Ya! Bayar semuanya…! Bersama bunganya…! Aku tidak peduli kau melakukan apa…!" Sekarang Leon sudah meledak-ledak, ia menghempaskan tangan Merisa dan dengan cepat mengambil cek yang ada ditangan Merisa lalu merobeknya dan membuangnya ke lantai.
.
.
.
.
Merisa terhuyun-huyun berjalan keluar Mansion Alvalendra. Pandangannya kosong, memandang kolam air mancur kecil yang ada tepat di depan pintu masuk Mansion Alvalendra.
Pikirannya melayang ke beberapa menit yang lalu saat Merisa melihat potongan-potongan kertas yang sudah tidak berharga itu. Lututnya melemas seketika, mengingat bagaimana ia dengan sangat ekstra hati-hati menjaga kertas itu agar tidak hilang atau rusak dan pada akhirnya kertas itu tidaklah berharga sama sekali.
Tanpa sadar ia terduduk ditempat, kaki kecilnya sudah tidak bisa menahan berat badannya. Ia mengutuki dirinya yang bodoh, harusnya ia tidak perlu memaksa Alvalendra itu menerima ceknya kembali. Tidak! Harusnya ia tidak perlu datang kesini. Bawa saja uangnya, lalu pergi keluar negeri, kuliah di sana atau membuka sebuah toko bakery kecil di pinggir jalan atau anggap ini sebagai lotre yang berhasil dimenangkannya.
Kenapa ia terlalu idealis?
Teriakan klakson mobil belumlah cukup untuk menyadarkan Merisa dari keterpurukan. seorang pria dengan kacamata kudanya keluar dari dalam mobil , dan sekarang ada di depan wajah Merisa.
"Nona, apa kau baik-baik saja?" Tanyanya sopan. Ia membantu Merisa berdiri. Merisa hanya bengong ketika itu. Tubuhnya lemas, karena belum makan juga karena syok melihat cek bernilai jutaan yang sudah jadi potongan sampah tidak berharga.
"Ehem, sedang apa kalian?" Sekarang sosok Leon muncul di teras depan. Memandang kedua orang di depannya sambil menajamkan mata. Sekarang penampilannya sudah berbeda, ia memakai setelan jas berwarna abu-abu dengan kemeja berwarna hitam dan dipadukan dengan dasi yang senada dengan jasnya. Sambil menenteng tas kerjanya yang berwarna hitam, ia berjalan menuruni tangga menghampiri kedua orang yang sangat merusak pemandangannya.
Pria yang menolong Merisa tadi langsung membungkuk hormat.
"Selamat pagi, Tuan."
Leon mengacuhkannya.
Matanya hanya tertuju pada Merisa yang masih memasang wajah suram.
"Hei, Merisa!" Panggil ketus. Leon berhenti, menjaga jaraknya dengan Merisa lebih dari satu meter.
"Kenapa masih disini? Cepat sana cari kerja dan bayar hutangmu padaku!" Ejek Leon kesal. Dari nada suaranya, sepertinya Leon ingin memancing keributan.
Merisa hanya diam, mengacuhkan ucapan Leon. Melihat Merisa yang sama sekali tidak meresponnya membuat Leon semakin kesal. Ia berjalan mendekati merisa. Tidak beberapa lama, mereka saling berhadapan. Jarak mereka sangat dekat. Seharusnya Merisa langsung mengambil langkah mundur jika dalam posisi ini tapi ia sama sekali tidak bergerak sedikitpun. Membuat Leon semakin mendekatinya, sangat dekat, sampai Leon bisa mencium aroma vanila dari rambut Merisa.
Leon meneguk ludahnya.
"Kau bisa menjadi wanitaku jika kau mau. Jadi kau tidak perlu membayar hutangmu."
Perlahan Merisa mulai bereaksi, ia menengadah keatas melihat wajah Leon yang sedang menatap wajahnya yang hampir tidak ada jarak diantara mereka. Merisa tersenyum dan,
Bruuk,
Leon Langsung berjongkok memegangi hidungnya yang sudah mengeluarkan darah segar.
"Ahhgg… aku kan hanya bercanda…," Ucapnya setengah berteriak.
"Jangan bohong!" Teriak Merisa tidak mau kalah. Ia memasang kuda-kuda.
Dengan sigap, pria yang menolong Merisa mengambil tisu yang ada di dalam mobil lalu memberikannya pada tuannya. Leon cepat-cepat mengeluarkan beberapa lembar tisu dan menutupi hidungnya.
