"HEH! TIANG AMA GUE, GANTENGAN GUE! KENAPA LO MALAH LIATIN TUH TIANG MULU! ADA GUE YANG JAUH LEBIH GANTENG DI SAMPING LO NIH!" kata Lingga kesal.
Kilau tetap diam. Diam, karena mendadak penglihatannya rabun. Pemandangan tiang bendera di depan matanya terbagi menjadi berbayang-bayang. Kilau mengerjapkan kedua matanya berkali-kali, berusaha menghilangkan penglihatan yang kabur itu. Kenapa tiba-tiba kepalanya juga mendadak pusing?? Kakinya makin melemas, semua berputar-putar di matanya. Seperti naik wahana tornado. Kakinya berkali-kali menjinjit ke depan dan ke belakang.
Bau darah segar menyeruak ke dalam lubang hidungnya dan seperti ada yang baru saja mengalir keluar dari dalam hidung. Segera tangan Kilau menyentuh bawah hidungnya. Benar saja, sebuah darah merah membekas di jarinya. Ia mimisan.
Tak peduli dengan ucapan yang keluar dari mulut Lingga. Kilau benar-benar panik dengan melihat adanya darah yang keluar dari lubang hidungnya. Sampai akhirnya, pertahanannya runtuh seketika dan ia pun tumbang. Mendadak semua berubah menjadi gelap total.
Deg.
Kilau mengerjapkan kedua matanya perlahan. Sebuah sinar putih perlahan masuk ke dalam retina matanya. Penglihatan yang tadi samar-samar perlahan demi perlahan berubah sangat jelas. Kini, ia sudah sadar, meski tenaganya masih belum kuat, alias masih lemas.
"Anton?!" kata Kilau saat menyadari kehadiran Anton yang sudah duduk di samping ranjangnya.
"Kil, lo udah sadar?"
Kilau tidak menghiraukan perkataan itu. Pikirannya langsung tertuju pada Lingga.
Kilau segera bangkit mendudukkan dirinya. Hal itu membuat Anton kaget dan segera membantu Kilau untuk duduk.
"Lingga mana?? Gue mau ketemu dia?"
"Lo masih belum pulih, Kil. Jangan pergi ke mana-mana dulu," perintah Anton. Namun, tetap saja Kilau keras kepala, tidak mau menuruti perintah cowok itu.
"Enggak! Gue mau susulin Lingga. Toh, gue masih kena hukum!" kata Kilau sewot.
Anton kaget atas ucapan Kilau yang sewot itu. "Keras kepala!" batin Anton.
Tepat sekali saat Kilau hendak turun dari ranjang. Seseorang membuka pintu UKS. Muncullah sosok cowok bertubuh tinggi, ganteng, dan gagah. Kilau tersenyum lebar saat melihat sosok itu.
"Oh, lo udah sadar rupanya. Ya udah, gue tinggal kalo gitu," katanya cuek. Terkesan malas-malasan ngomongnya. Lingga hendak pergi secepatnya.
Namun, pintu yang barusaja hendak ia tutup kembali, langsung ditarik dari dalam. Hingga, pintu terbuka lebar.
"Lingga tunggu! Mau ke mana?"
Lingga menoleh. "Gue mau ke lapangan. Hukuman gue masih berlaku."
Setelah bilang begitu Lingga berjalan menjauh. Kilau mengejarnya. Sedangkan, Anton mengikuti Kilau dari belakang dengan berjalan santai.
"Tunggu Lingga! Gue ikut!"
Lingga menghentikan langkahnya dan menoleh ke kiri.
"Ikut ke mana?! Gue mau lanjutin hukuman gue."
"Gue juga! Lo nggak lupa kan? Kalo gue juga di hukum."
Lingga memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan berkata, "Hukuman gue masih lanjut, sedangkan hukuman lo udah enggak!"
Lingga kembali berjalan. Lagi-lagi, Kilau mengejarnya. Jujur, dirinya masih lemas. Tapi, Kilau tak mau Lingga menjalankan hukuman sendirian. Tak enak hati!
