Merisa menghembuskan nafas berat untuk meredakan ketakutannya. Inilah yang sering ia lakukan sebelum bekerja di sini. Bekerja di bar murahan bernama Night light. Hingar-bingar dentuman music yang memekakkan telinga mendominasi pendengaran. Lampu berwarna-warni berputar mengelilingi ruangan. Bau rokok serasa seperti udara pegunungan di sini. Sebenarnya ini adalah yang pertama kali Merisa datang ketempat ini.
Rasanya mual saat seminggu yang lalu ia menapaki kakinya di sini. Tidak terbayangkan sekarang tubuhnya sudah kebal dengan segala aroma memuakkan yang keluar dari pria-pria hidung belang, entah rokok maupun wewangian khas yang keluar dari mereka.
"Hei, antarkan ini di meja itu." Tunjuk bartender pada kursi yang ada di pojok ruangan.
"Baik." Merisa mengambil botol-botol bir yang ada di meja dan meletakkannya dinampan. Segera Merisa melangkahkan kaki dengan hati-hati menuju meja yang ditunjuk bartender tadi.
Terlihat seorang pria tua yang terbalut dengan perban di sekujur tubuhnya sedang dikelilingi oleh tiga orang wanita yang Merisa tahu itu siapa. Ketiga wanita itu adalah wanita penghibur yang bekerja di sini. Wanita yang disediakan oleh bosnya yang bisa di pesan oleh siapa saja.
Dia tertawa sambil menciumi wanita-wanita yang ada di sekelilingnya itu. Merisa hampir mual melihat pemandangan menjijikkan yang tersaji dihadapannya.
"Pesanan anda, Tuan." Merisa meletakkan bir-bir itu di meja mereka. Segera Merisa pun pergi dari sana tapi dihentikan oleh pria itu.
"Kau mau kemana?" Tanya pria itu dengan senyumnya yang mengerikan. Bau alcohol keluar dari mulutnya.
Merisa berusaha untuk tenang. Ditepisnya tangan pria mabuk itu dengan sopan tapi sepertinya itu disalah artikan oleh pria mabuk itu. Ia malah menarik Merisa dengan kasar kehadapannya.
"Tolong!" Teriak Merisa ketakutan tetapi suara tenggelam oleh dentuman music.
Hanya ada tiga wanita tadi yang berusaha menolong Merisa tapi sia-sia. Mereka menyerah lalu segera pergi memanggil bodyguard.
Merisa manangis ketika dirinya disentuh dengan brutal oleh pria itu.
Teriakannya tidak berpengaruh sama sekali. Dengan brutal pria itu mencengkram rahang Merisa, berusaha mencium bibirnya. Dalam hati Merisa mengutuki dirinya sendiri. Berharap ada seorang yang menolongnya keluar dari keadaan ini. Matanya membelalak melihat Sarah berlari menghampirinya dan mengambil botol bir lalu memukul kepala pria itu. Teriakan dan makian keluar dari mulut busuk pria tadi. Dengan cepat Merisa meloloskan diri menghampiri Sarah dan berusaha lari. Tapi sayangnya tangan Sarah sudah dicengkram kuat oleh pria tadi. Dengan sekuat tenaga ia memukul Sarah hingga Sarah terjungkal kelantai dan tidak sadarkan diri.
Semua keadaan terjadi begitu cepat, jeritan semua orang yang melihat kejadian itu mengiringi adegan dramatis yang sekarang terjadi. Merisa cepat-cepat menyadarkan Sarah yang sudah tergeletak di lantai. Pipinya yang chubi terus-terusan digenangi air matanya sendiri. Dilihatnya pria tadi sudah tidak terkontrol.
Ia mengambil botol yang tadi Merisa antarkan. Sambil menyeringai ia menghampiri Merisa dan melayangkan botol itu kearah Merisa. Dengan cepat Merisa memejamkan matanya dan memeluk Sarah. Berdoa kepada Tuhan agar ini tidak menyakitkan.
Jeritan terus mengiringi kejadian ini.
