Chereads / Cinta yang (tidak bisa) Kutinggalkan / Chapter 8 - Lunch Together

Chapter 8 - Lunch Together

"Emp ... apa kamu marah karena kejadian malam minggu itu?" tanya Darren pelan. Yah, dia telah memutuskan untuk memberanikan diri berbicara kepada Celine, karena itulah tujuan dia tiba-tiba datang ke rumah Celine tanpa mengabari terlebih dulu.

"Apa aku harus jawab dengan jujur atau bohong tetapi yang dicampur dengan kejujuran?" tanya Celine.

"Heuh?" Darren sedikit bingung dengan apa yang Celine katakan.

"Ten-tentu saja harus jawab dengan jujur."

"Tampaknya Bapak tidak serius meminta maaf!"

"Ha? Kenapa kamu mengatakan demikian? Dari mana penilaian itu datangnya?"

Celine cemberut. "Apakah itu masih perlu ditanyakan? Tanpa jawabanku juga pastinya Anda tahu aku marah atau tidak!!" pekik Celine.

"Iya, kamu benar. Itulah alasannya kenapa aku datang ke rumah kamu pagi ini. Aku sungguh mau minta maaf," sesal Darren. "Saat itu aku memiliki sesuatu yang sangat darurat, yang tidak bisa aku tinggalkan."

"Aku mengerti kamu memiliki kepentingan yang darurat, tetapi apa kamu tidak bisa menghubungi aku? Hanya 1 menit saja untuk mengetik kata 'batal pertemuan'. Apa tidak bisa waktumu seminit itu digunakan untuk mengabariku?"

"Ini? Aku yakin kamu tidak akan percaya dengan apa yang aku katakan, aku bukan lupa tentang janji kita, hanya saja saat aku mau mengabarimu ponselku mati. Aku charger, tetapi aku sampai kelupaan begitu saja karena aku terlalu serius menangani hal yang membuatku menahan pertemuan kita itu," jelas Darren, ekspresinya terlihat sangat menyedihkan.

"Hempp... Lupakan lah, aku jiga sudah tidak ingat tentang hal itu." Celine tersenyum kecil.

"Kamu tidak marah lagi kan?" tanya Darren, ia butuh kepastian.

"Iya, tidak marah lagi," balas Celine lembut. "Sebenarnya, aku tidak terlalu marah, aku hanya sedikit kecewa saja," lanjutnya.

ini akan menjadi kencan pertamaku, tetapi gagal begitu saja tanpa konfirmasi. Itu menyakitkan, dan membuatku cukup kecewa, batin Celine.

"Aku mengerti, aku juga paham kamu kecewa, aku bisa terima itu dan akan mencoba untuk menunjukkan kesungguhanku meminta maaf padamu," tekad Darren.

Celine tersenyum. "Tidak perlu lakukan hal apa pun, itu sungguh tidak penting. Aku benar-benar tidak mempermasalahkan hal itu lagi."

"Tidak, itu perlu! Dan aku akan melakukan itu," tekad Darren.

"Terserah kamu saja!" ketus Celine. Darren pun tersenyum bahagia.

Perjalanan mereka pun mencapai puncak yang dituju, yaitu kantor Celine.

"Turunkan aku di pinggir jalan ini saja, jangan sampai di depan gateway itu," pinta Celine.

"Memangnya kenapa kalau sampai di depan?" tanya Darren, "nanti kamu jalan lumayan jauh lho ini," lanjutnya.

"Tidak kenapa-napa. Aku hanya suka saja berjalan kaki," balas Celine berbohong.

Tidak mungkin kan, aku katakan kalau mobilmu terlalu mencolok, dan itu pengaruh buruk buat aku! batin Celine.

"Tapi aku tidak tega membiarkan kamu jalan begitu jauh." Darren tampak bersedih.

"Kalau tidak tega, cepat pulangkan motorku! Kalau aku naik motor, kan tidak harus aku jalan kaki seperti ini!" ketus Celine.

"Maaf, tetapi montir itu belum mengabari aku sudah selesai di repair atau belum. Tapi nanti coba aku check langsung ke workshop itu, untuk melihat perkembangannya."