"Enggak Lingga! Gue mau ikut bareng lo."
Deg.
Lingga mengerem mendadak. Kaget. Saat, Kilau menghalangi jalannya.
"Ck, jangan ngeyel kalo di omongin! Tenaga lo masih lemah. Karena, lo habis pingsan dan baru sadar. Entar, kalo lo pingsan lagi gimana?" kata Lingga. "Nyusahin aja yang ada!" Sambung Lingga dalam hati.
Kilau merasa cowok dihadapannya ini sangat perhatian dan peduli padanya.
"Lingga, peduli sama Kilau? Jangan-jangan Lingga sayang ya sama Kilau?" katanya dengan senyum bahagia.
Lingga menatapnya datar.
"Peduli bukan berarti sayang. Peduli hanya sebuah bentuk rasa simpatik, nggak lebih!" kata Lingga dengan nada dingin. "Jangan Ge-er!" tambahnya.
Deg.
Setelah berhasil membuat Kilau terdiam dan cemberut atas perkataannya. Lingga kembali berjalan dan menjauh. Cowok itu berbelok ke kiri melangkah menuju lapangan. Saat Lingga melewati dirinya, hembusan angin menerpa rambutnya. Bahkan, Kilau bisa mencium aroma badan Lingga yang wangi mint itu.
"LINGGA! MUNGKIN SAAT INI LO NGGAK SUKA SAMA GUE! TAPI, BESOK-BESOK LO PASTI BAKAL SUKA SAMA GUE. BAHKAN, RASA SUKA LO MELEBIHI RASA SUKA GUE KE LO, CAMKAN ITU!"
Deg.
Lingga terhenti. Meski, badannya tidak berbalik sama sekali. Mencerna perkataan cewek itu barusan. Nampak semesta mendukung sumpah Kilau, karena setelah cewek itu berkata demikian, sebuah suara petir menyeruak ke dalam telinga membuat semua orang memekik kaget, "AKKHHHHHHHH!!!!"
Lingga tersenyum. Di tadahkannya telapak tangan ke langit. Sebuah tetesan air hujan membasahi tangannya. Seketika itu juga, turun rintik-rintik hujan. Nampaknya, semesta bersahabat dengannya. Karena, peristiwa itu mengurungkan Lingga untuk kembali melanjutkan hukumannya.
Lingga berbalik badan, niatnya ingin segera pergi dari lapangan. Namun saat berbalik, matanya menangkap sosok Kilau yang masih menatapnya dari jarak jauh. Membuat Lingga menghela napas dan akhirnya memilih untuk melewati jalur yang lain. Lingga membuang mukanya, dan melangkah ke arah lain. Berusaha untuk menghilang secepatnya darisana.
"Kilau, kenapa bisa pingsan?
Anton tiba saja menghampirinya dan kini telah berdiri di samping kiri.
"Paling cuma kecapean," jawab Kilau tanpa menoleh pada Anton. Kedua matanya masih melihat Lingga yang perlahan menjauh. Berjalan menelusuri koridor di sebrang sana.
"Mau pulang? Istirahat?" tawar Anton dengan lembut.
Kilau mendelik. "Kenapa pulang? Gue mau belajar."
"Ya udah gue anter ke kelas, ya?"
"Enggak!" sambar Kilau. Anton sudah biasa dengan penolakkan itu. "Gue bisa sendiri, Anton."
Setelah berkata demikian, Kilau pergi begitu saja meninggalkan Anton yang kecewa dan terpaku pada cewek itu dengan satu tangan yang mengepal tak sadar.
Dari jarak jauh,
Padu dan Untung yang baru saja keluar dari ruang kesenian sejatinya melihat sikap dan perlakuan Kilau terhadap Anton.
"Kayaknya si Anton suka deh sama si Kilau, Du."
"Iye. Tapi, lo tahu sendiri, kalo tuh cewek demennya ama si Lingga," jawab Padu dengan merapikan rambutnya.