Tapi lama sekali Merisa tidak merasakan sakit di kepalanya. Perlahan ia membuka matanya. Melihat dimanakah sekarang pria brutal tadi. Dilihatnya sekarang seorang pria membelakanginya menduduki pria brutal tadi sambil melayangkan pukulannya kearah pria brengsek yang melakukan pelecehan kepada Merisa.
"Cepat tolong dia! Dia hampir mati!" Pekik seorang wanita yang sejak tadi menonton kejadian itu.
"Leon hentikan!" Teriak Merisa sambil memeluk Leon dari belakang. Cipratan darah selalu membasahi jas dan kemeja Leon setiap kali ia melayangkan tinju kewajah pria busuk itu.
Terus saja dirinya tidak berhenti meninju wajah pria yang ada di bawahnya itu walaupun pria busuk itu tidaklah lagi berdaya. Ia sama sekali tidak menggubris Merisa yang menangis ketakutan sambil memeluk tubuhnya dan memanggil namanya agar ia berhenti. Amarahnya sudah tidak terkendali.
"Tuan hentikan!" Seseorang dari belakang mengunci tangannya agar berhenti melakukan tindakan kekejamannya pada pria yang sudah tidak berdaya di bawahnya itu.
"Ahhhggg… Lepaskan aku Fer !" Teriaknya kalut.
…
"Apa yang kau lakukan, heh !" Maki Leon pada Merisa yang sedang gemetar sambil menangis dihadapannya. Penampilannya sudah tidak karuan. Kemeja putihnya yang sobek dibagian lengan dan rambutnya yang acak-acakan serta mascara yang sudah meleleh dimatanya karena sejak tadi dirinya tidak henti-hentinya menangis.
"Untuk apa kau bekerja di sini! Kalau aku tidak ada, kau sudah habis di sana!" Makinya sambil menunjuk-nunjuk ke arah bar murahan itu.
"A-aku bu-butuh u-uang," Jawab Merisa sambil menangis lirih. Kepalanya ia tundukkan ke bawah tidak berani melihat raut wajah Leon yang sedang marah padanya.
"Uang, Heh! Kau butuh uang, heh!" Segera Leon mengeluarkan dompetnya. Puluhan lembar kertas bernominal ratusan ribu dan beberapa cek semuanya dikeluarkan dari dompetnya.
"Kau butuh ini!" Leon dengan geram menunjukkan uangnya dan melemparkannya kearah Merisa.
Puluhan lembar uang bernominal ratusan ribu berjatuhan menghujaninya.
"Kau puaskan?" Leon tidak lagi memakinya. Leon sudah tidak lagi menghujatnya. Leon tidak lagi…
"Aku sudah tidak peduli lagi."
Peduli padanya…
Diangkat wajah pucatnya melihat raut wajah Leon yang benar-benar kecewa. Kecewa padanya, sama seperti ayahnya saat mengusirnya dulu.
Tenggorokannya sudah tidak sanggup mengeluarkan suara sedikit pun. Bahkan untuk menangis pun sudah tidak terdengar. Matanya kosong menatap kepergian Leon. Ia sangat-sangatlah lemah sampai tidak bisa memanggul berat badannya sendiri dan terduduk di tumpukan salju dengan tatapan kosong.
…
Leon P.O.V
Dasar bodoh! Sialan! Brengsek!
Entah sudah berapa kali kata-kata kotor keluar dari mulutku. Aku berteriak menyalurkan emosiku sambil memukul-mukul setir mobil. Kupacu mobilku menerobos jalan raya dengan kecepatan maximum, sudah berapa makian yang keluar dari pengemudi lainnya karena aku. Kalau bukan karena dia aku tidak mungkin seperti ini!
Kalau saja ia tahu bagaimana aku sangat khawatir padanya. Seperti orang gila yang kalap mencarinya di tengah kerumunan orang.
Bagaimana gilanya aku saat melihat dirinya hampir mati ditangan Si busuk itu. Bagaimana abnormalnya aku tanpa perasaan hampir saja membunuh orang. Lalu yang dikatakannya apa? Dia butuh uang? Hanya gara-gara uang?
Dia bahkan tidak mempedulikan diriku.
