Tuan, Nona meminta saya menanyakannya apa yang ia butuhkan pada anda?" Urat dahi Leon berkedut-kedut membentuk simpangan perempatan.
"ME-RI-SA!"
.
.
Leon P.O.V
Dia tidak berani menatapku. Yah, siapapun tidak akan berani menatapku ketika aku sedang marah. Marah pada orang yang di seberang sana yang sedang menyembunyikan wajahnya di balik poni tebalnya. Ia bergerak-gerak gelisah tidak nyaman. Aku menatapi setiap inci pergerakanya. Aku kesal, kesal setengah mati pada orang itu. Bisa-bisanya dia membuatku menjatuhkan harga diriku. Pertama dia sudah membuatku harus berjalan sambil mengangkang dan kedua dia membuatku meminta seseorang membeli sesuatu yang ada sayapnya. Sial! Aku mengutuki diriku sendiri yang terlalu bodoh.
"Ma-maaf sekali lagi ma-af," Ucapnya dengan terbata-bata. Ia masih tidak berani menatap mataku.
"Ck. Bisa-bisanya kau membuatku seperti ini Merisa Azkanida, Aku meragukan apa kau benar, Merisa Azkanida? Kau membuat banyak kesalahan Merisa," Ejekku padanya.
"Kau ini sungguh tidak tau malu," Ucapku sekali lagi. Kali ini dia mendongakkan kepalanya. Ia menatapku dengan wajah kesal. Berani sekali dia memandangku dengan tatapan seperti itu, harusnya aku yang di sini telah menjadi korban.
"Aku wanita baik-baik, tuan Alvalendra. Aku tahu malu jadi tidak berani mengatakannya," Ucapnya sangat lancar seakan tidak ada penyesalan sedikitpun. 'Berlaga sekali dia. Jadi, dia ingin aku mengungkit kejadian semalam, hah?'
"Kalo kau tau malu. Bagaimana caramu bertanggung jawab atas apa yang kau lakukan padaku," Ucapku sedikit hiperbola.
"Kau…," Ucapanku terhenti karena aku tahu tindakanku ini malah membuatku semakin terkesan ke kanak-kanakan.
"Terserah padamu. Sebaiknya kau pulang. Aku tidak mau kakakmu mengamuk padaku," Ucapku sambil berdiri dan meninggalkanya. Aku teringat akan sesuatu.
"Oh yah, di depanmu ada cek dan surat rumahmu. Aku sudah menebusnya. Ku harap kau menggunakannya dengan baik," Ucapku sambil berlalu.
'Oh, ayolah Leon kenapa kau begitu baik padanya.'
Aku mengutuki diriku yang selalu merasa iba padanya. Aku thau dirinya sedang terjebak hutang dengan rentenir karena menjadi jaminan untuk temannya yang ternyata kabur entah kemana. Aku tahu kalau ayahnya baru mengetahui hal itu, lalu tanpa sadar mengusirnya. Dan akhirnya aku menemukannya mabuk di kedai pinggir jalan lalu membawanya pulang. Yah, aku selalu tau tentang dirinya.
Sial! Apa aku bisa dikatakan penguntit?
Tidak kau hanya khawatir padanya dan tanpa sadar dan dengan sangat tidak di sengaja kau tahu segala informasi tentang dirinya.
Tentang dirinya? Oh yah, tentang dirinya sejak kau masih di Senior High School.
Aku menghembuskan nafas berat, menemukan kenyataan kalau sebenarnya diriku adalah penguntit.
Setidaknya aku penguntit professional.
Aku meninggalkannya yang masih terpaku atas ucapanku. Melangkahkan kaki kembali ke kamarku. Berniat untuk melanjutkan tidur yang hanya beberapa jam sehari tetapi kuurungkan hal itu, saat melihat kamarku yang masih dibersihkan oleh para maid.
Oh ayolah, Leon, kau bisa tidur di tempat semalam kau tidur atau di kamar kosong lainya. Bukankah rumahmu sangat luas?
Dengan langkah gontai aku berjalan menuju kamar di sebelah. Langsung saja ku daratkan tubuhku ke ranjang dalam posisi tengkurap. 'Ugh, punggungku sakit sekali. Sepertinya aku harus memanggil david untuk meringankan sakitnya.'
Ku turuti keinginan mataku untuk terpejam dan tidak beberapa lama semuanya gelap.