Harusnya Leon mengikuti instingnya kalau ini tidak akan berhasil pada Merisa.
"Merisa! Kau mau ku laporkan polisi heh?", Leon tesungut-sungut. Ia melihat Merisa yang sudah mengambil jarak darinya sambil memasang kuda-kuda walaupun Leon tahu bahwa kaki merisa bergetar sekarang. Leon berdiri perlahan. Tangan kanannya memegang tisu dihidungnya dan tangan kirinya memegang punggungnya yang masih terasa sakit karena semalam harus menggendong Merisa dipunggungnya ke kamarnya yang ada di lantai tiga.
"Aku bukan Merisa yang dulu lagi! Aku bisa... bisa taekwondo! Silat! Karate! Jangan harap kau bisa macam-macam padaku," Ujar Merisa sambil mengepalkan kedua tangannya yang sudah ada di depan wajahnya dan memasang kuda-kuda
Leon hanya mendecak kesal. Ia tahu merisa bohong.
Oh ayolah, Tujuh tahun menguntit Merisa, hal seperti ini saja masa Leon tidak tahu.
"Terserah padamu, Merisa," Ujar Leon kesal. Ia tidak ingin memperpanjang masalah karena sekarang ia sudah telat tiga jam pergi kekantornya.
"Sana cepat pergi! Hush… hush… hush…," Leon mengibas-ngibaskan tangannya, mengusir Merisa layaknya mengusir kucing di dapur
Merisa langsung mengerucutkan bibirnya.
"Aku juga mau pulang. Permisi!" Ucap Merisa ketus. Ia pun melangkahkan kakinya keluar pintu gerbang sambil merengut kesal.
…
"Tuan, apa anda ingin diantar ke rumah sakit dulu atau langsung ke kantor?" Tanya seorang pria yang tak lain adalah asisten pribadi nya.
"Ke kantor saja.Fer Hari ini aku ada meeting dengan perusahaan Qin," Jawab sang tuan mengambil tisu di pangkuannya lalu menengadahkan kepalanya berusaha agar cairan merah yang mengalir di hidungnya berhenti,
"Heh…" Ia mengeluh.
"Kepalaku pusing sekali" ucap nya sambil memijat keningnya.
"Baiklah." Ucap ferdi . Kemudian ia menarik komping dan menginjak gas mobil melajukan mobil yang ditumpanginya keluar mansion Alvalendra. Sesekali ia mengintip Tuannya yang sedang tertawa kecil dari kaca spion.
"Sudah puas mengintipku, Fer," Sindir Leon yang masih terkikik sambil melanjutkan kegiatan menyeka hidungnya yang masih mengeluarkan darah.
"Maaf, Tuan."
…
"Fani!"
Seorang wanita cantik dengan balutan jas putih itu menoleh kebelakang mendengar namanya dipanggil. Dilihatnya, seorang pria berlari kecil menghampirinya sambil menampilkan cengirannya yang khas. Wanita ini tersenyum. Ia menghentikan langkahnya menunggu pria tersebut yang memanggilnya menghampirinya.
"Kau sedang sibuk fan?" Tanya Niko pada wanita tunangannya. Stefani tersenyum lalu menggeleng.
"Harusnya aku yang bertanya padamu…" Ujar Stefani sambil mendecak maklum.
"...kau jangan meninggalkan perusahaanmu kepada kakek marco terus. Kasihan dia. Dia sudah tua. Waktunya dia pensiun!" Stefani melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
Niko berjalan mengiringi sang kekasih.
"Biarkan saja. Akukan ingin bertemu calon istriku," Ucap Niko manja sambil menggandeng tangan stefani, bersikap manja.
"Dasar, bodoh!" Cepat-cepat Stefani memukul tangan Niko dan memukul kepala Niko dengan map yang ia pegang, sekedar memberi pelajaran.
"Aku tidak ingin menikahi pria malas,"ucap stefani tegas.
Niko pura-pura merajuk tapi sepertinya itu tidaklah mempan pada calon istrinya itu. Terbukti dari sikap Stefani yang acuh berjalan meninggalkannya. Akhirnya Niko lah yang mengalah.
"Baiklah untuk kali ini biarkan aku sarapan denganmu,"ucap Niko sambil membuntuti Stefani.
Stefani mengerucutkan bibirnya.
"Ini jam 11 ,bodoh! Mana ada sarapan jam sebelas. Lagi pula aku belum lapar," Gerutu Stefani.
