Flashback on...
Tujuh tahun yang lalu
Sinar hangat mentari menerangi aula. Hiruk pikuk keramaian mendominasi diseluruh ruangan tepatnya di kantin sekolah yang didisaign sedemikian rupa menyerupai restoran-restoran mewah.
Sesuatu atau lebih tepatnya ketiga orang yang menjadi pusat semua topic hangat yang sedang dibicarakan saat ini, sedang santai menikmati makan siangnya. Mereka duduk di posisi yang paling diidamkan oleh semua siswa yang ada di sekolah ini, tepatnya di pojok bertepatan di samping dinding kaca yang menyuguhkan pemandangan halaman sekolah yang eksotis.
Hamparan hektar lahan yang ditanami oleh sejumlah pohon sakura yang diatur berbaris dengan rapih. Kelopak bunga sakura yang berguguran menambah kesan dramatisnya.
"Wah tidak ku sangka Merisa itu menyukaimu," Ucap seorang wanita berambut pendek sebahu menggoda pria disampingnya .
Wajahnya semakin memerah karena berusaha menahan tawa sedangkan pria itu hanya mengaduk-aduk mie kuah yang sudah tidak hangat lagi dengan lesu.
"Kau harusnya jadian dengannya!" Nasehat wanita itu lagi.
"Sudah kukatakan berapa kali fan, aku menyukaimu," Ucap si pria itu sambil menatap mie kuah yang sudah dingin.
Ia sudah tidak lagi berselera makan sejak kejadian setengah jam yang lalu. Saat semua teman sekelasnnya menertawakan Merisa karena ketahuan menulis kata 'Love you, Niko Zevano ,Forever' saat pelajaran matematika berlangsung.
"Tapi kau tadi menolongnya? Aku rasa kalian cocok. Benarkan Leon?" Mata Stefani beralih pada seorang pria yang sedang sibuk memejamkan matanya sambil melihat melipat kedua tangannya didada.
Wajahnya terlihat tidak baik hari ini. Rahangnya yang tegas semakin terlihat tegang seperti sedang marah.
"Bukan berarti aku menyukainya," Bantah Niko.
Ia memang menolong Merisa saat semua orang menertawakannya. Ia dengan sigap berdiri sambil menggebrak meja dan menatap mereka dengan pandangan membunuh yang sama sekali ia tidak pernah perlihatkan pada seorangpun.
Tapi demi Tuhan, ia tidak punya sedikit pun perasaan lebih pada orang itu. Ia hanya menganggapnya teman.
"Aku hanya ingin menolongnya," Ungkapnya jujur.
"Kalau begitu pacari dia. Kau tahu berita itu sudah menyebar hanya dalam hitungan detik. Semua dinding punya telinga Nik. Dilihat dari kepribadian Merisa , aku tidak tahu apa dia sanggup bertahan digunjingkan seperti itu?" Ungkap Stefani sambil menghela nafas. Disendokkannya pudding coklat yang ada di depannya lalu menyuapinya ke dalam mulut.
"Hem… ini enak sekali," Puji Stefani sambil menikmati lelehan pudding dimulutnya.
Niko hanya menghela nafas.
Yah, dimana pun dinding punya telinga jika menyangkut tentang mereka yang notabennya adalah pewaris jutaan triliun .
Dia adalah seorang pewaris atau lebih tepatnya pemilik dari perusahaan Zevano. yang memiliki puluhan industri penghasil batu bara yang tersebar dia seluruh dunia,
Sedangkan Stefani adalah pewaris dari Melano`s Hospital, rumah sakit kelas satu yang memiliki fasilitas terlengkap dan terbesar diseluruh negri juga pemilik beberapa Hotel bintang lima lainnya.
Lalu seseorang yang ada di depan Niko, si Prince Of prince yang memiliki sekolah ini juga industry berlian termahal diberbagai Negara dan beberapa bisnis lainnya.
"Apa aku harus menemuinya?" Gumam Niko lirih.
"Aku takut dia salah paham padaku."
tambah Niko lagi.