…
Normal P.O.V
Seorang wanita sejak sejam yang lalu berdiri di depan pintu apartemen sederhana bernomor 15. Sejak sejam yang lalu pula, dirinya mondar mandir di sana. Ragu untuk masuk ataupun sekedar memencet bel. Ia memeluk amplop coklat yang ia bawa. Matanya terbelalak kaget melihat gagang pintu yang ada di depannya berputar. Cepat-cepat ia bersembunyi takut keberadaannya diketahui.
Seorang pria paruh baya keluar dari dalam apartement itu. Matanya tidak sengaja tertuju pada sebuah amplop yang diletakkan di depan pintu oleh wanita tadi.
Ia membukanya, raut wajahnya menampakkan keterkejutan ketika melihat apa isi dari lembaran kertas yang ada di dalamnya. Ia memasukkan kertas itu kembali lalu, memeluknya sambil mengatakan sesuatu.
"Anakku," Ucapnya dengan sangat pelan.
Wanita yang sedari tadi melihat hal itu sambil bersembunyi hanya dapat menahan air matanya sambil membekap mulutnya agar tidak mengeluarkan sedikitpun suara. Segera ia pergi dari sana karena ia tahu pria yang ia kenal sebagai ayahnya akan segera mencarinya. Ia belum bisa bertemu dengan ayahnya. Rasa bersalah pada orang yang dikasihinya membuatnya tidak berani bertatap muka.
Sekarang wanita itu berada di halte bus. Termenung, memandang kosong ke depan. Beberapa kali bus-bus berhenti di depannya tetapi segera berlalu tatkala selalu diacuhkannya. Sebenarnya ia sama sekali tak ingin mengacuhkannya hanya saja sampai sekarang ia tidak tahu harus kemana, harus apa, dan bagaimana. Di keluarkannya sebuah kertas dari saku mantelnya. Cek bernilai 10 juta. Ia menghembuskan nafas berat. Ingatannya kembali lagi kebeberapa jam yang lalu. Seseorang yang ia kenal memberinya cek ini beserta surat rumahnya yang ia jaminkan pada rentenir. Orang itu mantan bosnya yang memecatnya tanpa mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan besar bagi hidupnya. Ia sangat kesal mengingat kejadian sebulan yang lalu. Saat dirinya dipecat karena rekan kerjanya yang menjebaknya dengan sengaja melimpahkan kesalahan dalam pemesanan padanya membuat perusahaan tempatnya bekerja merugi sekitar setengah juta dollar.
Ia ingin sekali meremas kertas ditangannya. Kalau bukan karena kertas ini bernominal , dengan senang hati dia akan merobeknya bahkan membakarnya. Sekarang pikirannya beralih pada tujuan dari kebaikan mantan bosnya itu, si Alvalendra, yang selalu beruntung di dalam kehidupannya. Selalu terbesit iri di hatinya ketika mengingat hal itu.
Leon Alvalendra adalah teman sekelasnya saat senior high school. Dia selalu menjadi patokan atas kesempurnaan saat di sekolah dulu. Wajah tampan, otak briliand, kaya pula.
Lama sekali ia memikirkan tujuan dari tindakan si Leon itu.
'Mungkin ini permintaan maaf atas apa yang terjadi saat dia memecatku,' Ujar wanita dalam hati. Sedikit naif tetapi senyum jelas saja terukir di wajahnya.
Beberapa menit kemudian, otaknya berfikir hal yang lain yang meruntuhkan pemikiran pertamanya. 'Bagaimana dengan rumahku? Bukankah ini terlalu mewah hanya untuk permintaan maaf saja? Lalu kenapa dia tahu kalo aku menjaminkan ini?' Pikirnya. Terbujuk oleh rasa penasaran yang besar membuatnya bertekat bertemu dengan mantan bosnya itu. Alhasil, wanita itu merogoh sakunya mengumpulkan beberapa uang koin terakhirnya yang ia miliki untuk pergi ke rumah mantan bosnya.
.
.
.
Kini Merisa berdiri didepan gerbang besar mansion itu ,sambil membawa cek bernominal puluhan juta berniat untuk mengembalikan cek tersebut.
"apa ada yang bisa saya bantu nona?" tanya satpam di depan mansion tersebut ,
"apa tuan Alvalendra ada di dalam?" tanya Merisa ragu .
"silahkan nona, tuan Alvalendra ada di dalam" jawab satpam tersebut sambil membukakan gerbang untuk Merisa .