"Ya harus, Papa-ku sudah bertanya-tanya, terbang ke mana motorku itu! Itu motor yang aku beli dari hasil kerjaku. Tidak ada suntikan dana sedikit pun dari orangtua ku untuk itu dan itu juga belum lunas," ungkap Celine.

Puufff!!! Darren tertawa kecil.

Hal itu membuat Celine bertanya kesal. "Ada apa?"

"Tidak, aku hanya merasa lucu saja melihat wajah kamu yang tampak kesal."

"Huh, dasar! Itu juga karena Bapak. Kenapa tidak sadar sih!"

"Ha ha ha... maafkan aku. Aku tahu ini kesalahanku, aku akan memperbaikiny. Dan tolong, jangan panggil aku Bapak ketika kita tidak saat membahas pekerjaan. Panggilan itu terlalu membuat jarak di antara kita, padahal aku merasa kita ini adalah teman."

"He he he... Baiklah, maafkan aku 'Darren'." balas Celine, menekankan perkataan saat mengucapkan nama Darren.

Dipanggil dengan jelas dan adanya penekan seperti itu, berhasil membuat Darren tersipu. Wajahnya kini berubah menjadi kemerahan.

Celine melihat hal itu, karena Darren terlalu mencolok saat mencoba menyembunyikan wajahnya.

"Huh, apakah Ac-nya tidak jalan?"-Celine mendekatkan tangannya ke air outlet yang ada di depannya-"berfungsi dengan baik, lalu apa yang panas? Kenapa muka kamu merah? Apa kamu demam?" tanya Celine polos.

"Ah tidak, mungkin hanya sedikit pusing saja."

"Sejak kapan pusing itu membuat wajah jadi merah?"

"Eh, bukan ya? Salah lagi!" balas Darren sambil tertawa kecil dibuat-buat.

"Jadi, kamu kenapa?" tanya Celine.

"Tidak kenapa-napa, aku baik-baik saja."

"Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu. Terima kasih karena sudah mengantarku," ucap Celine sambil memberikan senyum terbaiknya.

Ya senyum manis Celine itu memang mampu menghipnotis setiap insan yang melihatnya. Senyum manis yang menampakkan adanya ketulusan dan kebersihan hati di dalamnya. Dan jujur saja, senyum itu yang sudah membuat Darren terpesona pada pandangan pertama. Sungguh sesuatu hal yang sangat istimewa, bila di ingat.

Baru saja Celine akan membuka pintu itu, dengan cepat Darren mencegahnya. "Eh tunggu!!" ucapnya.

Hal itu membuat Celine kembali duduk di kursinya. "Ada apa lagi?" jawabnya lembut.

"Nanti siang, bisakah kita lunch bersama?" pinta Darren.

Celine mengangkat alisnya. Seakan ingin bertanya maksud Darren yang lebih spesifik lagi.

"Maksudku, kita makan bersama di luar office kamu. Kebetulan aku ada janji temu di gedung mall ini, setelah lunch."

"Emp ... lihat nanti saja ya, aku tidak bisa menjanjikan apa pun sekarang."

"Kenapa?" tanya Darren cepat.

"Siapa yang tahu nanti ini akan batal tanpa konfirmasi," sindir Celine.

"Tidak, itu tidak mungkin terjadi. Aku janji, kali ini pasti akan aku tepati. Tidak akan pernah ada batal pertemuan tanpa konfirmasi lagi," jawab Darren dengan mantap. Terlihat kesungguhan di dalam matanya.

"Ya aku mengerti, tetapi memang aku belum bisa menjawab hal ini sekarang. Aku hanyalah karyawan rendahan, aku bahkan baru saja menyelesaikan magangku. Tentu saja aku tidak memiliki kendali untuk menentukan itu. Dan aku perlu surat izin keluar," ungkap Celine.

"Apa perlu aku bantu untuk minta izin pada Bu Susan?"

"Heuh??" Celine terkejut ketika Darren mengatakan hal itu dengan sangat percaya diri.

"Eh malah bengong. Mau aku bantu untuk mendapatkan izin dari Bu Susan tidak?" ulang Darren.

"Kenapa kamu sangat yakin kalau Bu Susan akan mendengarkan kamu?" tanya Celine.