"Benar. Lebih baik kau menemuinya. Tembak dia nik!" Ucap Stefani memberi semangat sekaligus menyindir Niko yang sampai sekarang masih saja menguntitnya.
"Apa? Aku-". ucap Niko terhenti
"Apa kalian tidak bisa berhenti bicara!" Potong Leon. Mata kelam nya yang indah perlahan terbuka. Mengedarkan pandangan tajam kepada kedua sahabatnya yang sejak tadi sibuk membicarakan sesuatu yang membuatnya gerah.
"Aku tidak suka kalian membahasnya lagi!" Leon mengendus kesal.
Sementara Stefani dan Niko saling berpandangan menunjukan ekspresi bingung.
"Apa maksudmu Merisa, Leon?" Tanya Stefani lembut.
Leon hanya berdecak kesal. Lalu bangkit dari kursinya sambil melemparkan serbet yang tadi ada di pangkuannya. Ia melenggangkan kakinya meninggalkan kedua sahabat nya yang masih bingung dengan tingkahnya yang setiap hari sulit diprediksi.
...
Seorang gadis sedang duduk sendiri sambil memeluk kaki mungilnya di bawah pohon sakura. Ia menyembunyikan wajahnya dikedua kakinya. Suara isak tangis tertahan keluar dari mulutnya diiringi oleh gugurnya kelopak sakura.
Hembusan angin membawa guguran kelopak sakura beserta wangi mint dari seseorang pria yang sedang duduk disisi lain dari pohon yang sudah ditempati gadis tersebut.
Kepalanya ia sandarkan dibatang pohon. Ia menghembuskan nafas berat. Mata kelam nya menatap tiap kelopak bunga sakura yang berguguran, perlahan-lahan jatuh diwajahnya. Lagi-lagi ia menghembuskan nafas berat.
Kepalanya kembali ia tundukkan. Suara tangisan tertahan dari gadis yang ada di belakangnya membuatnya terasa semakin sesak. Ditolehkan wajahnya kesamping melihat siluet dari gadis itu.
"Bahkan kau tidak menyadariku," gumamnya lirih.
flashback off....
...
"Jadi? Kau kerja disini Azkanida?"
Leon menyeringai melihat penampilan Merisa saat ini. Merisa yang ada dihadapannya memakai seragam maid sangatlah luar biasa bagi Leon sampai-sampai ia tidak bisa menahan seringai yang muncul diwajah tampannya yang biasa tanpa ekspresi itu.
Merisa menunduk gugup karena sejak tadi dirinyalah objek pandang dari mata kelam sekelam malam milik Leon yang membuatnya bergidik ngeri.
"I-iya, Tuan," Jawab Merisa gugup.
Leon menyandarkan dirinya ke meja kerjanya yang ada di belakangnya. Menatap intens maid baru yang ada di depannya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Flatshoes hitam dan kemeja terusan berwarna hitam terlihat sederhana membalut tubuh ramping Merisa tapi bagi seseorang (Leon) entah kenapa itu terlihat rrrr…🤔
"Bisa kau tinggalkan kami, sandra," Pinta Leon.
Merisa semakin berkeringat dingin tatkala Sandra meninggalkan mereka berdua di dalam ruang kerja Leon.
Hanya berdua saudara-saudara,
*hanya berdua*.
Sementara Leon hanya tersenyum, lebih tepatnya menyeringai. Perlahan ia mulai berjalan mendekati Merisa. Ketakutan semakin menyergap Merisa saat Leon melangkahkan kakinya menuju Merisa.
Entah kenapa aura yang dipancarkan Leon selalu membuat Merisa bentindak melakukan perlindungan diri, menjaga jarak lebih tepatnya dari Leon. Respon Merisa segera melangkah mundur saat dirinya merasa Leon semakin mendekat.
"Ada beberapa hal yang paling aku benci di dunia ini," Ucap Leon sambil terus melangkah mendekati Merisa.
"Aku benci ada seseorang yang selalu ketakutan setiap aku melangkahkan kaki mendekatinya."
Merisa langsung berhenti melangkah mundur ketika mengetahui apa maksud dari ucapan Leon.
