Chapter 21 - 21

Wajah orangtua itu benar-benar terlihat merah padam. Memandangi satu muridnya yang menundukkan kepala sejak diajak bicara. Waktu yang diberikan selama satu jam setengah di luar kelas, tak digunakan dengan baik.

"BERDIRI DI LAPANGAN BENDERA SEKARANG!"

"Baik, pak."

Langkahnya lesu keluar dari dalam kelas. Berbagai macam kata yang terlontarkan dari mulut teman-temannya terdengar oleh Kilau, mereka mengatakan kasihan dan maaf tak bisa menemaninya.

Kilau harus mematuhi perintah pak Wal atas kekesalan orangtua itu padanya. Ya, wajar saja pak Wal marah, saat memeriksa buku catatan Kilau hanya ada lima nama tanaman beserta latinnya. Seakan tak niat mengerjakan tugas yang di berikan.

Sejatinya, saat pak Wal berteriak memanggil-manggil murid-muridnya untuk masuk kembali ke dalam kelas dan mengumpulkan tugas, saat itu Kilau tengah menyalin buku catatan Rintintin namun tak terkejar. Mau tak mau mereka segera berlarian masuk ke dalam kelas. Mungkin nasib sial tertuju padanya. Saat semua sudah duduk rapi, pak Wal berjalan menghampiri Kilau yang duduk paling depan menghadap lurus papan tulis dan menanyakan tugasnya. Setelah di cek, terjadilah pengusiran seperti tadi.

Entah kenapa akhir-akhir ini dirinya terkena hukuman terus. Kilau menghela napas pasrah. Langkahnya kini membawa dirinya menuju lapangan bendera. Lagi-lagi lapangan!

Tak ada orang di sana satu pun. Kilau kembali lagi di hadapkan dengan terik matahari yang menusuk-nusuk kulit saat sudah sampai di tengah lapangan, bahkan sebelum berada di tengah, aura panas sudah bisa ia rasakan. Sial, ia tidak membawa topi.

Kilau mendongakkan kepalanya ke atas langit, sinar matahari benar-benar menyilaukan, membuat Kilau tidak berani menatap langit lama-lama. Segera ia menundukkan kepalanya kembali. Kini, pandangannya lurus menghadap tiang bendera. Seketika, kejadian terkena hukuman bersama Lingga teringat di kepalanya. Seulas senyum langsung tercetak indah di kedua sudut bibirnya, membayangkan waktu yang telah lewat kemarin.

Meski cowok itu dingin dan cuek padanya. Bahkan, agak kasar. Hatinya tetap menganggumi Lingga.

Cowok yang pertama kali memperlakukan dirinya manis, meski sudah lama. Sebelumnya, tidak ada yang memperlakukannya seperti itu. Mau bagaimanapun sikap cowok itu padanya, Kilau akan tetap suka.

Rasa sukanya itu terang-terangan baru berani ia tunjukkan di kelas dua begini. Kenapa? Karena, Kilau rasa tak baik jika terus menerus memendam perasaan. Terlebih, setelah dirinya tidak sengaja membaca majalah berisi artikel yang judulnya 'Katakan Sebelum Terlambat'. Hal itu merupakan salah satu motivasinya juga.

Dirinya selalu saja bermimpi untuk bisa dekat dengan cowok itu dan menjadi bagian terpenting dalam hidupnya, mungkin? Tapi, jika ia terus saja diam di tempat tanpa pergerakkan sama sekali. Bagaimana bisa salah satu mimpinya itu terwujud?? Makanya, sekarang Kilau mulai berani menunjukkan rasa sukanya. Sebelum semua terlambat dan kata menyesal itu ada. Kilau tahu jika hidup tak selamanya. Bisa saja mati hari ini, atau besok.

Dari lantai dua, teman-teman Kilau memperhatikan Kilau yang berdiri sendirian di tengah lapangan saat pak Wal ijin ke kantor sebentar, katanya.

"Kasihan gue lama-lama sama tuh anak," kata Cantik melihat ke bawah.

"Semenjak demen ama si Lingga jadi begituh dia!" sambung Pop.

"Udah! Jangan salahin Lingga. Toh, emang salahnya temen kita yang nggak niat buat tugas dari pak Wal, " timpal Rintintin. Rintintin tahu dari A-Z, bahkan ia adalah saksi bagaimana kerja Kilau saat mengerjakan tugas pak Wal.

