"Kenapa kamu berpeluh? Padahal di sini tidak panas lho!" kata Celine.
"Tidak masalah, aku baik-baik saja," balas Darren mencoba menstabilkan suasana hatinya. "Di sini ramai ya?" lanjutnya.
Pufff!! Celine tertawa. "Tentu saja tempat ini ramai, ini malam minggu. Dan memang pada dasarnys tempat ini selalu ramai, kan?"
"Mungkin, bisa jadi!"
"Lho kok berubah jadi ambigu begitu?"
"Tidak kok. Memangnya terlihat seperti itu?"
"Bukan terlihat lagi, tapi memang seperti itu! Kamu kenapa sih? Aneh bangat!! Aku jadi merasa tidak enak, aku merasa kamu yang begini karena Papaku!"
Baru saja Darren akan menjawab, tiba-tiba seorang pelayan restoran itu datang membawa stainless steel food cover.
"Pak, ini pesanan Anda," ucap pelayan itu.
"Waahh, ada makanan yang baru lagi ya?" ucap Celine dan langsung membuka stainless penutup itu.
"Ehhh jangan.....!!!" teriak Darren dengan cepat, tapi sayangnya food cover itu sudah terbuka.
"Setangkai bunga mawar?" speechless Celine mengucapkan kata itu.
Darren tersenyum. 'Sudah terlanjur, dan memang harus dikatakan. Hufff, jantung bekerja samalah!' batin Darren.
Darren mengambil bunga itu. "Ini untukmu," ucapnya sambil menyerahkan setangkai bunga mawar yang indah itu. Wanginya saja sudah menyerbak di hidung Celine.
"Un-untukku?" tanya Celine heran. "Tapi untuk apa?" tanyanya lagi.
"Un-untuk ... hemp, begini kalau kamu ambil bunga itu, tandanya kita berpacaran," tegas Darren.
"Heuh?" Celine bingung.
"Iya, karena bunga itu untuk menyatakan cintaku sama kamu!" lanjut Darren. Dia mencoba menutupi rasa gugupnya.
"Kamu?" ucap Celine.
Darren tersenyum. "Hehe, kamu gak suka sama aku?" tanyanya.
"Ha ha ha... Apa ada orang yang melamar seperti itu?" tanya Celine.
"Habis, aku sangat gugup. Aduh, aku bahkan sempat berpikir kalau jantungku sedikit bermasalah," ucap Darren sambil menyentuh dadanya. "Jadi, kamu mau kan jadi pacarku?" tanyanya.
"Kalau aku jawab tidak bagaimana?" ucap Celine.
'Kenapa ayah dan anak ini sama? Ayahnya tadi juga berkata demikian. Ah, lupakan lah, mereka kan satu gen, jelas saja sama.' batin Darren.
"Ih, kamu malah bengong." Celine cemberut. "Aku mau kok jadi pacar kamu," ucap Celine.
"Apa? Kamu serius Celine?"
"Kenapa? Apa kamu tidak mengharapkan jawaban itu?" ucap Celine cemberut.
"Eh, tidak. Tentu saja aku sangat mengharapkan jawaban itu. Aku sangat mencintaimu." Akhirnya kata itu pun keluar dari mulut Darren, tanpa ia sadari.
Dan Celine pun tersipu, di susul oleh Darren yang juga ikut tersipu begitu menyadari apa yang ia katakan tadi.
Hingga akhirnya, mereka pun memulai kisah babak yang baru saat itu.
☘️☘️☘️
Celine Pov-
Saat itu, aku bingung harus bersikap seperti apa. Semuanya terlalu tiba-tiba, dan aku belum mempersiapkan diri. Bahagia, dan haru juga senang. Itulah yang aku rasakan! Aku menyadari, akan ada air bening yang keluar dari pelupuk mataku, tapi tidak mungkin kan, saat itu aku menangis? Apaan! Itu terlalu memalukan! Jadi, aku menutup dengan tertawa cekikikan.
Mungkin, yang dia lihat hanyalah tawaku yang mendadak terbahak-bahak. Hemp, seandainya dia tahu apa yang aku rasakan saat itu. Jantungku sudah tidak berada di posisinya lagi.
Bukan karena ragu, sehingga aku menjawab begitu lama. Tetapi karena ... sungguh hatiku sangat tidak bisa bekerja sama waktu itu. Dan ini pertama kalinya, jantung, hati, pikiran, mulutku tidak sejalan. Semuanya seakan saling berlomba mengajukan pendapat masing-masing.
