Kilau tertegun dengan hadiah pemberian Anton. Tak habis pikir lagi dengan jalan pikirannya. Hadiah pemberian Anton bukan barang yang bisa di beli oleh kantong anak sekolahan. Bahkan, dirinya saja belum tentu bisa membeli gelang emas putih itu sendiri dengan uang tabungannya.
Apakah Anton menggunakan uang tabungannya demi membelikan hadiah ini? Sungguh, benar-benar keterlaluan.
Kilau meringis. Rasa bersalahnya muncul kembali, saat mengingat ekspresi wajah Anton, tadi. Perasaannya kini jadi serba salah. Tampaknya besok dirinya harus bilang terima kasih lagi pada cowok itu, mungkin mentraktirnya? Untuk membalas rasa bersalah.
Tiba-tiba suara pintu kamarnya terbuka.
Ceklek.
"Keluar, nyokap lo sama bokap gue balik tuh!"
Suara berat itu mengejutkan Kilau yang duduk menghadap meja belajarnya. Segera ia tutup kotak perhiasan itu dan berdiri, lalu berbalik badan. Berjalan keluar kamar, menuruti perintah saudara tirinya tadi. Entah kapan pulangnya, saudara tirinya itu. Tiba-tiba ada saja di rumah.
🌵🌵🌵
Di taman,
"Kita makan yuk," ajaknya. Saat berhasil mendapatkan gambar Bulan menggunakan kameranya. "Cantik," bisik Lingga dan hanya ia sendiri yang bisa dengar.
Rembulan menoleh. "Hah?"
Kemudian, Rembulan berjalan meninggalkan bunga yang tadi ia pegang. Datang menghampiri Lingga.
"Kita baru aja makan tadi, Ga. Masa mau makan lagi."
Bulan berdiri tepat di hadapan Lingga. Menyungakan kepalanya sedikit, karena postur tubuhnya yang lebih pendek dari Lingga.
"Apanya, Lan. Tadi itu bukan makan." Lingga memasukkan kameranya ke dalam waist bag.
"Terus apa? Ngangin?" tekan Bulan pada kata 'Ngangin'.
Lingga terkekeh. "Ngemil, Lan. Lagian, gue nggak akan kenyang kalo cuma makan telur gulung. Sekarang tuh saatnya makan nasi."
Bulan mengalah. "Ya udah, ayok cari warung makan. Tapi, gue nggak makan ya. Cuma, nemenin doang."
"Lah kok gitu? Makanlah!"
"Gue kenyang, Ga. Lagian, perut gue ini bukan perut karet kayak perut lo tuh," kata Bulan seraya menunjuk perut Lingga.
"Gimana nggak kenyang. Orang tadi lo makan telur gulung dua puluh tusuk."
Plak.
Satu pukulan ringan dilayangkan Bulan pada lengan kiri Lingga.
"Enak aja! Nggak sampai dua puluh tusuk ya?! Emang gue susana!"
Lingga terkekeh kembali. "Galak bener. Canda, Lan. Lagian, susana itu makannya sate bukan telur gulung. Tapi, nggak pa-pa deh, kalo yang ini mah susana versi telur gulung," canda Lingga.
Rembulan hanya berdesis.
"Ayok!" ajak Lingga sambil merangkul pundak Rembulan.
🌵🌵🌵
Di salah satu tempat makan, suasana sedang ramai-ramainya. Rata-rata pengunjung merupakan anak sekolah dan Mahasiswa awal bulan. Kalau, mahasiswa akhir bulan, dipastikan makan di rumah bersama indomie.
"Gimana-mana?" katanya seraya memajukan badannya sedikit.
"Jadi, Lingga itu satu kelas sama gue, Dan. Anaknya sih ya gitu," kata Banana yang barusaja menjelaskan sosok Lingga itu seperti apa jika di sekolah pada Danu, kekasihnya.
"Kira-kira lo tahu nggak apa masalah yang pernah terjadi antara Lingga dan Naga. Gue sebagai temen Naga, bener-bener penasaran dan heran, kenapa Naga sampai begitu bencinya sama Lingga," kata Danu.
Banana yang tadi sibuk memasukan barang-barang ke dalam tasnya, jadi menghentikan aktifitas karena ucapan Danu. Matanya menangkap heran sekaligus bingung. Bahkan, alis cewek itu terangkat satu ke atas.
"Kenapa kok tiba-tiba pingin tahu urusan orang, Dan? Bukan lo banget," kata Banana.