Sedangkan, Anton yang barusaja mengantarkan beberapa lembar kertas ulangan kepada buk Dori di kantor, kaget. Ketika, melihat Kilau berdiri sendirian di lapangan dengan panasnya cuaca yang membuat gerah.

"Kilau ngapain?" kata Anton yang langsung menghampiri Kilau.

Kilau menoleh dan kaget melihat Anton kini sudah berdiri di sebelah sisi kirinya.

"Di hukum sama pak Wal."

Anton kaget dan kembali bertanya, "Kok bisa?"

"Kalo di hukum, pasti karena ngelanggar aturan kan?" jawab Kilau sekali melirik Anton sebentar.

Perkataan itu membuat Anton sedikit tidak suka.

"Emangnya ngelakuin kesalahan apa? Nggak biasanya, lo kayak gini, Kil. Kenapa jadi sering di hukum kayak gini?"

"Bukan urusan lo, Anton."

Deg.

Anton jadi terdiam sejenak. Untuk kesekian kalinya, Kilau mungkin sedikit menyakiti hatinya dengan ucapan, bahkan sikap yang sering kali di layangkan padanya. Apa dirinya salah, jika pernah bilang kalau ia suka dan bahkan cinta pada cewek itu??

"Kenapa lo selalu bersikap kayak gini sama gue, Kil?" ucap Anton dengan nada suara rendah memperhatikan setiap inci wajah cewek cantik di pandangan matanya kini.

Kilau sedikit kaget dan akhirnya menoleh dengan badan yang masih tegap dan lurus ke depan.

Ada sedikit perasaan kasihan dan tidak enak pada hatinya saat melihat ekspresi Anton. Tapi, entahlah Kilau memang tidak suka tiap kali melihat Anton. Apalagi yang berhubungan dengan cowok itu. Ia tak suka. Mungkin, itu semua akibat perjodohan paksa tahun lalu yang terikat di antara keduanya saat Ayahnya masih ada. Waktu itu, Kilau bersihkeras untuk menolak, namun Anton dengan senang hati menerima. Beruntung, perjodohan itu batal.

"Maksud lo apa, Anton? Emang selama ini gue gimana sama lo? Gue ya gini-gini aja, kok," jawab Kilau. Setelah bilang begitu, Kilau membuang muka.

Anton berusaha tak marah. Ia mencoba menenangkan hatinya. Memang susah ya, menahan amarah terhadap orang yang kita sayang? Mengapa terkadang, menjadi pihak yang mencinta beresiko sakit hati? Begitulah, pikir Anton.

"Lo nggak suka ya sama gue?"

"Gue sukanya sama Lingga."

Jawaban telak. Mendengar jawaban itu membuat Anton memutuskan untuk pergi begitu saja.

Deg.

Kilau tahu, perkataan barusan mungkin sudah menyakiti hati Anton. Tapi, dengan cara itu dan dengan segala sikapnya pada Anton, berharap cowok itu membencinya dan membuang rasa suka itu jauh-jauh.

Kilau menatap kepergian Anton, hingga cowok itu menaiki anak tangga menuju lantai dua. Kelas Anton berada di sebelah kelasnya, cowok itu murid kelas 11 IPA 2. Setelah cowok itu menghilang di pandangannya, Kilau kembali berbalik badan. Membuang pikiran dan isi kepalanya tentang percakapannya dengan Anton.

"Maafin gue, Anton."

Tanpa di sadari, Lingga memperhatikan Kilau dan Anton yang bercakap-cakap tadi dari jarak jauh. Kebetulan cowok itu hendak pergi ke kantin bersama dua komplotannya. Entah apa yang di bicarakan oleh dua manusia itu, Lingga tidak tahu. Yang jelas ada raut marah yang di tahan Anton saat Kilau usai bicara, bahkan Lingga melihat kedua tangan Anton mengepal. Setelah itu, Anton pergi begitu saja. Kilau hanya menatap kepergian Anton saja, dilihatnya.

"LIATIN APAAN LO, GA!" pergok Padu. Kepala cowok itu menghalangi pemandangan yang tadi dilihat Lingga.

Lingga berdesis. Selalu saja si Padu! Pikirnya. Lingga pun mempercepat langkahnya, membuat dua komplotannya kaget atas sikapnya yang mendadak berjalan cepat.

"WOY GA! KENAPA LO!" teriak Padu.

