Matahari pagi bersinar terang ,jam menunjukkan pukul 07.39.Merisa sesegera mungkin menutup flat ponselnya. Sekarang ia sudah ada di depan gerbang Mansion Alvalendra. Ia menarik nafas panjang lalu membuangnya perlahan. Ia memulai satu langkah kecilnya untuk masuk dan tiba-tiba berhenti begitu saja. Ia berbalik dan berjalan dua langkah menjauhi Mansion. Tidak beberapa lama ia berhenti lagi, kemudian menoleh kebelakang, tepatnya kedalam Mansion. Ia menggigit kuku jarinya dengan gugup. Ia menghembuskan nafas berat. Kemudian menyalahkan dirinya yang tiba-tiba saja ragu untuk masuk padahal sebelumnya ia terpaksa membohongi pemilik kedai sup iga dengan meminta izin sakit hari ini.
Gerbang Mansion sudah dibuka selebar-lebarnya. Menyambut kehadiran wanita yang ada didepannya untuk masuk kedalam tetapi sejak lima menit yang lalu wanita ini tidak kunjung masuk juga, malah sejak tadi yang ia kerjakan hanya berdiri mondar-mandir di depan gerbang.
Tingkahnya ini membuat dua orang pria penjaga pintu gerbang mencetuskan ide untuk memasang taruhan berapa lama wanita ini akan masuk, lima menit atau sepuluh menit ataukah tidak sama sekali.
Akhirnya setelah 10 menit berlalu, Merisa kemudian masuk. Membuat si penjaga gerbang yang menggigit jerami harus memasang tampang seribu tahun tidak mandi.
Kedatangan merisa disambut oleh seorang wanita yang lebih tua darinya. Bukan Olivia, Wanita itu memiliki postur tubuh yang tinggi semampai. Dengan ramah ia mempersilahkan Merisa masuk kedalam. Di buangnya jauh-jauh perasaan gugup yang tadi melanda pikiran Merisa. Diangkatnya wajah pucat miliknya, menatap maid yang ada di depannya dengan tatapan tegas seolah-olah mengatakan 'Aku siap bekerja dan tidak akan mengecewakanmu'.
Maid itu mempersilakan Merisa untuk duduk.
"Kau yang mengirim aplikasimu melalui fax itu kan?" Ujarnya ramah.
"Benar," Jawab Merisa mantap tanpa memutuskan sedikitpun kontak mata.
"Baiklah. Apa benar kau lulusan Senior High School dan sempat kuliah di universitas Sayaka?"
"Benar, seperti yang tertera diaplikasi saya," Jawab Merisa sekali lagi dengan tegas.
Tentu saja sekarang Merisa menulis aplikasinya dengan sebenar-benarnya. Ia tidak berani mengubah aplikasinya sekedar untuk menambah nilai plus karena tahu bahwa calon bosnya adalah Leon Alvalendra sudah tahu hal yang sebenarnya.
Yah, Leon Alvalendra adalah calon bos Merisa yang sangat panjang umur karena kehadirannya sekarang. Ia berjalan masuk kedalam Mansion sambil menempelkan ponsel di telinga kirinya lalu melihat jam tangan bermereknya. Ia diikuti oleh seorang pria dengan kacamata kuda, orang yang pernah menolong Merisa saat dia tersungkur di depan halaman mansion ini.
Tangan kanannya memegang buku agenda sedangkan tangan kirinya menenteng tas kerja yang Merisa yakini itu adalah milik Leon. Mereka berjalan sangat tergesa-gesa menuju lantai atas.
Maid yang tadi menginterview Merisa langsung memutuskan pertanyaanya dan memilih berdiri lalu memberi salam pada Tuannya begitupun Merisa.
"Selamat datang, Tuan," Sapa maid itu diikuti Merisa dengan sedikit membungkukkan badan.
Merisa menundukkan kepalanya tidak ingin berkontak mata dengan Leon mengingat pengalaman yang mereka lewati, heh, pengalaman yang buruk.
Tentu saja Merisa merasa malu, tapi malunya sudah ia buang 85% setelah memutuskan bertekat baja untuk datang kesini.
Dengan gaya khasnya yang acuh dan tanpa ekspresi itu, Leon melewati mereka tanpa menjawab salam yang di lontarkan oleh maidnya itu. Ia sedang sibuk berbicara dengan ponselnya walaupun beberapa detik terlihat ia sedang mengamati Merisa dari ujung matanya. Sedangkan pria yang mengikuti Leon tadi bersikap lebih santun dengan membalas salam lalu
menyengerakan dirinya membuntuti majikannya lagi.
…
"Kamu bisa bekerja mulai besok."
