Nona anda tidak apa-apa?, Tuan meminta anda ke ruang kerjanya."
Ucap seorang maid yang tadi memergoki Merisa yang sedang bersembunyi di belakang sofa.
Merisa mengangguk. Ia mencoba berdiri walau sejak tadi lututnya terus saja bergetar hebat.
"Mari saya bantu, Nona," Ujar maid itu dengan sangat ramah. Merisa membiarkan maid tadi membantunya untuk berdiri.
"Te-terima kasih," Ucap Merisa gugup. Ia masih malu karena insiden tadi.
"Apa sudah lebih baikan?"
Merisa mengangguk meng'iya'kan. Maid itu pun melepaskan rangkulan tangannya, membiarkan Merisa berjalan sendiri.
"Mari." Ia tersenyum memberi tanda agar merisa mengikutinya.Merisa mengikuti arahannya, sambil mengatur detak jantung yang masih berdegup kencang karena mendadak harus melihat cinta pertama nya yang tak lain Niko Zevano.
Merisa dibawa menuju lantai 2. Ruang kerja Leon berada sedikit memojok. Maid itu, mempersilahkan Merisa untuk menunggu di dalam sampai tuannya datang.
Lagi-lagi Merisa terpesona, melihat betapa indahnya ruang kerja Leon .
Ruangan berukuran beberapa meter persegi yang di cat warna biru dan putih. Yang paling menarik perhatian adalah jendela besar berbentuk kurva yang ada tepat di belakang meja kerja Leon.
Hamparan halaman yang luas yang ditumbuhi pohon sakura dapat dilihat dari sini walaupun pohon sakura itu sudah meranggas karena sudah masuk musim dingin tapi nanti, saat musim semi tiba, bunga Sakura pasti akan bermekaran dengan sangat indah.
Ruangan ini terlihat sangat terang karena cahaya matahari dapat masuk melalui jendela besar tersebut. Di sini tidak terdapat banyak aksesoris,melainkan hanya beberapa hiasan dinding, lemari tempat menyimpan dokumen ada di samping meja kerja Leon sedangkan rak-rak buku ada disisi lain, tepatnya di seberang meja kerja. Lalu satu set sofa berwarna biru ada di sisi kanan ruangan.
"Silahkan, Nona." Ucap maid itu dengan sopan sambil mengarahkan Merisa agar duduk di sofa. Merisa mengangguk.
"Apakah ada lagi yang anda butuhkan, Nona?"
Merisa menggeleng.
"Tidak, terima kasih," Ucapnya sambil tersenyum hangat. Tidak beberapa lama, maid tadi melangkahkan kakinya untuk pergi keluar setelah ia memberi salam dengan membungkukkan badannya.
Merisa duduk termenung memikirkan alasan apa Leon memberikan cek dan juga surat kepemilikan rumahnya yang sudah ia jaminkan pada rentenir. Merisa menghembuskan nafas berat. Ia manyandarkan tubuhnya di sofa. Matanya menatap langit-lagit lalu beralih pada sekelilingnya. Jendela kaca, meja kerja, rak-rak buku dan kumpulan bingkai foto yang tergantung didinding di depannya.
Merisa mulai terfokus pada deretan bingkai foto yang tergantung di dinding sisi kiri ruangan. Merisa berdiri dan mulai melangkahkan kakinya untuk mendekati koleksi foto yang tergantung di hadapannya. Melihatnya satu persatu, sampai ia benar-benar puas.
Terpampang foto-foto Leon bersama keluarganya. Di foto, Leon sedang dihimpit oleh ayah, ibu serta kakak laki-lakinya dengan wajah yang tanpa ekspresi. 'benar benar keluarga Alvalendra' Gumam Merisa.