"GA, SABAR GA! TENANG, MAMANG SIWON NGGAK AKAN KABUR! ES TELLERNYA NGGAK AKAN HABIS!" teriak Untung. Suaranya menggema di koridor. Menganggu orang yang berada di dalam kelas.

"SIAPA ITU YANG TERIAK-TERIAK! NGGAK TAHU ORANG LAGI BELAJAR MENGAJAR?!"

Untung dan Padu kaget mendengar suara buk Retno yang berteriak dari dalam kelas. Tanpa babibu, segera mereka kabur dan berlari menyusul Lingga.

"GA TUNGGUIN!!!!!"

"SIAPA SIH?!"

PLAK!

Anggap saja itu suara mistar yang di pukul ke meja. Membuat para murid yang anteng ayem menulis jadi kaget. Bahkan, sampai ada yang lattah.

"JING! JING! JING!"

Buk Retno celingak-celinguk melihat keadaan di luar kelas. Namun, tidak mendapatkan siapa-siapa di sana.

"AWAS AJA! SAYA CEK CCTV!" ujar orangtua itu.

🌵🌵🌵

Kilau mulai lelah. Keringatnya semakin banyak. Disentuhnya atas kepala yang rasanya sudah sangat panas. Kapan hukumannya ini berakhir? Pikirnya, sejak tadi.

Pak Wal benar-benar tega! Matahari kian naik, perkiraan Kilau mungkin sudah hampir setengah jam ia berdiri. Penyiksaan ini namanya!

Kilau mencoba untuk menyembunyikan wajahnya agar tidak terkena sengatan matahari dengan menundukkan diri sedalam-dalamnya. Meski, sudah melakukan hal itu, masih saja sinar matahari menerpa sebagian jidat dan separuh wajahnya dari samping.

Kilau memperhatikan ujung sepatu putihnya saja. Sepatu pembelian Bundanya kemarin. Sepatu baru. Ada kesan hangat mengingat Bunda memberikanya kemarin. Membuat senyum tercetak tipis. Tiba saja mulut Kilau menganga dan matanya melotot kaget saat melihat sebuah bayangan seseorang di ubin lapangan tepat berada di depannya. Kesan teduh ia dapatkan saat bayangan seseorang itu ada.

Kilau berdecak kesal, apa yang di mau oleh Anton?!

Segera ia menyungakkan kepalanya. Melihat sang empu pemilik bayangan itu.

Secercah kebahagiaan ia dapat saat menyadari jika cowok itu bukanlah Anton. Senyum tulus terlukis indah di kedua sudut bibirnya. Matanya berbinar-binar, sangking senangnya. Mengetahui, jika bayangan itu adalah milik Lingga Sambara yang kini berdiri tegap di hadapannya dan menghalangi sinar matahari yang sejak tadi menampar wajah dengan punggung cowok itu.

"Linggaaaa?????"

Lingga memutar bola matanya malas. Melihat sikap cewek di hadapannya itu. Di keluarkannya kedua tangan yang sejak tadi bertengger di dalam saku celana. Menjadi bersilang dada.

"Ngapain di sini? Ah! Pasti, Lingga mau nemuin gue ya?"

"Kalo enggak nemuin lo, ya ngapain gue ke sini!" kata Lingga sedikit menunduk melihat wajah Kilau. Sebab, postur tubuh cewek itu jauh lebih pendek darinya, hanya sebatas dadanya saja.

Kalimat barusan cukup membuat Kilau jingkrak-jingkrak. Kebiasaan gila, emang susah di berhentiin!

"Kenapa? Eh, tapi.. Lingga kesini bawa minum nggak? Gue haus banget nih, pasti bawa kan?! Kayak cowok-cowok romantis gituh, ngasih pacarnya botol minum kalau tahu pacarnya haus, ya kan? Mana Lingga minumnya?" kata Kilau PD.

Lingga jadi malas. Entah kenapa?! Kilau benar-benar gila. Cewek terpede sedunia! Dan sesuatu hal yang sangat mustahil dilakukan Lingga membawakan cewek itu minum.

"Kok diem aja sih, Lingga?" Nampak ekspresi cemberut di tunjukkan cewek itu. Lingga tahu.

"Nggak ada minum buat lo! Kalo mau, beli aja sendiri," jawab Lingga datar.

"Ih kok gituh?! Mana bisa gue beli sendiri! Kan, lagi di hukum. Harusnya lo dong Lingga, yang beliin. Gimana sih!"