"Ya, aku mau kok jadi pacar kamu!"
Aku tidak tahu, apakah sikap yang seperti itu paling tepat untuk menjawab sebuah pernyataan cinta. Namun, hanya seperti itulah yang aku bisa. Dan dimulai dari hari itu, kami pun saling bersama.
Dia pria yang sangat baik, penyayang, juga perhatian selalu dalam bentuk hal nyata, bukan hanya sekedar perkataan, seperti pria masa kini.
Di dekatnya, aku mampu merasa bahwa 'waktu' tidak lagi hanya bercerita tentang kebosanan! Karena, aku bahkan bisa melupakan tentang waktu yang berlalu ketika kita bersama.
Bersamanya, aku tahu apa itu arti sebagai 'Princess' yang sesungguhnya. Karena aku mendapatkan makna itu sejak bersama dia. Dia selalu memperlakukan aku seperti orang satu-satunya yang ada di dunia.
Aku sangat terpukau, bukan karena ketampanan parasnya. Seperti yang aku katakan di awal pertemuan kami 'masih lebih tampan boysband juga aktor Korea', tetapi 'terpukau' di sini ialah pada cintanya. Pada caranya memperlakukan aku, mencakup semua tentang perhatian yang memanjakan, tutur kata yang penuh kelembutan, juga kemanisan sikap, yang tidak bisa aku jabarkan.
Namun, dari semua itu yang paling membuat aku terpesona adalah, tentang perasaanku saat bersama dengan dia. Dengannya, aku begitu easy going person. Aku menjadi diri aku sendiri, tidak harus menjiplak orang lain untuk menarik hati juga perhatian.
Dia yang penuh cinta seperti itu tidak sebuah jaminan dari mulusnya sebuah kisah. Ada banyak hal di antara aku dan dia yang tidak bisa disatukan. Tembok itu terlalu tebal untuk ditembus. Baik aku juga dia, sudah berusaha untuk menembus penghalang itu, nyatanya ... tembok itu semakin menunjukkan ketebalannya.
Bersamanya, membuat aku sadar sekaligus tau apa itu arti perbedaan, bahwa ada yang seharusnya tidak bisa dipaksakan untuk menyatu, contohnya air dan minyak. Yang satu pemadam dan yang satu pembangkit. Maka, ketika menyatukannya hanya akan menyakiti keduanya.
Walau begitu, kesempurnaan yang aku dapat darinya, menciptakan aku sebagai orang yang egois. Yah, cinta jika bukan egois, berarti tidak cinta. Itulah istilah masa kini.
Aku tahu, ini akan sulit, tetapi aku tidak mempedulikan hal itu. Biarkan kita terus bersama, setidaknya hanya sampai rasa dihati masih tetap saling terpaut. Pikirku begitu, yang nyatanya cinta itu semakin mendarah daging.
Saat itu, adalah ke-15 bulan usia pacaran kami. Dia mengajakku ke rumahnya. Aku sangat ragu, tetapi aku juga menginginkan hal itu. Jujur saja, wanita mana yang tidak mengharap untuk bertemu orang tua dari lelaki yag dicintainya? Aku pun demikian.
"Sudah sampai!" ucap Darren, "Sebentar, aku parkir mobil dulu."
"Lho kok cepat?" tanyaku, "bukannya kamu bilang rumah orang tua kamu ada di jalan C, seharusnya memakan waktu 1.30 menit dari jalan A, kan?" lanjutku.
"Coba lihat watch kamu, sudah jam berapa?" kata Darren.
Aku melihat arlojiku. "Astaga ...! Memang benar perjalanan kita sudah menempuh 1.45 menit. Tapi tidak terasa. Hemp!"
"Ha ha ha... Memangnya kapan waktu terasa saat kita bersama?" balas Darren.
"Huh! Salahkan saja kamu yang tidak berhenti bicara, kan aku juga jadi terus bicara deh tanpa lihat waktu." Aku membela diri.
"Babe, sepertinya kamu lagi menceritakan dirimu sendiri lho ya. Ha ha ha..." ejek Darren.
"Oh, jadi hanya aku aja nih yang bicara, kamu gak, gitu?" kilahku, itu adalah jurus andalanku untuk membela diri.