Danu tersadar atas ucapan Banana. Benar, ingin mengetahui permasalahan orang lain bukan dirinya sekali, memang. Tapi, entah kenapa ada rasa keingintahuan yang sangat besar untuk tahu soal kedua orang itu. Mungkin, karena sikap Naga yang sering kali ditunjukkan padanya tiap kali membahas soal Lingga.
"Nggak tahu juga kenapa? Gue hanya sekedar ingin tahu," jawab Danu jadi bingung sendiri.
Danu melanjutkan bicaranya, "Tapi..., gue pikir pasti ada alasan yang sangat kuat, kenapa Naga kayak gitu. Asal lo tahu Na, temen gue itu benar-benar semangat banget kalo mau tanding lawan tim basket Angkasa. Itu semua karena keinginan terbesarnya untuk ngalahin Lingga."
Banana mengingatkan Danu. "Jangan terlalu ikut campur, Dan. Urusin aja urusin sendiri sih kenapa," kata Banana. "Belajar dulu ceplok telor sana!" candanya.
Danu terkekeh. Ya, benar. Dirinya tak pandai ceplok telur. Pernah suatu waktu ia belajar masak telur sendiri. Yang ada semua telur di rumahnya habis sia-sia. Karena, berkali-kali gagal menceploknya. Siapa sangka, seorang laki-laki seperti Danu yang terlihat gagah dan mendapat gelar coolman dari penggemarnya, aslinya tak pandai dalam menceplok telur. Padahal, itu adalah hal yang sangat gampang di lakukan bagi setiap orang, kecuali bayi baru lahir.
Tiba-tiba, mata Danu menangkap kehadiran sosok yang sejak tadi dibicarakan. Banana bertanya pada Danu saat melihat ekspresi wajah kekasihnya itu yang terlihat kaget. Di ikutinya arah mata Danu memandang.
"Ada apa, Dan?"
"Panjang umur dia, Na," jawab Danu.
"Siapa?"
"Lingga sama ceweknya kali," kata Danu menunjuk ke satu arah dengan dagunya.
Banana nampak kaget di mata Danu saat berhasil menangkap kehadiran Lingga dimana berada bersama seorang cewek berbaju kuning dengan jepit matahari di rambutnya.
"Kenapa sih?"
"Baru kali ini gue liat tuh cowok deket sama cewek. Bahkan, asal lo tahu Dan, satu sekolahan itu tahu betul kalo Lingga nggak pernah punya pacar. Boro-boro, terdengar desas-desus deket atau jalan bareng cewek aja enggak. Gue yakin, kalo anak sekolah tahu, pasti besok langsung viral," ungkap Banana.
Danu mengangguk dan berohria.
"Berarti tuh cewek adalah orang pertama yang ke gep jalan sama Lingga kan?"
"Eh! Kok kita malah jadi ngurusin tuh cowok sih, Dan. Kurang kerjaan banget!" kata Banana seraya memukul tangan Danu pelan.
Danu tersadar. "Iya kan?"
"Dan, habis ini mau ke mana lagi?" tanya Banana sambil menceretkan sleting tas selempangnya.
Danu nampak menimang-nimang. Ujung-ujungnya, balik bertanya pada Banana. Salah satu penyakit Danu, ditanya malah nanya balik lagi.
"Maunya kemana?"
Banana hanya mengangkat kedua pundak ke atas, tanda tidak tahu. Dan itu juga salah satu penyakit Banana, ditanya pasti jawabnya tidak tahu.
"Nonton aja gimana, mau?" kata Danu mencoba memastikan.
"Terserah," jawab singkat Banana.
Danu menimpal, "Oke."
Sedikit informasi, Banana dan Danu merupakan sepasang kekasih yang telah menjalin hubungan selama satu tahun. Lumayan lama. Keduanya, saling kenal melalui kelas karate yang sama.
🌵🌵🌵
Tak disangkanya, jika Bunda pulang dan memberikan hadiah ulang tahun dan buket bunga. Ayah Roger juga memberikannya hadiah dan buket bunga. Kilau senang meski tak ada kue ulang tahun. Kehadiran Bunda secara tiba-tiba itu cukup mengurangi rasa sedihnya.
"Selamat ulang tahun ya, sayang."
"Makasih, bun."
Seulas senyum ditunjukkan kepada Bunda dan juga Ayah tirinya.
"Ayah Roger juga, makasih banyak."
"Sama-sama, doa yang terbaik buat kamu. Semoga apa yang kamu inginkan bisa terwujud ya, nak."
Deg.