"Emang gue siapa elo?!"

"Calon pacar!" jawab Kilau dengan cengegesan.

Lingga berdecih, lalu menurunkan kedua tangannya.

"Gue kesini mau ngomong sama lo."

Entah kenapa suara itu terdengar amat sangat serius di telinga Kilau. Tak pernah ia mendengar Lingga bicara seserius itu. Ada apa ya??

Lingga kembali memasukkan kedua tangannya di saku celana dan menatap datar Kilau.

Kilau mengangguk, tanda membolehkan cowok itu melanjutkan kata-katanya.

"Kenapa-lo-suka-sama-gue?" titah Lingga di setiap kata.

Deg.

Kilau menatap wajah itu lekat-lekat. Menyungakkan sedikit kepalanya. Karena, postur tubuh cowok itu yang jauh lebih tinggi darinya.

"Kok tumben, nanya gitu?"

"Tinggal jawab!" sambar Lingga.

Kilau berpikir sejenak. Kata-kata apa yang pas dan cocok untuk di jadikan sebagai jawabannya.

"Yang jujur," tambah Lingga.

"Karena..."

Lingga menatap wajah itu lekat-lekat pula. Menunggu jawabannya.

Kilau tersenyum lebar. "KARENA LINGGA ITU COWOK YANG KEREN, GANTENG, BAIK HATI, TIDAK SOMBONG, SUKA MENOLONG , PERHATIAN JUGA, PEDULI SESAMA, NGGAK CUMA ITU! BAGI GUE, LINGGA TUH TIPE IDEAL BANGET DEH POKOKNYA!"

KRIK..

KRIK..

KRIK..

Lingga tidak bereaksi apa-apa. Membuat Kilau kebingungan atas sikapnya, hanya tatapan datar yang di tunjukkan cowok itu.

"Ternyata lo sama aja kayak cewek-cewek yang lain!"

"Kok gituh?!"

"Sama-sama, carmuk!" jawab Lingga agak sarkas.

"ENAK AJA! ENGGAK YA!" Kilau jelas kesal. "JANGAN SAMA-SAMAIN GUE SAMA CEWEK-CEWEK YANG LAEN DONG! GUE YA GUE, LINGGA! BEDA!"

"Nggak ada alasan yang lebih spesifik apa? Selain alasan klise kayak gitu? Hum..??"

Kilau menatap lekat kedua bola mata yang hitam itu. Setelah berpikir sebentar, akhirnya cewek itu berkata, "Gue suka sama lo, karena Lingga itu cowok yang pertama kali bersikap peduli sama Kilau. Selain, Ayah. Itu aja!"

Deg.

"Kapan gue peduli sama lo?" bingung Lingga. Seketika, bayangan akan dirinya yang menggendong cewek itu ke UKS kemarin terlintas di otaknya.

"Oh! Jadi, kemarin itu lo pura-pura pingsan?!"

Ada sorot tajam di mata cowok itu, Kilau kaget.

"ENGGAK!" Kilau menimpal cepat. "KEMARIN GUE BENERAN PINGSAN, KOK! NGGAK PURA-PURA!"

"Terus, bentuk kepedulian yang mana? Yang pernah gue lakuin sama lo, Kilau?"

Kilau mendenguskan napas. "Udah lama, Lingga. Kejadian waktu mos. Lingga masih inget??"

Deg.

Lingga mengerutkan keningnya. Mencoba mengingat. "Kejadian yang mana??"

Kilau makin sebal. Cowok itu lupa?? Atau pura-pura lupa?? Ih! Cakep-cakep pikun! Kesal Kilau dalam pikirannya.

Sejatinya, Lingga ingat. Hanya saja cowok itu pura-pura lupa. Ya, Lingga tahu kejadian saat dirinya membawa Kilau keluar dari lapangan dan pergi ke UKS. Padahal, mereka sedang di hukum oleh senior. Masih ingat. Cuma, pura-pura lupa! Sengaja, karena ia tidak mau makin membuat cewek itu kegirangan entar!

"Lingga tuh ternyata cakep-cakep pelupa ya? Aduh, kasihan banget entar yang jadi pacarnya, pasti sering di lupain!" kesal Kilau sekali menghentakkan kakinya.

Lingga mengabaikan ucapan itu.

"Kil," panggilnya.