"Minum jus saja. Oke?" Niko memotong jalan Stefani, memaksanya dengan tatapan puppy eyes andalannya. Stefani menghela nafas, lalu menganggukkan kepala tanda setuju. Niko pun menebarkan cengiran khasnya. Ia berjalan mundur dan memberikan tanda pada Stefani agar menunggunya di bangku tunggu, sebelum dirinya berlari kecil mendekati mesin minuman. Dengan tergesah-gesah dirinya memasukkan beberapa uang receh kedalam mesin dan…
Klontang…
Dua buah kaleng jus jatuh. Dengan cepat ia mengambilnya dan berlari mendekati Stefani yang sedang menunggunya sambil membuka-buka map yang sejak tadi ia bawa.
"Ini." Niko menyodorkan kaleng jus pada Stefani.
"Terima kasih."
"Tidak terasa yah kita sekarang sudah dewasa," Ujar Niko sambil menyeka sudut mulutnya yang basah dengan ujung kemejanya. Stefani hanya tersenyum menanggapi ucapan Niko, ia pun kembali tenggelam membaca lembaran demi lembaran catatan pasiennya.
"Tadi aku baru dari rumah Leon ." Sambung Niko.
"Kau tahu, sepertinya Si singa itu sedang menjalin hubungan dengan wanita." Niko memperhatikan Stefani yang masih terfokus dengan lembaran-lembaran kertas yang banyak bertuliskan istilah-istilah aneh dari ujung matanya.
"Wajahnya memerah saat aku menggodanya." Niko tertawa mengingat ekspresi Leon yang diluar dari wajah stoic-nya.
Stefani pura-pura tidak peduli dengan yang dikatakan Niko. Walaupun terbesit rasa iri dihati nya. Kenapa harus iri, jika kau sudah memiliki calon suami yang sangat perhatian padamu.
'yah, kenapa?'Batin Stefani.
Ia berusaha memaksakan senyum setiap kali Niko melihat kearahnya. Ternyata tumpukan kertas-kertas ini sama sekali tidak bisa menyembunyikan perasaannya yang sedang kacau. Kacau mengetahui kenyataan bahwa ada seorang wanita yang disukai sahabatnya itu.
Yah, sahabat. Kenangan antara mereka sudah tidak ada. Bahkan sama sekali tidak tercipta. Hanya harapan semu yang terpendam di dalam hatinya.
Dia tidak boleh egois. Ketika ada seorang yang sangat mencintainya dan berdedikasi untuk membahagiakannya seumur hidup, untuk apa mengejar bayangan-bayangan mimpi masa lalu. Tapi itu sama sekali tidak mudah seperti bayangannya. Dadanya sesak. Semakin lama mendengar nama orang itu, membuatnya semakin egois. Ingin mendapatkan semuanya. Ia benahi seluruh hatinya yang sekarang sudah tidak karuan. Sekali lagi ia paksakan senyum mengembang dibibirnya.
"Niko!" Potong Stefani pada Niko yang sedang asyik bercakap panjang lebar.
"Iya fan," Jawabnya.
"Aku lupa hari ini aku ada pasien. Maaf tidak bisa menemanimu lebih lama," Ungkap Stefani sambil bangun dari kursinya dan berjalan melewati Niko.
Langkahnya terhenti saat Niko menahan tangannya. Ia menoleh dan menatap Niko dengan tatapan bingung.
"Maaf," Ucap Niko lirih
"Untuk?"
"Memaksamu mengingatnya lagi."
ucap Niko menyesal
…
"Merisa! ini pesanan meja nomor 4."
"Baik!"
Suara dentingan sumpit yang beradu dengan mangkuk terdengar mendominasi di dalam ruangan. Riuh keramaian orang yang memanggil satu nama yang serasa menjadi satu-satunya kata yang tercipta di bumi 'pelayaan'. Kata itu yang sekarang menjadi nama kedua seorang wanita dengan rambut yang di ikat kuncir kuda . Wanita ini dengan sangat sigap, kesana-kemari menghampiri meja-meja persegi berwarna merah sambil sesekali memberi ucapan selamat datang dan sampai jumpa pada orang-orang yang masuk dan keluar dari tempatnya berada.
"Pelayan! Sup iganya satu," Ucap seorang pria paruh baya sambil mengacungkan telunjuk, merisa, gadis pelayan ini dengan cepat menuliskan pesanan pria tadi, lalu beralih pada pasangan muda-mudi di meja ujung yang memanggilnya untuk memesan hal yang sama. Yah tentu saja, sekarang Merisa sedang berada di kedai sup iga. Kedai di pinggir Jalan , tempatnya bekerja sekarang.