Kilau mengangguk senyum. Perlahan ia mulai nyaman. Dipeluknya kedua orangtua itu. Bunda dan Ayah tirinya. Mereka bertiga pun kini saling berpelukan, mentransferkan sedikit ketenangan, kesan nyaman, dan kehangatan dalam diri Kilau yang sejak kemarin diselimuti sepi.
Di sisi lain, di balik pintu kamarnya, laki-laki dengan sorotan mata yang penuh kebencian tengah menguping pembicaraan Ayahnya, ibu tiri, dan saudara tirinya. Tangannya mengepal. Hatinya seakan memberontak, dan mulutnya ingin sekali berteriak "Muak" dengan semuanya.
Kematian sang ibu sudah cukup membuat hidupnya menderita. Karena, setelah ibunya tiada, ia sama sekali tidak mendapatkan perhatian. Ayahnya sibuk dengan istri baru dan anak barunya. Ia merasa semua telah di renggut paksa. Ingin rasanya keluar dari rumah, tapi selalu saja terbesit untuk tetap tinggal. Ia pikir, jika dirinya keluar itu sama saja mendeklarasikan jika dirinya kalah. Maka dari itu, dirinya berpikir harus tetap bertahan dan menyusun rencana agar bisa mengalahkan semuanya. Ia tidak mau berada dalam kekalahan untuk kesekian kalinya. Selama ini dirinya sudah cukup untuk selalu saja mengalah. Kali ini tidak akan!
"Liat aja nanti!"
🌵🌵🌵
"Maaf, Lan."
Rembulan langsung menatap wajah yang duduk di sebrangnya. Dengan raut wajah penuh tanda tanya.
"Maaf untuk?"
Lingga meneguk air minumnya sampai habis, tak tersisa. Lalu, menaruh gelas sedikit kasar di atas meja, sehingga menghasilkan bunyi Tak!
"Untuk ke sekian kalinya gue bilang, kalo gue nggak suka kalo lo dekat sama Naga, apalagi cerita soal tuh cowok depan gue. Perlu gue ingetin lagi sama lo, kalo gue nggak suka sama dia," kata Lingga penuh penekan di akhir kalimat.
Terdengar sangat penuh dengan penekanan dan ketegasan di telinga Bulan.
"Wajar lah dia cowok dan lo juga cowok. Enggak mungkin, suka sama dia," jawab Bulan untuk mencairkan suasana. Karena, terlihat jelas ekspresi Lingga yang kini tidak bersahabat. Namun, siapa sangka jika perkataan itu makin membuat sahabatnya menunjukkan ekspresi yang semakin tak bersahabat.
"Gue serius, Lan!" Sorotan mata Lingga menjawab semua.
Bulan menarik napas dan menghembuskannya pelan.
"Kenapa? Lo ada masalah sama dia? Tanpa gue tahu? Iya??"
Lingga sempat terdiam sesaat. Begitu juga Bulan, cewek berkucir kepang itu menunggu Lingga untuk membuka suara.
"Urusan cowok. Lo nggak perlu tahu," jawab Lingga acuh tak acuh.
Lingga di hadapannya kini berubah menjadi orang yang dingin. Tidak semanis tadi. Rembulan menyenderkan punggung badannya ke badan kursi.
"Gue nggak tahu apa masalah lo sama Naga. Tapi...,"
Lingga menunggu ucapan Bulan.
"Tapi.., jangan pernah larang gue untuk berhubungan dengan Naga."
Lingga tersentak dengan ucapan itu. Apa maksudnya? Lingga otomatis menegapkan punggung badannya yang tadi bersandar di badan kursi.
"Karena, yang punya persoalan itu lo dan dia. Bukan, gue. Jadi, lo nggak berhak untuk melarang gue temenan sama Naga, Ga."
Lingga ingin membuka suara, namun Bulan lebih cepat darinya. Cewek itu berkata kembali dengan bilang, "Gue tahu lo itu sahabat gue. Tapi, bukan berarti gue harus ikut-ikutan nggak suka sama orang, mentang-mentang sahabat gue nggak suka sama dia. Enggak bisa gituh!"
Lingga terdiam.
"Elo nggak suka sama Naga, mungkin benci? Dan lo nggak bisa ngehasut gue untuk ikutan-ikutan nggak suka, bahkan benci sama dia, Ga!"
"Gue nggak ngehasut lo untuk ikutan benci sama dia, Lan!" timpal Lingga.
Ada raut kesal tercetak di wajah Lingga. Bahkan, rahang cowok itu menegas dan urat-urat di sekitar pelipisnya tercetak.
"Cuma, ngingetin aja!" sambung Lingga.