Sekarang pandangannya beralih pada foto Leon bersama kedua sahabatnya, Niko dan Stefani. Terlihat Leon sangat acuh. Ia melihat kesamping, mengacuhkan kamera juga kedua sahabatnya yang ada di sampingnya. Sekarang Niko lah yang memasang muka masam kearah Leon. Mungkin Niko cemburu melihat Stefani yang menggandeng Leon, bukan dirinya. Sekali lagi hati Merisa mencelos. Ia menggelengkan kepalanya mencoba mengusir semua perasaan bodohnya.
Di perhatikannya foto-foto Leon yang lain. Foto saat ulang tahun Leon yang ke-17. Semua terlihat tersenyum bahagia kecuali Leon. Ia terlihat malas di pesta ulang tahunnya sendiri.
Merisa jadi teringat tentang gosip yang beredar setelah pesta itu selesai. Bukannya Merisa suka bergosip tapi saat itu, isu ini sangat hot. Merisa tidak perlu repot-repot mencari tahu karena kabar itu selalu menjadi topic hangat selama 2 minggu penuh.
Saat itu Leon mengundang semua teman sekolahnya atau bisa dikatakan seluruh penghuni sekolah. Dia menyewa sebuah kapal pesiar mewah untuk merayakannya selama seminggu penuh, berlayar mengelilingi samudra pasific.
Merisa pun mendapatkan surat undangan itu, di rumahnya. Sayangnya Merisa sama sekali tidak datang kesana. Merisa lebih memilih mengerjakan tugas rumahnya dari pada harus datang kesana.
Kenapa?
Karena saat itu, satu-satunya teman merisa di sekolah, Fian. Alhasil ia tidak ingin menjadi seorang pecundang yang menjadi pajangan karena tidak ada satu pun teman yang bisa diajak mengobrol dengannya. Apalagi setelah insiden pembacaan catatannya yang nista itu. Bisa-bisa ia dijadikan objek bullying disana.
Sayangnya, sepertinya pestanya tidak berjalan sesuai rencana. Menurut gosipnya, Leon yang membuat pesta ulang tahunnya sendiri lebih memilih pulang lebih cepat 6 hari dari jadwal yang direncanakan lalu diikuti oleh Stefani juga Niko. Entah apa yang terjadi saat itu.
Andaikan saja, saat itu Merisa memilih untuk datang mungkin kejadiannya akan lain jadinya.
"Ehem…"
Merisa yang sedang asik memandangi foto-foto itu, langsung terlonjak kaget ketika melihat leon sedang berdiri di dekatnya bahkan jaraknya kurang dari satu meter. Dengan cepat Merisa mengambil jarak, mundur beberapa langkah.
"Maaf…" Ucap Merisa gugup. Ia menundukkan wajahnya, tidak berani menatap wajah Leon .
"Ada apa?" Sebuah pertanyaan dilontarkan dari mulut Leon. Seperti biasa Leon memasang wajah datar, Seeeeedatar-datarnya sambil melipat kedua tangannya dan menyenderkan tubuhnya di ujung deretan bingkai foto yang tadi Merisa lihat.
Dengan gugup, Merisa mengeluarkan cek yang tadi Leon berikan padanya.
"Tolong terimalah!" Ucap Merisa sambil membungkukkan badannya dan mengulurkan tangannya memberikan cek itu pada leon.
Leon hanya melihat cek yang ada ditangan Merisa tanpa niat mengambilnya.
"Hm, buat mu saja," Ucap Leon datar. Merisa langsung terpelongo kaget mendengar ucapan Leon.
"Tapi kenapa?" Tanya Merisa malu-malu. Sebenarnya,demi Tuhan , Merisa sangat-sangat ingin memiliki cek itu. Tapi, sejak kecil ia diajarkan untuk membalas budi pada orang yang berbuat kebaikan padanya dan mengingat nilai nominal yang di berikan padanya terlalu besar untuk dibalas, lebih baik ia tidak menerima hal itu. Terlebih dia sudah mengambil surat kepemilikan rumahnya yang sudah ditebus oleh Leon. Ia tidak ingin menambah daftar balas budinya pada Leon.