"Pesanan akan segera diantar," Ujar Merisa pada para pelanggan.
Tidak terasa sekarang sudah jam 2 siang. Sekarang pelanggan hanya tinggal satu, orang pria tua yang duduk di meja dekat jendela, pesanannya pun sudah diantarkan. Dua jam sebelumnya adalah waktu paling sibuknya karena itu adalah waktu jam istirahat tapi sekarang jam istirahat sudah berakhir, kedai sudah sepi. Sekarang Merisa sudah bisa bersantai merenggangkan otot-otot bahunya yang sudah keram.
Lonceng pintu berbunyi, memandakan ada pelanggan yang masuk. Dengan sigap Merisa, memberikan salam pada seorang wanita berkacamata, terlihat sekali dari penampilannya, ia adalah wanita terpelajar.
"Silakan, ingin pesan apa?" Tanya Merisa sambil menyodorkan buku menu. Wanita itu membuka lembaran-lembaran menu yang ada dan membolak-balikannya tidak mengerti.
"Disini yang paling di gemari adalah sup iga sapi. Apa Nona ingin memesannya juga?" Tawar Merisa ramah.
"Emm… baiklah. Aku pesan sup iga sapi, satu." Wanita itu kembali menyodorkan buku menu kepada Merisa.
"Tunggu sebentar, pesanan akan segera diantarkan," Ucap Merisa sambil mengambil buku menunya kemudian pergi kedapur untuk mengambilkan pesanan wanita itu.
Lima belas menit kemudian, Merisa mengantarkan pesanan wanita berkacamata yang sekarang sedang duduk di meja nomor 5. Wanita itu menunggu dengan sabar sambil menyeruput orange jus pesanannya yang sudah diantarkan lebih dahulu.
"Silakan menikmati," Ujar Merisa sambil membungkukkan badan.
"Terima kasih, Nona," Balas wanita berkacamata itu dengan ramah.
"Jangan panggil aku, Nona. Aku jadi malu," Ucap Merisa segan. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.
"Apa anda masih mengenal saya, Nona?" Ucap wanita berkacamata
Merisa mengerutkan keningnya. Memutar otaknya, kembali mengingat siapa orang yang sedang ada di hadapannya. Merisa terkejut mengingat siapakah wanita yang ada dihadapannya kini.
"Kaukah olivia? Mahasiswa jenius yang memenangkan olimpiade sains di Australia itu?" Tanya Merisa tanpa sadar ia sedikit berteriak. Merisa ingat, pernah melihat wajah wanita berkacamata ini majalah kampus, sebelum Merisa keluar dari Universitasnya karena tidak sanggup membayar uang semesternya yang terlampau tinggi.
Wanita itu tersenyum.
"Bukan itu, Nona," Bantah wanita berkacamata itu yang kita sebut dia Olivia.
"Kita pernah bertemu tiga minggu yang lalu, di Mansion Alvalendra. Apakah anda mengingatnya?"
Merisa terdiam memikirkan kejadian tiga minggu yang lalu, di Mansion Alvalendra. Di perhatikannya wanita berkacamata itu baik-baik. Sekarang Merisa benar-benar ingat.
"Kau Maid yang waktu itu melayaniku kan?"
Olivia mengangguk meng'iya'kan.
"Terima kasih karena sudah membantuku berdiri saat itu," Ungkap Merisa malu-malu, menyembunyikan wajahnya dibalik nampan.
"Sama-sama."ucap Olivia lembut.
"Ah… iya tunggu sebentar," Cepat-cepat Merisa masuk lagi kedapur dan tidak beberapa lama ia membawa sepiring makanan dan menaruhnya di meja Oliv.
"Ini ungkapan terima kasihku. Belut goreng ini sangat enak jika di santap dengan sup iga sapi."
Oliv tersenyum mendapatkan keramahan dari Merisa.
"Silakan dinikmati," Ucap Merisa ramah.
Merisa beralih ke meja di samping Oliv
'kenapa mahasiswi sejenius dia mau ya menjadi maid di kediaman Alvalendra ,padahal kan masih banyak pekerjaan lain yang lebih layak untuk mahasiswi jenius seperti dirinya ' batin Merisa heran sambil berjalan ke dapur mengambil pesanan para pelanggan.
Setelah selesai menyantap sup iganya akhirnya Olivia melambaikan tangannya memanggil Merisa untuk membayar makanan yang telah ia pesan dan segera pergi dari sana.