"Ngingetin kalo lo nggak suka gue deket sama Naga. Tujuannya buat apa?" tanya Bulan. Kini, Bulan memajukan badannya sedikit.
Dari tempat duduk yang lain, masih ada Danu dan Banana yang tak sengaja mendengar obrolan itu. Kedua sepasang kekasih yang baru saja membayar pesanan. Lebih tepatnya, Danu yang bayar. Niatnya tadi ingin langsung pergi, namun terurungkan. Karena, mendengar obrolan itu. Danu menahan Banana untuk bangkit dari duduknya. Cowok itu penasaran, karena nama temannya dibawa-bawa.
Lingga nampak menimang-nimang. Apakah ia harus mengatakan pada sahabatnya itu jika ia cemburu? Tapi, bagaimana nanti reaksinya? Lagian, buat apa juga ia bilang begitu? Nggak ada hak, pikirnya.
"Kok, diem?" tanya Bulan.
Tanpa berniat untuk menjawab. Lingga mengalihkan pembicaraan. Cowok itu langsung berdiri. Suara gesekkan kursi terdengar.
Lingga berkata, "Kita pulang."
Bulan sedikit kaget atas sikap Lingga. Setelah bicara demikian, Lingga pergi meninggalkannya. Terpaksa ia segera bangkit dan berlari menyusul cowok itu.
"Udah ya, Dan. Stop untuk jadi lambeturah!" sindir Banana.
Danu menghela napas kecewa. "Gue pikir, gue bakal tahu jawabannya, Na. Apa masalah antara Lingga sama Naga."
Banana, lama-lama di bikin pening dengan perubahan Danu yang sangat ingin tahu masalah orang.
"Udah ah! Ayok, cabut!" ajaknya.
Danu masih setia duduk sambil memikirkan sesuatu.
"Oh yaudah! Nggak jadi nonton bioskopnya. Langsung pulang aja, kalo gituh!"
Danu kaget, otomatis tangannya bergerak menarik pergelangan tangan Banana. Cewek itu hendak kabur.
"Eh, iya-iya!"
Danu pun bangkit dan segera merangkul pundak Banana dan membawanya pergi dari sana.
Lingga sudah duduk di atas sepeda motornya lengkap dengan pelindung kepala. Niatnya, masih ada beberapa tempat yang ingin ia kunjungi bersama Bulan. Tapi, mood-nya sudah berubah buruk. Tidak sebaik sebelumnya.
Saat Bulan sudah naik ke atas motornya. Tanpa sepatah dua kata, Lingga langsung menancapkan gas motornya.
Sepanjang perjalanan tidak ada yang bersuara dan membuka mulut sama sekali. Hanya suara deru angin, suara-suara yang berasal dari mesin dan klaksonan dari kendaraan lain yang mewarnai keadaan dan situasi sekarang.
Bulan melirik wajah Lingga dari kaca spion. Di matanya kini, ada sorot amarah dari sorot mata Lingga. Sungguh, niatnya pergi jalan untuk bersenang-senang dan memecahkan kebosanan di rumah. Bukan, membuat masalah dan berakhir ribut dengan sahabatnya itu.
"Ga.." panggil Bulan saat sudah turun dari motor.
Lingga mengabaikan.
Tanpa melirik, Lingga berkata, "Gue langsung pulang."
"Ga?!"
Lingga hanya melirik saja sebentar, lalu menancapkan gas dan akhirnya melesat pergi. Dirinya tidak mau bicara dulu. Perasaannya sedang tidak bagus.
"Maafin gue, Lan.." gumamnya saat sudah pergi meninggalkan Bulan yang masih setia berdiri di depan pagar rumahnya. Lingga melirik sebentar dari kaca spion. Sungguh bukan ini yang dia mau.
"Sial!"
Lingga menambah kecepatan laju motornya. Emosi yang menyelimuti dirinya kini yang membuat kecepatan laju kendaraan semakin bertambah. Tidak peduli dengan keselamatan nyawa sendiri, begitulah.
"Naga itu baik, Ga. Terlebih, kita sekarang satu kelas. Karena, kemarin ada perombakan kelas. Gue cukup senang bisa satu kelas sama orang yang gue tahu itu Naga."
Kira-kira sudah sejauh mana hubungan Naga dan Rembulan???
Saat di pertengahan jalan yang sepi, Lingga menangkap sosok yang ia kenal sedang berjalan seorang diri di atas trotoar sambil menangis sesegukan.
Lingga masih berkeprihatian! Maka dari itu, ia menghampiri gadis bernama Cantik Farasya, yang ia tahu komplotan si Kilau.
"Lingga?"