Pernyataan itu membuat Merisa senang sekaligus galau luar biasa. Senang karena dia di terima di tempat kerjanya yang baru. Galau karena memikirkan alasan yang cukup logis untuk meyakinkan bosnya bahwa ia tidak bisa bekerja lagi.
Hal itu membuatnya tidak fokus berjalan, alhasil ia harus terkena cipratan ludah dari pria paruh baya yang menegurnya karena tidak fokus berjalan. Dengan lunglai ia berjalan menuju ke flat sewaanya. Sesampainya disana, Merisa dengan cepat mengemas semua barangnya, mulai dari baju juga sebuah selimut yang ia beli saat obral.
Semuanya di masukkan kedalam tas travel kecil miliknya yang ia dapatkan dari mall mahal sebagai hadiah ulang tahun dari temannya . Tidak lupa ia mengecek uang simpanan miliknya, untung saja ia tidak membelanjakan gajinya itu untuk membeli mantel baru.
Di hitungnya lembaran demi lembaran uang dengan nominal ratusan ribu itu. Yang tersisa hanya 900.000 dan beberapa recehan lainnya tapi ini cukup untuk membayar flat sewaannya. Diselipkannya uang itu dikantung sisi kiri tas travelnya setelah mengambil 50 ribuan untuk makan siangnya hari ini.
Merisa keluar flatnya membeli beberapa mie instant di supermarket terdekat. Hanya dibutuhkan waktu 15 menit untuk mencapai supermarket itu. Supermaket kecil yang ada di pinggir kota A. Merisa tidak membuang waktu untuk pergi ke rak-rak yang diisi dengan berbagai macam mie instan. Ia pun mengambil tiga buah mie instan yang dikemas dalam bentuk cup. Untuk makan siang, malam juga untuk sarapannya besok .
Merisa tidak membuang waktu, dengan cepat ia pergi menuju meja kasir yang sedang sibuk melayani para pembeli lain yang sudah mengantri sejak tadi. Dengan sabar Merisa menunggu sampai gilirannya tiba sambil membaca komposisi yang tertera di kemasan mie instan yang ia beli.
"Merisa!" Panggil pria paruh baya yang ada tepat di belakang Merisa. Merisa menoleh kebelakang. Matanya tiba-tiba membulat tatkala melihat siapa orang yang memanggilnya.
"Paman Candra." Seru Merisa kaget. Paman candra, Pria paruh baya yang sangat Merisa kenal. Merisa tidak bisa melupakan orang itu. Paman yang memiliki mata sipit, pemilik warung makan yang ada di dekat sekolah Merisa dulu.
Paman ini pulalah yang sering menggratiskan nasi goreng dan juga makanan lain untuk Merisa.
Mata coklat Merisa sekarang berkaca-kaca melihat orang yang ada didepannya. Air mata yang ada di pelupuk matanya sudah tidak bisa lagi Merisa bendung. Merisa sangat senang sekarang. Sangat senang melihat orang yang dihadapannya sudah berdiri dengan tegak dan juga sehat.
"Kenapa kau menangis, Merisa? Apa aku berbuat salah padamu?" Tanya paman Candra keheranan.
Merisa menggelengkan kepala. Ia tersenyum sambil menyeka air matanya dengan tangannya.
"Aku senang Paman. Aku senang kau sudah sehat," Ungkap Merisa sambil tersenyum lega.
"Hah… Itu hanya masalah kecil, Merisa. Aku hanya sakit flu,"
Sekarang giliran merisa yang bingung.
"Bu-bukankah Paman sedang sakit gagal ginjal?"
Merisa memasang tampang kaget mendengar kabar dirinya mengidap penyakit parah. Sebelumnya ia hanya sakit flu karena cuaca yang sangat dingin lalu kenapa Merisa bisa berbicara seperti tadi?
"Aku baik-baik saja. Dari mana kau mendapatkan kabar itu Merisa?" Paman Candra keheranan.
Sekarang harusnya Merisa berbahagia bukannya syok mendengar kabar bahwa paman Candra baik-baik saja. Tetapi bukan itu masalahnya. Dari hati yang paling dalam Merisa sangat bahagia mendengar kabar itu walaupun ia masih bingung dengan keadaannya yang sekarang. Ia berusaha berfikir bagaimana sebaiknya ia mengatakannya pada orang didepannya itu.
Bukan, seharusnya bukan dia yang menjelaskan semuanya tapi seseorang yang sedang menatap horror kepadanya. Dia orang itu, orang yang sekarang kabur keluar dari supermarket dengan tergesah-gesah sampai-sampai meninggalkan kantung belanjaannya.
.....
To be continue..,....