"Heran gue, Du. Kenapa bisa si Anton suka sama Kilau? Cewek pecicilan begitu."
Padu menghentikan aktifitasnya, lalu menoleh ke arah Untung.
"Kilau entuh cewek unik, Tung!" timpal Padu.
Untung berjalan menyamai langkah temannya. Sampai, saat keduanya hendak berbelok ke kanan. Padu, tak sengaja menabrak orang dan membuat orang yang di tabrak terjatuh.
"ADUH!!!"
Padu dan Untung kaget, bahkan kedua cowok itu sampai terlompat ditempat sembari memegang dadanya, sangking kagetnya. Disadari mereka jika orang itu adalah Cantik Farasya.
Cantik segera merapikan buku-bukunya yang berhamburan di lantai, kemudian segera bangkit.
"HEH! KALO JALAN TUH PAKE MATA DONG!"
"YAH GOBLOK! KALO JALAN TUH YA PAKE KAKI! BUKAN PAKE MATA!" sambar Untung.
Cantik kesal dan memelototkan matanya. "DIEM LO BUNTUNG!"
"ELO JUGA JALAN NGGAK LIAT-LIAT!'" sambung Padu.
Kini, Cantik berada di tengah-tengah antara tubuh tinggi Padu dan Untung.
"MATA LO YANG NGGAK LIAT-LIAT, JELEK!"
"LO PENDEK BANGET SIH MAKANYA NGGAK KELIATAN! KATANYA ORANG KAYA, MASA BELI SUSU BONETO AJA NGGAK MAMPU!" ejek Padu dengan gaya menyilang dada.
Itu adalah sebuah bentuk penghinaan terbesar bagi Cantik. Karena, tidak mau berurusan panjang dan ia juga sedang buru-buru, Cantik pun memilih untuk segera pergi.
"GEMBEL!" kata Cantik kesal, lalu pergi begitu saja.
"CEWEK SEKARANG PADA GANAS-GANAS YA, NGGAK ADA YANG LEMAH LEMBUT KEK KLEPON!" kata Untung setelah kepergian Cantik.
Padu tertegun, saat melihat sesuatu di belakang rok, Cantik. Tanpa babibu, Padu mengejar Cantik dan membuka kancing seragamnya untuk di lepas.
Deg.
Cantik mengerem mendadak, saat Padu tiba-tiba menghalangi jalannya. Keningnya mengerut sempurna, heran. Tanpa ijin, Padu mendekatkan dirinya pada Cantik dan mengikatkan seragam sekolahnya di pinggang Cantik. Hal itu membuat Cantik tertegun dan terdiam membisu. Sedangkan, Untung melongo saja.
"Ada bendera jepang di rok lo, pendek!" kata Padu setelah berhasil mengikatkan seragamnya di pinggang Cantik.
Cantik tersentak kaget. "Ah! Yang bener lo, jelek?!" Padu mengangguk saja.
Cewek itu segera mengecek dan benar saja. Malu!
"Makasih! Karena lo udah ingetin!" kata Cantik panik bercampur malu. Karena, rasa malu itu lah membuat Cantik memutuskan untuk segera enyah dari hadapan Padu.
Padu mempersilakan cewek pendek itu lewat dan pergi begitu saja.
"AJIGILE!!!!! SERASA NONTON DRAMA KOREA GUE BARUSAN!" teriak Untung dengan mulut besarnya.
Padu diam saja. Sekarang yang tersisa hanya baju kaos oblong putih yang di kenakan Padu.
"Gue ke loker dulu, Tung!" kata Padu, tanpa mendengarkan jawaban Untung, cowok keturuan china itu segera pergi dan berlalu.
"HEH! MAU KE MANA LO JELEK?!" teriak Untung mengikuti gaya Cantik yang suka memanggil temannya dengan kata 'Jelek'.
Padu berteriak, "LOKER! AMBIL SERAGAM DULU!"