"Kenapa lo?" kata Lingga tanpa basa-basi. Masih setia dengan pelindung kepala dan suara mesin motor yang masih menyala.
Cantik segera menghapus airmatanya dengan kasar.
"Ayo naik, gue anter pulang."
Deg.
"Sebuah keajaiban dunia lo peduli sama cewek, Ga."
"Gue orang yang ber-kep-pri-hatian!" jawab Lingga.
Cantik sempat berpikir, setelah berhasil menimang-nimang. Akhirnya, cewek itu mau.
"Thanks!"
"Bisa naik nggak? Kata temen gue si Padu elo tuh pendek."
"Sama aja ya lo!" kata Cantik sambil bersikeras naik ke atas motor dan berhasil.
"Sama kayak siapa?"
"Padu!"
"Oh!"
"Udahlah, ayo jalan!" suruh Cantik sambil mendorong-dorong punggung Lingga.
"Yee... udah nebeng malah maen suruh-suruh lo!" timpal Lingga sedikit sebal.
"Lo yang ngasih tumpangan! Gue nggak ngemis buat minta tebengan! Kalo aja jalanan nggak sepi kek kuburan, gue sih mending naik ojol!"
"Dasar cewek!" umpat Lingga, tapi bisa di dengar Cantik.
Lingga pun segera menancapkan kembali laju motornya. Mengantar Cantik pulang ke rumahnya.
"Rumah lo di mana??" teriak Lingga sambil melirik kaca spion.
"Ke rumah Kilau aja," jawab Cantik.
"APA?!!!!!!!" Lingga teriak sangat amat kuat. Cowok itu kaget.
Cantik otomatis menutup kedua telinganya.
"IH APAAN SIH LO, GA??!"
"GUE UDAH BAIK MAU ANTERIN LO PULANG KE RUMAH YA?! KENAPA MALAH JADI KE RUMAH KILAU!"
Lingga kesal. Jelas, dirinya tak mau ke rumah cewek itu. Nanti, kalau ketemu gimana??? Itu sama saja ia menyerahkan diri ke kandang ayam.
"Udah deh, nurut aja kenapa sih!"
"Ck! Resek lo!" kesal Lingga. Mau tak mau ia menurut. "BURUAN KASIH TAHU DI MANA ALAMATNYA!"
Cantik pun memberitahu alamat lengkap rumah Kilau. Lingga mengerti ke mana harus ia menjalankan kendaraannya.
"Btw.., lo kenapa tadi nih nangis-nangis kek orang habis di putusin tengah jalan," kata Lingga.
Siapa sangka jika perkataan Lingga itu benar. Tapi, Cantik memilih untuk tetap diam.
Lingga menyadari jika Cantik tak kunjung ingin menjawab.
"Kalo cewek di tanya terus diam aja, berarti bener."
Cantik sedikit terkejut. Lingga memang sialan! Pikirnya.
Lingga geleng-geleng kepala saja dan bilang, "Kalo ada cowok yang mutusin cewek tengah jalan, terus ninggalin gitu aja ceweknya.., Eh! Mantan ceweknya. Udahlah! Nggak usah lagi di harapkan!"
"Siapa juga yang masih mengharapkan!" sambar Cantik.
"BAGUS!"
Cantik diam kembali.
"Nggak usah lagi ditangisin. Itu cowok nggak tanggung jawab namanya! Banci!"
Deg.
Deg.
Deg.
"Masa ninggalin cewek tengah jalan kayak gitu! Entar, kalo kenapa-kenapa gimana? Lo pasti keluar sama tuh cowok ijin dulu kan sama nyokap bokap lo??" tanya Lingga sambil melirik kaca spion.
Cantik hanya mengangguk, tanda iya. Lingga tahu dan melihatnya.
"Tuh kan! Nggak ada tanggung jawabnya. Jemput lo dia ijin. Pulang?? Nggak ada kabar! Apa kata orangtua lo kalo tahu lo diperlakukan kayak gitu sama tuh cowok. Alamat gue yakin, lo nggak bakal di bolehin lagi berhubungan sama tuh cowok. Banci sih!"
Nampaknya, perkataan Lingga memang benar. Setelah itu, tak ada lagi perkataan yang keluar dari mulut Lingga.
Namun, tak lama kemudian cowok itu kembali berkata, memecahkan keheningan.
"Kenapa lo nggak mau sama temen gue, Padu?" kata Lingga tanpa melirik kaca spion.
"Hah????"
Cantik berdehah sekepanjangan. Membuat Lingga jadi malas meladeninya.
🌵🌵🌵