Chapter 12 - Insult

"Oh, jadi hanya aku aja nih yang bicara, kamu gak, gitu?" kilahku, itu adalah jurus andalanku untuk membela diri.

"Ya benar, pelakunya kita berdua." Darren pun langsung keluar dari mobil. Saat aku akan membuka pintu, pintu mobil itu sudah dibuka oleh Darren terlebih dulu.

Itu adalah kebiaasan Darren, terlihat kecil sih, tetapi aku cukup tersentuh akan perbuatan kecil dari lelaki yang sangat aku cintai ini.

"Kenapa harus dibukain? Kan aku bisa sendiri!"

"Kan sekalian!" jawab Darren singkat. Dia memang tidak bisa berbicara manis.

"Ayo masuk. Mama dan yang lainnya sudah menunggu di dalam." Darren langsung memegang tanganku dengan sangat erat. Karena dia tahu, tanganku itu sudah keringat dingin.

Saat berada di ambang pintu, aku tiba-tiba berhenti.

"Ada apa?" tanya Darren.

"Emp ... aku sangat takut. Bisa tidak lain kali saja?"

Darren tersenyum manis. "Tidak apa-apa, percaya padaku. Okay?"

"Tapi bee?"

Ya, 'Bee' adalah nama panggilan sayang yang aku buat untuknya. Hemp, entah kenapa kata itu bisa aku pilih sebagai panggilan mesraku. Mungkin karena menurutku cukup simple/singkat tetapi banyak mengandung makna. Yaitu 'Lebah' dianggap tidak sempurna kalau dia tidak menghasilkan ekstrak madu. Dan Darren tidak akan sempurna kalau tidak bersama Celine. Tidak ada hubungannya, tapi aku merasa itu berkaitan. ☘️

Dengan langkah berat, aku dituntun Darren masuk. Berkali-kali dia mencoba memberi senyum untuk memenangkan aku dari kekhawatiran. Entah kenapa, baru kali ini aku meragukannya. Aku ragu kalau dia tidak bisa menyelamatkan aku saat ini.

"Mam, aku pulang!" ucap Darren masih sambil merangkul pundakku.

"Sayang, akhirnya kamu pulang juga," ucap seorang wanita yang masih tampak muda. Dan langsung memeluk Darren, dan Darren pun mencium punggung tangan wanita itu.

Dari perlakuannya, dapat kusimpulkan kalau itu adalah mama Darren.

"Ma, mana yang lainnya?" tanya Darren.

"Ada di meja makan, sudah menunggumu sejak tadi!"

Darren langsung menarik tanganku, berjalan.

"Loh?" ucap mama Darren yang masih tinggal di belakang.

Perkataan mama Darren itu membuat kami berhenti, lebih tepatnya Darren yang berhenti karena aku hanya mengikuti apa yang dia lakukan sejak tadi.

"Dia siapa?" tanya mama Darren lagi.

Darren tersenyum manis sambil mengedipkan sebelah mata sipitnya. "Mama akan tahu sebentar lagi!" Darren melanjutkan langkahnya.

Kami berhenti di sebuah meja makan yang luasnya bisa mencapai 10 orang. "Hai semua..!" ucap Darren ramah.

"Hai Pa," lanjut Darren, ia langsung berjalan ke arah lelaki separuh baya yang duduk di kepala meja.

"Duduklah dan makan, sudah lama sekali kita tidak makan bersama," ucap pria yang dipanggil papa oleh Darren.

"Siapa dia?" tanya mama Darren, namanya Linda.

"Oh iya, ini wanita yang tempo hari aku ceritakan sama Mama. Dia Celine, pacarku!" ucap Darren.

"Apa? Sayang, mami tahu kebanyakan wanita hanya kamu jadikan sebagai teman bersenang-senang. Jadi tidak perlu membawa mereka ke sini dan berpura-pura mencintainya. Itu sangat tidak lucu," ucap tante Linda, ia bahkan tidak peduli aku yang masih ada di situ.

