Chapter 2 - A destiny's

"Ini semua hasil sales juga perbandingan PO selama 3 bulan terakhir dari TO brand," ucap Celine sambil menyerahkan dokumen yang diberikan Susan sebelum pergi.

"Kelihatan Ibu masih muda," ucap supplier itu, dan kembali melihat isi dokumen itu. Seakan lupa bahwa dia baru saja bertanya sesuatu hal yang pribadi bagi Celine.

Sudah tahu aku muda, masih panggil ibu! Apa aku ini pernah menikah dengan Ayahmu, batin Celine.

"Apa Ibu sedang mengutuk saya dalam hati?"

Pertanyaan dadakan itu membuat Celine tanpa sadar hampir melompat dari kursinya.

Dan sialnya, sekali lagi pria itu bisa bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa dan tetap tenang membaca laporan penjualan itu.

Dasar laki-laki abnormal, sudah berbicara omong kosong masih saja bisa bertingkah seolah tidak mengatakan hal apa pun! Malah aku hampir terjatuh lagi, batin Celine.

"Tahun ini, Ibu berusia berapa tahun?" tanya suplier itu lagi.

Kenapa orang ini malah bertanya hal yang di luar pekerjaan, bukan seharusnya dia bertanya tentang produknya yang tidak jalan di pasaran? batin Celine.

"Ekhem!" Celine berdeham.

"Sepertinya kita perlu melakukan interview perkenalan diri," saran Celine. "Apa kita harus menunda membahas dokumen-dokumen ini Pa-"

"Darren ...!" ucap pria itu tiba-tiba menyela perkataan Celine. "Kamu bisa memanggil saya dengan nama!" lanjutnya tersenyum.

Celine merasakan darahnya mendidih karena kehangatan suasana itu.

"Apa saya bisa memanggil kamu Celine, atau tetap dengan panggilan formal-ibu-"

"E-eh, panggil senyamannya Ba-"

Sekali lagi Darren dengan cepat menyela perkataan Celine. "Dar--ren!" ucapnya terpisah.

"Baiklah ... Dar-ren!" balas Celine kikuk. 

"Ha ha ha... Tidak perlu kaku seperti itu, saya ini manusia asli loh. Bukan siluman atau sejenis iblis."

Mendengar hal itu, Celine pun ikut tertawa. "Selera humormu sangat buruk!"

"Oh ya? Lalu bagaimana humor yang baik?"

"Eh?" Kembali lagi Celine kikuk.

"Ha ha ha...! Liat, sejak tadi kamu selalu saja kikuk, apa seperti itu selera humor yang baik?" tanya Darren sambil menyipitkan sebelah matanya. 

DEG! 

Apa-apaan ini? batin Celine. Jantungnya tidak karuan ketika melihat lelaki itu berkedip.

Sial! Dia tampan sekali! Tuhan aku ingin dia, boleh? batin Celine lagi.

Entah didorong oleh apa, Celine yang tidak tahu apa itu tentang cinta-karena belum pernah merasakannya-bisa mengucapkan doa itu dalam hatinya, yang sebenarnya dia juga tidak tahu, apa itu arti dari kata aku ingin dia, tapi doa itu mengalir begitu saja.

"Hei, kenapa diam? Apa ada yang salah?" tanya Darren.

Celine hanya menggeleng, matanya menatap keluar dan dengan bebas menyaksikan hikuk pikuknya sebuah jalan raya besar di kota metropolitan.

Ada juga untung juga aku memilih tempat duduk di sini, aku bisa melihat keluar sambil menetralkan jantung, batin Celine.

Darren melirik Celine dengan ekor matanya, dia melihat wanita itu terlalu menikmati apa yang dilihat. Hal itu membuat Darren ikut melihat, apa yang menjadi objek pemandangan wanita yang di depannya itu. 

Apa jalan raya lebih menarik dari pada wajahku? batin Darren.

"Tidak ada apa pun yang menarik, kenapa sangat serius begitu?" cibir Darren pelan. Namun, cukup berhasil membuat Celine terjaga.