"Aku kasihan padamu."
Seperti di sambar petir di siang bolong. Kenapa leon mengatakan hal itu, Merisa sangat-sangat benci pada perkataan itu. Lebih baik dia dimaki dari pada harus di kasihani.
"Katakan saja, kau ini gengsi meminta maaf karena kau salah memecatku kan?," Ucap merisa menggebu gebu, tanpa ia sadari. Cepat-cepat ia menutup mulutnya lalu menunduk lagi. Urat dikepala Leon muncul seketika mendengar dengan beraninya Merisa berbicara seperti itu padanya.
"Kau pikir seperti itukah? Heh…" Ia tersenyum sinis.
"…sepertinya kau salah paham padaku, Apa kau kira aku memecatmu karena masalah pemesanan itu kah..?". Merisa menggangguk.
"…kau pikir aku bodoh tidak tahu siapa yang salah." Leon masih memajang senyum sinisnya.
Merisa terpelongo kaget.
"Lalu kenapa kau memecatku?" Di kumpulkannya seluruh keberaniannya untuk menatap mata Leon.
"Kau pikir kau bisa membohongiku? semua aplikasimu adalah palsu bukan? Untung saja hanya aku yang tahu hal itu," Ia menyeringai, menang.
"Lalu kenapa kau tidak diam saja? Selama inikan pekerjaanku baik-baik sajakan?" Merisa menaikan nada suaranya, egonya mulai muncul.
"Kau pikir pantas berbicara seperti itu?". Leon menaikan sebelah alisnya.
Kali ini Merisa menunduk kembali. Ia tahu sekarang ia salah. Memaksakan egonya pada orang yang bukan siapa-siapanya yang bahkan orang itu sudah berbaik hati memberikan surat rumahnya.
"Maaf…" ucap Merisa lirih tapi masih belum bisa menghilangkan rasa kesalnya pada orang di depannya.
"Ya sudah". Leon yang menganggap pembicaraan ini telah selesai. Akhirnya ia pun membuka pintu untuk keluar tapi saat tangannya sudah siap-siap menarik gagang pintu, tangan Merisa sudah menggenggam pergelangan tangannya untuk menahan agar tidak keluar.
"Se-setidaknya kau terima, cek ini," Ucap Merisa gugup.
"Buat kau saja," Ucap Leon datar.
"Ta-tapi, aku tidak bisa membalasnya." Satu alasan yang logis dilontarkan oleh mulut Merisa.
"Tidak perlu," Bantah Leon di tengah adengan tarik menariknya.
"Ta-tapi, aku akan membayar semua hutangku." Alasan kedua kembali di lontarkan Merisa.
"Tidak butuh," Bantah Leon sekali lagi. Kali ini, ia sedikit jengah menghadapi tingkah Merisa yang keras kepala.
"A-aku pasti akan berusaha keras membayarnya…" Alasan ketiga lagi-lagi dilontarkan Hinata.
"Kubilang tidak. Ya tidak!" Bantah Leon untuk ke tiga kalinya dengan nada kesal. Berharap Merisa tidak lagi keras kepala dan menerima cek itu.
"Ta-tapi… a-"
Sudah cukup! Leon sudah tidak tahan lagi.
"Ya! Bayar semuanya…! Bersama bunganya…! Aku tidak peduli kau melakukan apa…!" Sekarang Leon sudah meledak-ledak, ia menghempaskan tangan Merisa dan dengan cepat mengambil cek yang ada ditangan Merisa lalu merobeknya dan membuangnya ke lantai.
Leon keluar dengan membanting pintu, meninggalkan Merisa yang hanya termenung melihat potongan-potongan cek yang berceceran di lantai, cek bernilai jutaan itu sekarang sudah tidak berharga lagi.
'nasibku' batin Merisa menangis .