Kilau mendongakkan kembali wajahnya yang masih tercetak ekspresi cemberut.

"Apa?"

Kilau sangat benci perkataan selanjutnya.

"Bisa berhenti untuk suka sama gue?"

Deg.

Kilau memandang Lingga dengan ekspresi yang sulit di artikan. Mana boleh begitu?! Iya kan!

"Kenapa?"

"Kalo gue bilang, gue nggak suka sama lo. Lo pasti makin gencar buat ngejar gue kan?" Kilau mengangguk dengan mantap.

"Tapi, kalo gue bilang gue udah punya pacar. Lo bakal berhenti suka kan sama gue?"

Perkataan itu membuat tanda tanya besar. Kilau menahan air matanya. Lingga memperhatikan komuk cewek itu seolah menahan sesuatu.

"Maksud Lingga ngomong kayak gini tuh apa?"

Lingga menghela napas. Entah kenapa kepalanya mendadak migran.

"Intinya, gue nggak suka kalo lo suka sama gue!"

"KENAPA?" Nada suara Kilau meninggi. Lingga terdiam.

"Bukannya setiap orang berhak suka atau enggak suka sama kita?! Dan, kita nggak ada hak untuk ngelarang-ngelarang. Kenapa Lingga bisa-bisanya ngomong kayak gituh? Nggak berkepri-HATI-an banget!" sambung Kilau.

"Terserah elo deh, gue cuma mau ngingetin aja. Mending lo suka ke yang lain. Daripada, lo sia-sia suka sama gue. Karena, pada kenyataannya...., gue nggak akan suka sama lo sampai kapanpun!" tegas Lingga pada kata terakhir.

Kilau menahan tangan Lingga yang handak pergi melewati dirinya. Membuat Lingga berhenti berjalan dan menoleh. Cowok itu tak bergeming.

"Lingga kok jahat banget sih ngomong kayak gituh? Kilau kan cuma nunjukkin kalau emang suka."

"Bohong!" sambar Lingga.

Seketika kejadian waktu mos terlintas di kepalanya. Setelah, Lingga berkata demikian.

"Bohong kalo lo hanya sekedar suka, pasti pernah terbesit di otak lo untuk menjadi bagian terpenting dalam hidup gue kan?"

Iya, benar. Lingga tahu! Karena, dia juga merasakannya. Suka, sayang, dan cinta dengan Rembulan dan menginginkan dirinya menjadi bagian terpenting dalam hidup perempuan itu. Jadi, cowok itu tahu. Apa yang di rasakan Kilau.

Deg.

Yang benar saja. Lingga kok bisa tahu? Apa cowok itu cenayang, pikir Kilau.

"Iya kan?" tambahnya. Kilau hanya diam.

"Sayangnya, gue nggak akan pernah menjadikan lo sebagai bagian terpenting dalam hidup gue," kata Lingga dingin dan tatapan mata yang tajam. Membuat Kilau enggan-engganan melihat wajahnya. Ada sesuatu menekan dada Kilau saat Lingga bicara demikian.

"Karena, udah ada cewek lain yang ngisi posisi itu dan nggak akan mungkin lo bisa nyingkirin dia!"

Deg.

Deg.

Deg.

Kilau benar-benar sakit hati. Namun, ia tidak bisa menepiskan betapa suka dan cintanya pada cowok itu. Perasaan suka itu sudah tumbuh sejak lama. Bahkan, mungkin rasa sukanya berubah cinta. Ada sesuatu yang menyekik tenggorokkannya untuk bicara. Kilau tak tahu, dadanya seakan tertekan kuat hingga seperti menimbulkan sesak.

"Gue udah ngingetin ke lo. Jadi, gue serahin semua ke lo untuk mikir. Toh, masih banyak cowok yang bisa lo dapetin. Bukan gue. Sesuai sama apa yang di bilang sama temen lo si Rintintin. Mungkin, yang mau sama lo banyak, bahkan lo bisa dapetin cowok sekelas Anton."

Deg.

Kilau meneguk ludahnya tanpa di minta. Lalu, menatap wajah Lingga, namun cowok itu langsung membuang muka.

"Lepas, biarin gue pergi."

Kilau mau tak mau menurut. Saat cowok itu bilang demikian. Genggaman tangannya yang memegang pergelangan tangan cowok itu pun terlepas. Membiarkan langkah kaki Lingga membawa cowok itu pergi menjauh. Lagi-lagi dirinya ditinggalkan. Kilau kembali menatap punggung seseorang. Membiarkannya menghilang di pandangan mata.