"Kedua, aku benci seseorang itu selalu menghindari kontak mata denganku."
Merisa langsung mengangkat kepalanya dan terkejut ketika Leon sudah ada tepat di hadapannya.
Cepat-cepat ia alihkan pandangannya ke suatu titik di belakang Leon untuk menghindari tatapan tajam dari orang itu.
"Aku paling benci ketika seseorang itu seakan-akan melihatku tapi ternyata tidak," Ucap Leon sambil menekankan kata-katanya.
Merisa berusaha mati-matian menatap mata kelam Leon. Perlahan mata coklat nya menatap setiap sudut mata Leon yang terlihat sangat indah. Retinanya yang hitam dan bola matanya yang berwarna putih kebiru biru an terlihat sangat indah dengan kilauan cahaya dari pantulan sinar matahari. Rasa takut itu mulai luntur. Retina mata Niko memang bisa membuat Merisa seakan bisa melihat hamparan samudra yang membentang luas. Sedangkan yang ini, seperti melihat jagat raya dengan memandanginya saja.
Takjub? Tentu saja.
Merisa mengutuki dirinya yang bodoh melewatkan sesuatu seperti ini sejak dulu. Pantas saja seluruh gadis yang ada di Senior High School selalu memujannya. Tanpa sadar mereka sudah berpandangan lebih dari lima menit.
"Terpesona dengan mataku, hmm?"
Lamunan Merisa langsung membuyar seketika mendengar suara Leon yang terdengar mengejeknya. Cepat-cepat ia alihkan pandangannya ke bawah, menatap sepatu hitamnya.
Leon hanya menyeringai menang melihat tingkah gugup Merisa yang mengalihkan pandangan kebawah, bukan karena takut melainkan rasa malu.
"Buatkan aku pancake untuk sarapan!" Pinta Leon sambil melenggang pergi keluar ruang kerjanya meninggalkan Merisa yang sekuat tenaga menghilangkan bunyi detak jantungnya yang tidak beraturan itu.
…
Menjadi maid seorang Leon Alvalendra, bukanlah hal yang mudah. Sama halnya menjadi sekertarisnya, pekerjaan yang dulu Merisa lakukan. Selain karena Leon adalah orang yang pemaksa, dia juga orang yang bermulut spicy.
Belum lagi dengan tindakannya yang sulit ditebak. Terkadang dia sangat lembut, selembut selimut sutra yang sekarang Merisa cuci. Terkadang dia menjadi sangat kasar, sekasar keset yang ada di depan hotel yang bertuliskan welcome .
Kehadirannya sekarang di ruang cuci pun perlu dipertanyakan. Seorang Leon Alvalendra masuk ke ruang cuci bisa menjadi berita menghebohkan diseluruh perusahaan apabila pekerjanya tau.
Merisa berusaha tidak terpengaruh dengan pandangan Leon yang sejak tadi diam menatapnya sambil menyenderkan dirinya didinding.
Satu menit berlalu,
Dua menit hilang entah kemana,
5 menit?
20 menit?
"Tuan, apa anda perlu sesuatu?" Tanya Merisa memberanikan diri.
Seketika Leon langsung membuang muka.
"Hmm," Jawabnya dengan gumaman. Ia mulai beralih pada sesuatu, didekatinya rak-rak yang berisikan botol-botol putih.
"Kau tahu ini apa?" Tanyanya sambil mengambil satu botol dan menunjukannya pada Merisa.
Merisa hanya menoleh sebentar lalu kembali fokus pada noda mengering di cuciannya.
"Apa yang tertulis disana?" Tanyanya. Ia tahu bahwa tuannya yang sangat cerdas pasti bisa membaca label yang tertera di botol itu.
Leon hanya berdecak kesal lalu meletakkan botol putih itu ke raknya lagi.
"Bisakah kau berhenti mencuci!" Perintah Leon setengah berteriak diikuti dengan Merisa yang memekik kaget dan tanpa sadar menjatuhkan jam tangan bututnya ke dalam cucian.