"Sampai jumpa lagi."ucap Merisa sambil membungkukkan sedikit badannya.
Dengan segera Merisa membersihkan meja yang tadi digunakan oleh Oliv dan melihat selembaran koran ada di meja. Cepat-cepat ia berlari keluar mencari Oliv yang sudah tidak tahu dimana jejaknya. Akhirnya ia kembali ke dalam dan melanjutkan pekerjaannya.
…
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Setelah membersihkan seluruh ruangan akhirnya ia diperbolehkan untuk pulang.
Kaki kecilnya melangkah menyusuri jalan, menuju ke flat kumuh, tempat yang sudah ia tempati sejak 3 minggu yang lalu. Sebuah flat yang hanya berukuran beberapa meter saja, tapi cukup nyaman untuk di tempati Merisa saat ini. Pemiliknya sangat baik membiarkan Merisa membayar uang sewanya diakhir bulan sampai ia mendapatkan gajinya yang pertama dari kedai sup iga.
Merisa langsung membaringkan tubuhnya di lantai dan meringkuk berusaha meghilangkan rasa dingin yang menyerang tubuhnya. Berkali-kali dirinya berusaha memejamkan mata tapi rasa kantuk itu pun belumlah dirasakan olehnya. Ia menukar posisi tidurnya menjadi telentang.
Memandang langit-langit flatnya yang sudah penuh dengan bercak-bercak noda membentuk pulau. Ia menghembuskan nafasnya. Ia teringat akan sup iga yang tidak habis terjual yang akan menjadi makan malamnya sekarang. Cepat-cepat ia menggeledah kantong plastic yang ia bawa. Ia menghembuskan nafas lega mengetahui sup iganya masih hangat. Dengan perlahan ia memakan sup iga itu sambil membaca koran yang tidak sengaja Oliv tinggalkan di kedai. Dibukannya halaman lowongan kerja. Mencari beberapa lowongan yang cukup menarik dari segi gaji menurutnya.
Gaji di tempatnya bekerja sekarang hanya sedikit. Hanya cukup untuk membayar sewa dan makan sehari-hari saja. Ia harus mati-matian menghemat gajinya yang sudah dibayar dimuka, untuk sekedar membeli baju obral juga beberapa selimut yang pastinya juga sedang diobral. Bagaimana bisa dirinya membayar hutangnya pada Leon yang terbilang banyak, ratusan juta . Seumur hidupnya pun sepertinya sulit membayar hutangnya. Belum lagi entah berapa persen bunga yang harus ia bayar.
Merisa mengutuki dirinya yang bodoh karena lupa menanyakan hal penting itu. Karena terlalu emosi juga syok akhirnya ia lupa dengan semua itu. Padahal sebelumnya ia sudah tersungut-sungut menanyakan maksud dari kebaikan hati leon tapi pada akhirnya semuanya blank entah kemana. Merisa meratapi nasipnya yang malang.
Perhatiannya teralih pada lowongan kerja yang menurutnya sangat menarik. Lowongan untuk menjadi pelayan di Mansion Alvalendra.
Mansion Alvalendra?
Ia langsung terbatuk-batuk saking kagetnya membaca berapa nominal gaji yang ditawarkannya. Disekanya sisa-sisa daging yang menempel di bibir dengan ujung lengan mantelnya. Diperhatikannya baik-baik angka yang tercantum disana.
"1, 2, 3, 4 …" Ucap Merisa sambil menghitung deretan nol di sebelah angka satu.
"…6?" Matanya membesar seketika.
"Astaga!" Seru Merisa tidak percaya.
Hening.
Tidak beberapa lama ia tertawa, miris. Di lemparkannya koran itu sembarangan dan kembali melanjutkan makannya. Belum sampai sesuap ia melahap makanannya dengan cepat ia meletakkan makanannya kembali lalu beralih pada lembaran koran yang berserakan karena ulahnya tadi. Diperhatikannya lagi lowongan kerja itu baik-baik. Sekarang senyumnya benar-benar terkembang sempurna.
Dengan girangnya ia berloncat-loncatan seperti baru saja mendapatkan lotre. Dengan tekat baja, ia berniat kesana besok. Tidak peduli dengan tampang orang tanpa ekspresi itu. Leon tidak akan bisa mematahkan semangatnya.
"ha ha ha, aku akan datang kesana besok", ucap Merisa dengan senyum yang mengerikan bak psikopat .
To be continue...
jangan lupa tinggalkan Like and comment ya 🙏🙏😊😊