"Mama ngomong apa? Aku serius dengan Celine Ma. Mama tidak bisa berbicara begitu!"

"Tidak perlu berpura-pura kak, kasihan dia. Kakak tidak mungkin menyukai anak yang masih umur 20 tahun."

Kali ini yang berbicara bisa kuduga, yaitu adiknya.

"Salsa, hentikan bicaramu!" pekik Darren.

"Di mana sekolahmu?" tanya papa Darren.

"Di universitas Prima Om," jawabku.

"Oh kamu kuliah ya?" tanya tante Linda, kali ini nadanya sudah mulai terdengar bersahabat.

"Iya Tante, semoga bisa sampai wisuda‚" balasku.

"Loh, kenapa begitu?" tanya tante Linda.

"Soalnya saya sambil kuliah Tante, terkadang jadwal kuliah dengan kerja itu saling bentrok‚" jelasku.

"Loh loh loh! Kamu umur 20 tahun bukannya kuliah saja yang benar malah kerja. Memangnya orang tua kamu tidak bisa menyekolahkanmu saja?" protes tante Linda.

"Mama!!" pekik Darren, "jangan bicara sembarangan!!" lanjutnya.

"Memangnya, apa pekerjaan orang tuamu"

"Mama sejak dulu hanya ibu rumah tangga dan bapak baru di-PHK 2 tahun yang lalu. Jadi aku memilih kuliah sambil kerja," jelasku.

"Apa?" Seketika meja langsung dipukul kuat. "Darren, apa maksudmu membawa wanita yang 'begini' ke rumah? Tidak memiliki apa-apa yang bisa diandalkan! Bahkan orang tuanya saja tidak bekerja!" bentak tante Linda.

Dup!

Aku merasa kalau jantungku berhenti berdetak, aku sangat terpaku mendengar apa yang dikatakan tante Linda. Bahkan saat itu aku lupa untuk bernapas, air mataku sudah mengalir.

"MAMA!!" pekik Darren, membuat aku sadar.

Segera setelah itu aku langsung pergi meninggalkan rumah Darren. Kehadiranku sungguh tidak diterima di sini.

Awalnya aku menduga, kalau Darren akan mengejarku. Ternyata tidak sama sekali. Aku memesan taxi dan benar-benar memutuskan untuk pergi.

☘️☘️☘️

Air mata terus membasahi pipiku, bahkan sampai di rumah. Aku menyeka air mata sebelum masuk rumah. Ternyata, hanya sebentar saja, dia pun mengalir lagi dengan deras. Mama sangat terkejut melihatku yang pulang dengan mata sembab.

"Nak, ada apa?" tanya mama penuh kasih. Namun, aku tidak menggubrisnya dan pergi langsung ke kamar.

Pukul 21.00 Wib.

Bunyi bel pintu membangunkan aku. Ternyata aku menangis sampai tertidur.

"Siapa sih yang datang malam-malam?" tanyaku, aku menyeka sisa butiran air mata yang masih tersisa di bulu mataku, lalu pergi membuka pintu.

Orang yang ada di ambang pintu itu cukup mengagetkanku. Dan dengan cepat, aku kunci pintu lagi.

"Celine tolong dengarkan aku. Kumohon!" ucap Darren.

"Pergilah, ini sudah malam."

"Aku tidak akan pergi kalau kita tidak bicara. Kumohon, ayo kita bicara. Ada hal penting yang harus aku bicarakan."

"Tidak ada yang perlu dibicarakan, pergi!!" ucapku.

Tiba-tiba aku melihat papa yang berdiri di ruang tamu. Dan tanpa sadar, aku melepaskan pintu yang aku tahan. Dan Darren pun masuk. Ekspresi papa sulit dibaca, aku menjadi takut. Aku pun langsung masuk ke kamar, meninggalkan Darren dan papa.

Sejak hari itu, aku tidak pernah melihat Darren lagi. Entah ke mana perginya hilang tidak berjejak!