Merisa P.O.V
"Silakan Nona nikmati tehnya. Saya akan memangil tuan," Ucap seorang maid dengan ramah.
Aku duduk menunggu di ruang depan sambil menyeruput teh yang disajikan padaku. Aku mengedarkan pandangan dan tanpa sadar mulut ini menganga sambil meneliti betapa megahnya mansion ini. Mansion yang tidak kupedulikan saat tadi pagi aku melenggangkan kakiku pergi meninggalkannya. Rumah bernuansa serba putih dan biru terlihat sangat luas dengan disain jendela kaca yang tinggi dan besar. Begitu pula dengan langit-langitnya yang dibuat tinggi hampir lima meter. Rumah ini terkesan modern. Pemilik rumah ini pasti sudah memperhitungkan dengan matang bagaimana konsep yang akan dibuat, terbukti dari pemilihan aksesoris yang memenuhi rumah ini. Umm… pasti mahal merancang semuanya.
Lamunanku buyar ketika mendengar suara itu. Suara yang sangat ku kenal. Suara riang penuh semangat. Cepat-cepat aku bersembunyi di belakang sofa. Mengutuki diriku yang dengan sangat bodohnya melupakan kenyataan itu.
Melupakan kenyataan bahwa cinta pertamaku adalah sahabat Leon .
Lalu untuk apa aku bersembunyi darinya? Toh dia tidak akan memakanku.
Mengingat kejadian itu, kejadian memalukan saat aku masih senior high school. Dengan sangat bodohnya aku memendam perasaanku padanya sampai sekarang walaupun saat kelulusan kami, aku mengetahui bahwa dirinya masih memendam perasaan pada wanita itu, wanita yang menjadi primadona sekolah yang merupakan sahabat baik mereka sekaligus calon istrinya yang akan menikah saat musim semi nanti. Hatiku mencelos ketika memikirkan kejadian itu dan tanpa sadar saat pertama kali mengetahuinya, aku mematung di tengah jalan sampai teriakan klakson mobil membawaku kembali.
Bagaimana aku bisa tau?
Oh, siapa yang tidak tahu 'siapa dirinya'. Dia bukanlah orang sembarangan. Tujuh tahun bisa membuat semuanya berubah. Dia yang dulu siswa yang bisa dikatakan tidak pintar dibidang akademik dapat berevolusi menjadi pengusaha muda yang mapan. Yah, mungkin semuanya didukung oleh latar belakang keluarganya yang sudah dari sananya kaya.
Semua kabar tentangnya dapat kuketahui dari televisi. Dia bukanlah artis, dia hanya pemuda tampan yang menjadi keturunan Zevano. Keluarga terkaya ke-3 menurut Asian Magazine.
Aku melihatnya mengumumkan pernikahanya dengan ekspresi yang luar biasa senang sambil menggandeng wanita cantik . Yah, dia stefani Melano, pewaris tunggal Melano`s Hospital. Saat itu, rasanya semua oksigen hilang dari permukaan bumi, cukup hiperbolis tetapi itu yang kurasakan. Sangat sesak disini, didadaku.
Tetapi bukan itu alasanku bersembunyi darinya. Aku bisa saja muncul, lalu mengucapkan selamat atas pertunangannya dengan wanita yang diimpi-impikannya sejak kecil walaupun dadaku sesaknya tak terkira.
Tetapi itu karena saat dimana awal mula namaku terkenal disetiap sudut sekolah dan menjadi gosip yang tidak mungkin dilewatkan. Untuk ukuran orang sepertiku yang sudah diajarkan menjaga catatan kepribadian, hal ini sama saja mencoreng moral. Dijadikankan lelucon selama hampir tiga tahun membuatku sulit mencari teman.
Tujuh tahun yang lalu, saat dimana guru Ardian guru Matematika ,dengan sangat tidak berprikemanusiaan membaca catatanku yang bertuliskan 'Love u Niko Zevano, forever' di depan kelas dimana ada Niko di sana. Sial!sial! rasanya saat itu, aku ingin sekali menerjunkan diriku kedalam sumur dan menjadi kuntilanak yang menghantui hidup guru matematika itu. Sejak saat itu sampai kelulusan, semua orang menertawakanku atas kejadian nista tersebut. Aku sangat-sangatlah malu, belum siap untuk berhadapan dengannya walaupun sudah tujuh tahun berlalu.
Aku mengintip dari balik sofa ,melihatnya berjalan ke arahku semakin lama semakin dekat. Jantungku serasa mau copot.
'mau mati rasanya 'batin ku menangis
Aku langsung bersembunyi. Kudengar dia berbicara sendiri sambil mencari seseorang dengan nama 'Nona'. Kurasakan sofa yang ada di belakangku sedikit bergerak. Kurasa, sekarang dia sedang duduk di sofa.
"Nona? Aku jadi penasaran dengan Nonanya si Leon. Seperti apa dia? Apa dia cantik?" Ucapnya antusias. Kepalaku menengadah keatas. Kulihat seorang pria itu, yang tak asing bagiku dan ya ,dia adalah sahabat dari Leon Alvalendra,dia adalah cinta pertama ku saat tujuh tahun yang lalu. Dimana saat itu, aku selalu melihat rambutnya dari belakang bangkuku dan tanpa sadar memimpikannya di setiap malam.
Trek…
Terdengar dentingan suara cangkir yang diletakkan. "Masih hangat. Kemana dia? Apa dia sudah pergi? Lebih baik aku tunggu saja."
Ya Tuhan, tolonglah aku!
Aku sama sekali tidak berani bergerak sedikitpun, takut jika Niko tahu keberadaanku. Malu jika ia tau dan ingat kejadian memalukan tujuh tahun yang lalu. Tanpa sadar keringat dingin mulai bercucuran dari keningku.
Terdengar suara langkah sepatu bergerak ke arahku. Apa ini Alvalendra?, bukan ini bukan suara nya ,aku mengintip dari sisi kanan sofa terlihat pria berjas putih dengan kaca mata tebal nya.
"Paman, terima kasih sudah datang. Kau mau kuantar sampai kerumah sakit?" Tawar Niko dengan sangat ramah.
"Emmm…." pria itu menjawab dengan ragu,
Cepat jawab 'ya!'. Oh Tuhan, aku tidak kuat!
"Baiklah. Aku tahu kau ingin melihat Stefani kan?"
"Kau tahu saja. Baiklah ayo," Niko bangkit dari sofa dan melenggangkan kakinya pergi meninggalkan mansion bersama Laki laki berkacamata tadi.
Aku menghembuskan nafas lega. Tanpa sadar kakiku masih saja bergetar.
Memalukan.
Tanpa ku sadari sejak tadi seorang maid memandangku dengan heran.
"Nona apa yang anda lakukan di sini?"
"Ti-tidak a-apa-a-pa." Jawabku terbata-bata.
Keadaanku sekarang sangat memalukan. Bersembunyi di belakang sofa dengan kaki yang masih bergetar. Untung saja aku tidak ngompol di celana