Ku seka darah Si busuk itu yang hampir mengering di wajahku. Aku sudah hampir seperti orang gila bersamanya. Kenapa kau membuatku begini!
Aku menggeram memikirkannya.
Tahun-tahun yang kulewati tanpa bertemu denganmu membuatku seperti orang idiot tapi saat bersamamu membuat ku seperti orang gila.
Aku tertawa miris saat tahu diriku seperti itu.
Yah, dia membuatku seperti ini. Kau membuatku seperti ini. Aku tidak sanggup kehilanganmu lagi. Tidak ku mohon tetaplah bersamaku walaupun aku hanya sebagai bayangan yang berharap dirinya nampak
dihadapanmu.
Aku malu mengakuinya, malu mengakui bahwa aku membutuhkanmu. Sangat membutuhkanmu.
…
Merisa P.O.V
Sekarang aku harus bagaimana lagi. Aku tidak tahu harus apa. Tubuhku sudah mati rasa. Semuanya serasa melayang. Bukankah ini musim dingin, kenapa tidak terasa apapun. Apa aku sedang bermimpi.
Yah, mimpi buruk. Dua kali dibuang. Dua kali melihat wajah itu. Penuh rasa kekecewaan. Aku sudah tidak sanggup.
Cepat sadar. Ini waktunya bagun. Bangun! Bangun! Bangun!
Kenapa tidak menurutiku! Kenapa hanya diam! Cepat bagun!
"Cepat bangun! Kau sedang buang air disana?" Suara mengejek yang selalu membuatku kesal entah kenapa aku sangat membutuhkannya sekarang.
"Bangun! Kau mau ku rape!"
Aku mengangkat wajahku melihat siapa yang ada dihadapanku sekarang. Pria yang sangat angkuh dengan wajah stoicnya menatapku. Gayanya yang khas, sombong penuh kepercayaan diri yang tinggi membuatku mual tapi merasa lega. Aku merengut kesal padanya. Lelehan air mata semakin membanjiri pipiku.
"Kau tahu, tampangmu seperti hantu sekarang!" Ucapnya sekali lagi.
"Kau kembali." Rasa haru menyelimutiku melihat dia ternyata masih mempedulikanku. Aku menangis meraung-raung seperti anak kecil yang menemukan ibunya lagi.
Ia mendecak kesal padaku yang mungkin dihadapannya sekarang aku tampak menjijikan baginya tapi aku tidak peduli. Ia membuka jasnya lalu memasangkannya padaku. Lalu menarikku untuk berdiri.
"Ayo kita pulang!"
Aku menarik ingusku yang hampir keluar.
"Sarah!" Astaga aku melupakan Sarah. Sontak aku langsung berbalik ingin ke tempat itu lagi tapi tertahan oleh tangannya yang mencengkramku erat.
"Sudah ada yang mengurusnya," Ucapnya menenangkan. Aku mengangguk lalu mengikutinya dan tersadar akan sesuatu yang kutinggalkan.
"Sebentar," Ucapku padanya. Ia terlihat kesal padaku.
"Ada apa lagi!" Serunya.
Aku melepaskan genggaman tangannya dari tanganku. Lalu aku berbalik ketempat saat dia meninggalkanku.
Kulihat ceceran uang yang dilemparkannya saat itu, tergeletak tidak berdaya dan hampir tersapu angin. Kupunguti satu persatu lembar uang ratusan ribu beserta cek itu, memasukkannya kedalam rangkulan tanganku.
"Untuk apa kau memungutinya!"
Aku tersenyum memandangnya. Segera aku berlari kecil menghampirinya. Mengembalikan uangnya yang sudah lecek dan lembab karena salju padanya. Ia hanya tertawa angkuh.
"Uang tetaplah uang," Ucapku padanya.
"Untuk mu saja," Ucapnya acuh. Digenggamnya lagi pergelangan tanganku.
"Ta-"
"Cukup, Oke! Aku tidak ingin kau syok melihatku membuang itu ketempat sampah." Ucapnya acuh sambil menarikku kedalam mobil.
To be continue.....