Kilau bukanlah Kilau yang terlihat lemah seperti daya tahan tubuhnya. Beda dengan hati dan perasaannya. Meski, Lingga sudah memperingatkannya seperti tadi, Kilau akan terus berusaha dan tak menyerah begitu saja. Kilau yakin, setiap perasaan itu gampang berbolak-balik, mungkin saat ini cowok itu benar-benar tidak meyukainya, tapi suatu saat bisa jadi kebalikannya dan Kilau juga yakin, jika ucapan barusan adalah sebuah bentuk kebohongan.

"Lingga mana ada pacar. Kalo pun dia suka sama cewek lain...., Nggak masalah! Siapa tahu nanti, Lingga nggak lagi suka sama tuh cewek, dan malah milih gue. Bisa aja kan??"

"BISSAAAAAAAAAAAAA!!!!!"

Suara itu mengejutkan Kilau. Cewek itu segera berbalik badan ternyata, ada Untung dan Padu.

"Kalian??"

"HAI, CANTIK. LO LAGI MIKIRIN AA LINGGA YA?" kata Untung dengan kedua tangan berkacak pinggang dan wajah yang sedikit di cungakkan seraya menaik-turunkan alis kanannya.

Padu Menimpal, cowok itu berjalan mendekat dan berdiri di sebelah kirinya. "Jangan di ambil hati apapun yang keluar dari mulut Lingga, Kil. Tuh cowok gengsi aja, sebenarnya dia tuh suka lo kejar-kejar. Ya enggak, Tung!"

"BENER BANGET! JADI, JANGAN PERNAH NYERAH. KITA BERDUA DUKUNG LO KOK!"

Entah ada angin apa, kedua komplotan Lingga seakan berada di pihaknya. Kilau heran dan bingung.

"UDAHLAH KIL! JANGAN TERLALU DI PIKIRIN. USAHA TERUS PANTANG MUNDUR!"

"Bener tuh, Kil," sambung Padu dengan senyum manis. Kilau pun turut tersenyum.

"LO MAU NGGAK NOMER HAPE NYA LINGGA?" tawar Padu dengan alis yang naik turun.

Dengan cepat Kilau menjawab, "MAU!"

"DENGAN SYARAT!"

"APA?" kata Kilau sangat antusias.

"BISIKIN, Tung!" kata Padu menyuruh Untung. Untung pun memajukan mulutnya tepat di samping telinga Kilau dan mulai membisikan sesuatu.

"DEAL?"

"DEAL!"

"WUHUUUUUUUUU!!!!!!! ASEK ASEK JOS, TAREK TERUS MANG!!!!" teriak Untung kegirangan.

Dari jarak jauh, Kaming dan Menang yang memang disibukkan dengan kegiatan teater berteriak memanggil kedua temannya itu.

"WOYYY KELEAN, SOMBYONG AMAT!!" serentak Kaming dan Untung.

"TAHU NIH! MENTANG-MENTANG, KITA BERDUA SIBUK. NGGAK ADA YANG NGAJAKIN KE KANTIN. SIALAN LO PADA!" kata Kaming.

Untung berteriak, "HEH LO BERDUA KAN SIBUK! GIMANA COBA KITA NGAJAKIN BUAT KE KANTIN BARENG! PEAK!"

Padu menyambung,

"HALAH! ANAK TEATER CICITNYA PAK ANTON MAH HOBINYA NGEDRAMA MULU, TUNG! BIASAAN!"

"KILAUUUU???!!!"

Semua kaget saat suara pak Wal menggelegar. Kilau langsung menoleh dan melihat pak Wal yang memanggilnya dari pinggir lapangan.

"I-iiya pak?"

"SUDAH, MASUK KE DALAM KELAS!"

"Makasih, pak!"

Kilau segera berpamitan kepada teman-teman Lingga. Seraya melambaikan tangannya dengan melemparkan senyuman manis.

"GILA BENER. MESKI PECICILAN, DI LIAT-LIAT JUGA CANTIK KOK. CANTIK BANGET MALAH!"

Padu menoleh ke Untung. "EMANG! DASAR LINGGA AJA YANG BEGO!"

"HEH! LO BERDUA SINI LO!" kata Menang datang dengan sikap emak-emaknya.

🌵🌵🌵