Untung merasa ditinggal dan sendirian. Cowok keturunan Arab itu memutuskan untuk segera pergi ke kelas. Untung berjalan santai menelusuri koridor, hingga sampai di persimpangan saat dirinya hendak berbelok ke kiri, tanpa di inginkan takdir membuatnya menabrak seseorang. Persis, kejadian Padu yang menabrak si Cantik tadi.
"ADOHHHHH!!!!!!!!"
Suara itu melebih lengkingan Cantik.
"ADOOH! BUKANNYA KETEMU CEWEK CANTIK! MALAH KETEMU KUNTILANAK, SIALAN!"
"KALO JALAN PAKE MATA DONG!"
"YAH TOLOL! PANTESAN SATU KOMPLOTTAN SAMA-SAMA BEGO! JALAN TUH PAKE KAKI, BUKAN PAKE MATA! LO BAYANGIN COBA KALO LO JALAN PAKE MATA! DASAR, SINTING! MIKIR SUKA NGGAK NGOTAK!"
"WAH WAH WAH, EMANG PATKAI BANGET MULUT LO YA, BUNTUNG! BERUNTUNG, GUE LAGI BURU-BURU! COBA KALO ENGGAK! UDAH GUE MAKAN LO HIDUP-HIDUP! MING TO THE GIRR!! MINGGGIRRRRRRR!!!!! teriaknya.
Untung sontak menutup kedua telinganya kuat. Cewek bernama Pop itu mendorong Untung hingga cowok itu termundur ke belakang. Beruntung, ada tembok yang menahannya agar tak jatuh.
"KUNTILANAK JELEK LO! GUE SUMPAHIN JODOH LO KAMING!"
Deg.
"Eh???" Kaming merasa ada seseorang yang menyebut namanya membawa sebuah sumpah serapah.
Dari tempat duduknya Menang memanggil Kaming yang berhenti membacakan puisinya di depan kelas. "HEH NGAPA LO BERHENTI?!" teriak Menang, suaranya menggema ke seluruh ruangan.
"TAHU NIH, DI GANTUNG-GANTUNG GITU!" sambung Banana.
"HEM! LO PEKER KITA JEMURAN YANG SEENAKNYA LO GANTUNG-GANTUNG?!" sambung Menang lagi.
"SUDAH-SUDAH!" buk Retno menengahi Menang dan Banana yang kesal atas sikap Kaming yang mendadak berhenti membacakan puisinya.
"LANJUTIN LAGI BACANYA KAMING, JANGAN SETOP!"
"IYA, BUK. SAYA CUMA NGERASA AYAN AJA TADI."
"AYAN GIMANE MAKSUD LO, MING? NGOMONG SUKA NGGAK NGOTAK DULU. HERAN GUE!" timpal Menang dari tempat duduknya.
Kaming diam saja.
"KALO LO AYAN, UDAH DARI TADI SEISI KELAS MINGGAT!" sambung Menang, mengundang gelak tawa.
"SUDAH-DIEM JANGAN RIBUT!" pekik buk Retno.
Semua diam serentak.
Kaming pun melanjutkan lagi membaca puisi.
"TAK PERNAH KAH KAU BAYANGKAN, SEPERTI APA BENTUK PELANGI TANPA WARNA.."
Menang yang saat itu duduk di sebelah Banana pun berbisik, "Gue rasa tuh puisi Kaming kayak lirik lagu cuma diganti doang kate-katenye."
"Iye. Gue juge meker begite," jawab Banana berbisik juga.
"Kenape lo ngomong pake e-e segale, pisang!"
PLAK!
Suara mistar panjang kayu di pukul ke meja oleh buk Retno. Membuat Menang pun kicep. Menutup mulutnya rapat-rapat.
"MENANG, KENAPA LAGI ITU?!"
"ADA PELANGI DI BOLA MATA IBUK!"
"AH! YANG BENER KAMU?? MASAA??"
Buk Retno segera mengeluarkan cermin dempul dari saku baju seragam mengajarnya.
🌵🌵🌵