.

Bira mengecup bibir Sabine. Sabine tidak bereaksi sama sekali.

"Kenapa?," tanya Bira yang merasa bibirnya basah karena tetesan air mata Sabine.

Sabine menggeleng. Dia sudah tidak mampu menahan tangisnya.

Bira menatap mata Sabine dalam-dalam. Sekejap iba menyelimuti dirinya.

"Kamu belum siap?," tanya Bira. Dia tidak mau malamnya terganggu dengan sikap sedih Sabine.

"Iya...," jawab Sabine serak.

Bira menghentikan kegiatannya agar tidak bertindak lebih jauh. Dia malah membiarkan Sabine menutup kembali kancing-kancing yang sebelumnya terbuka.

"Maaf, Om," ucap Sabine di tengah isaknya.

"Ok..., ini kamu ambil saja uangnya. Go...," ujar Bira sambil menyerahkan amplop coklat agak tebal ke tangan Sabine.

"Nggak usah, Om. Aku nggak papa...," tolak Sabine. Dia lalu berbalik menuju pintu hotel. Bira mengejarnya.

"Sabine. Ambillah. Kamu butuh duit. Ini Om sudah persiapkan buat kamu,"

"Tapi aku nggak berbuat yang menyenangkan hati Om malam ini,"

"It's Okay. Ambillah... and go,"

Sabine menatap mata Bira. Dengan tangan gemetar dia raih amplop dari tangan Bira yang memaksa.

"Makasih banyak, Om Bira," ucap Sabine.

_____

Sabine terduduk di ujung koridor kamar hotel tepat di sisi lift. Dia terisak sambil mendekap amplop pemberian Bira. Perasaannya sangat tidak enak sekarang, juga bingung. Kenapa harus nanggung begini? Kenapa dia tidak senang menerima uang tadi? Seharusnya dia bisa mendapatkan lebih jika dia menunjukkan rasa senang di hadapan Bira. Bira terlihat sangat berduit. Semua yang melekat di tubuh kekarnya serba mahal. Apalagi Sabine sempat melirik dompet panjang Bira penuh dengan berbagai macam jenis kartu ATM dan kartu kredit.

"Pokoknya, Sab. Lo tunjukkan wajah senang kalo udah di hadapan gadun lo. Manja-manja gitu. Semakin lo manja dan berwajah riang, semakin banyak tuh gadun kasih lo duit. Intinya jangan sampe lo berkhianat aja,"

Dan kata-kata Bella tidak diikuti Sabine saat berduaan dengan Bira. Sabine belum siap.

Tiba-tiba lift terbuka. Seorang pria tinggi berperawakan timur tengah ke luar dari lift. Sepertinya dia juga merupakan salah satu peserta konferensi yang diadakan di hall utama hotel, dilihat dari pakaian resmi yang melekat di tubuhnya, juga name tag yang tergantung di lehernya.

Sabine tidak bergeming. Dia masih sibuk menenangkan diri. Dia masih menyenderkan tubuhnya di dinding sisi lift.

Sementara pria itu sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Dia terus saja berjalan menyusuri koridor hingga ujung. Ternyata kamarnya berada di ujung koridor.

Namun saat dia membuka pintu kamarnya, pria itu menoleh ke arah Sabine yang masih duduk termenung. Ditutupnya kembali pintu kamarnya, dan melangkah menuju Sabine.

"Kamu menunggu seseorang?,"

Sabine terkejut. Cepat-cepat dia memasukkan amplop coklat yang dia dekap barusan ke dalam tas kecilnya yang lusuh. Dia juga langsung bangkit dari duduknya sambil melap-lap dua pipinya yang masih dipenuhi dengan air mata yang mulai mengering. Dan Pria itu memperhatikan gerak gerik Sabine dengan seksama.

"Nggak, Om. Aku Mau pulang," jawab Sabine gemetar.

"Yakin pulang? Kenapa nggak masuk lift tadi ketika terbuka?,"

Sabine bingung mau jawab apa. Tenggorokannya seakan tercekat.

Tangisnya pun pecah lagi.

Pria itu tersenyum.

"Ayo. Ikut Daddy Akhyar. Kamu pasti selesai 'tugas' kan? Atau lagi berantem sama gadun kamu ya?,"

Sabine menggeleng dengan kepala tertunduk.

Pria yang mengaku bernama Akhyar itu tampaknya sangat berpengalaman menghadapi gadis-gadis muda seperti Sabine. Perlahan dia menggenggam tangan Sabine dengan lembut, menariknya, dan mengajaknya ke kamarnya yang berada di ujung koridor.

Entah kenapa Sabine menurut. Dia seakan tersihir oleh sikap lembut pria tampan itu. Apalagi saat Sabine menarik napas, wangi tubuh pria itu mampu menenangkan perasaan Sabine dalam sekejap.

***