"Ah, sudah tidak jalan," sesal Merisa. Di pukul-pukulkannya jam tangan butut miliknya, berusaha mengeluarkan air yang ada di dalam jam tapi sia-sia jam tangannya sudah rusak.
Leon yang mendengar Merisa memekik kaget langsung menghampirinya.
Melihat Merisa yang masih saja berusaha mengeluarkan air dari dalam jam bututnya membuat Leon mendecak sebal.
"Beli saja yang baru," Ucapnya santai.
Merisa menatap Leon dengan pandangan marah dan hampir mengeluarkan air mata.
"Kenapa?" Tanya Leon dingin.
"Ini sangat berharga," Ucap Merisa hampir menangis. Di pandanginya jam tangan butut miliknya yang juga dulu pernah dimiliki seseorang. Milik ibunya yang sudah lama meninggal.
"Dari laki-laki atau perempuan?" Tanya Leon cepat. Ada sedikit rasa cemburu diperkataanya yang tidak disadari oleh Merisa.
"Ini tidak ada hubungannya!" Bentak Merisa.
"Kenapa kau marah?" Tanya sedikit membentak. Merisa hanya merengut kesal sambil memandang jam tangan bututnya yang rusak. Diacuhkannya Leon yang menatapnya meminta penjelasan lebih.
Merasa diabaikan akhirnya Leon memilih pergi meninggalkan merisa.
…
Merisa sedang tergesah-gesah keluar dari supermarket. Dipacu langkah kakinya yang terbilang kecil menyusuri aspal jalanan.
Malam sudah larut. Ia tidak ingin pulang malam karena itu akan membuat Sandra menunggunya hanya untuk membukakan pintu. Walaupun Merisa sudah punya kunci cadangan Mansion tetapi Sandra tetap kekeh untuk menunggu Merisa sampai pulang. Untuk menghemat waktunya, Merisa menyusuri gang sempit yang menghubungkannya dengan jalan raya.
Riuh keramaian kendaraan mendominasi kota.
Puluhan bahkan ratusan mobil bergerak setiap harinya melewati jalan ini. Merisa beristirahat sebentar, menyandarkan tubuhnya di tiang listrik, mengatur nafasnya yang tersengal karena terus saja berlari. Kepulan asap putih terus saja keluar dari hidung dan mulutnya setiap kali ia membuang nafas.
Suhu semakin dingin menjelang tengah malam. Diedarkan pandangannya menikmati pemandangan tengah malam. Pertokoan berderet disepanjang jalan walau sudah hampir sebagian dari mereka yang tutup karena sudah tengah malam. Tapi ada sebagian dari mereka yang masih buka, seperti tempat hiburan malam Night Light kata itulah yang cetak besar di atas pintu masuk tempat hiburan malam.
Entah berapa banyak lelaki hidung belang yang masuk kedalam sana, berfoya-foya menghabiskan uang mereka. Apa lagi sekarang awal bulan, pasti pengunjungnya sangat banyak.
Merisa sampai bergidik ngeri mengingat berapa banyak lelaki tua bangka yang masuk kesana. Ditutupi kepalanya dengan tudung mantelnya yang kebesaran, merapihkan rambutnya agar tidak terlihat. Ini hanya langkah pencegahan agar nanti saat ia lewat tidak ada lelaki hidung belang yang menggodanya.
Kepalanya ia tundukan dan dengan cepat ia melangkahkan kakinya, takut jika ada lelaki hidung belang yang menyadari dirinya seorang wanita. Tapi sesuatu yang ditakutinya terjadi. Ia menabrak seseorang.
Dengan ketakutan ia langsung meminta maaf dengan mengubah suaranya seperti laki-laki lalu berusaha kabur secepatnya tapi orang itu terus saja menghalanginya.
"Tuan, apa anda ingin masuk?" Tanya seorang wanita dengan sangat sangat ramah. Merisa mematung saat mendengar suara yang sangat ia kenal. Diangkat wajahnya untuk melihat siapa wanita itu. Pupilnya membesar bersamaan dengan bola mata wanita yang sedang memandangnya.
"Sarah?" Pekik Merisa kaget.
"Me-merisa?"
**To be continue....!