"Eh, maaf. Apa kamu bicara denganku?" tanya Celine gugup.

Bodohnya dirimu Celine, apa yang kau lakukan? Ini jam kerja! batin Celine mengutuk dirinya. 

"Kalau bukan padamu, lantas apa kamu pikir aku ini suka bicara sendiri?"

Ck ... dia sangat cerewet! Aku gak mau dengan dia, batin Celine. Tapi Celine segera mengutuk dirinya, begitu sadar akan apa yang diucapkan tadi. 

Bodoh!! Memangnya kau pikir, dia mau samamu? Percaya diri sekali kau. Jangan-jangan yang ada, nanti dia malah melaporkan tindakan konyolmu ini, bagaimana kau sangat tidak telaten, batin Celine.

"Hemp ... diam lagi?" tegur Darren.

"Emp ... apakah ada yang ingin kamu tanyakan?" tanya Celine, "maksudku, tentang seputar pekerjaan ini."

"Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan. Tapi-" Darren menghentikan perkataan.

Hal itu membuat Celine menyerngit kan dahinya.

Darren tersenyum melihat Celine yang nampak kesal. "Tapi tentang dirimu!" lanjut Darren, menekan ucapan di akhir kata.

Celine menunjuk hidungnya. "Aku?" tanyanya heran. 

"Bukannya tadi kamu yang menawarkan agar kita melakukan interview perkenalan diri?"

"Heuh?"

"Jangan bilang kamu sudah lupa? Padahal kalau dilihat, umurmu masih sangat muda. Secepat itu kah bisa lupa dengan apa yang dikatakan?"

"Eh,"-Celine menggigit bibir bewahnya-"tapi kita saat ini lagi kerja. Hemp!"

"Apakah ada yang salah dengan itu?" tanya Darren. "Emp ... maksudku, apakah salah kalau kita menjadi saling dekat? Kita ini memiliki hubungan kerja sama, perusahaan tempat aku bekerja dengan perusahaanmu itu saling bersatu. Kenapa kita tidak bisa?"

Celine membelalakkan matanya, ingin mencari maksud dari perkataan Darren.

"Eh... Aduh, gimana bicaranya ya?" kini Darren yang kikuk. 

Hal itu menimbulkan tawa geli Celine. 

Pppffff...!

Tanpa sengaja, suara itu pun keluar dari mulut mungil Celine.

Menyadari tingkah bodohnya, Celine pun kembali bersikap normal. "Eh- itu ... maaf," ucapnya dan langsung menggigit bibir bawahnya, agar tidak tertawa lagi. 

"Maksud saya itu ... begini, tidak salah bukan, kalau kita itu saling mengenal?" Darren semakin kaku, apalagi melihat Celine yang menunggunya untuk meneruskan perkataan sambil mengangkat alisnya ke atas. 

"Kalau kita tidak saling mengenal bagaimana kita bisa melakukan kerja sama. Saya rasa, tidak ada hal yang salah, itu wajar jika kolega saling mengenal," Darren memperjelas.

"Oh..." jawab Celine singkat. 

Padahal aku berpikir kalau dia menyukaiku, batin Celine.

"Dari yang aku lihat, kamu masih muda. Berapa usiamu?"

"Emp ... 18 tahun," jawab singkat Celine.

"18...?" ulang Darren.

"Iya, kenapa?"

"Bukankah harusnya kamu itu masih sekolah? Masih harus menikmati pendidikan di universitas."

"Aku tidak suka sekolah," jawab cuek Celine, padahal sesungguhnya hatinya sangat sakit mendengar apa yang pria itu katakan.

Bukan inginku juga untuk tidak sekolah, batin Celine.

Author Pov.

Celine Eliasson adalah seorang gadis balia yang baru saja menyelesaikan sekolah menengah atas (SMA) beberapa bulan lalu, tetapi karena masalah ekonomi keluarga, di mana sang ayah di PHK dari perusahaan yang menjadi sumber nafkah keluarga. Membuatnya membatalkan niat untuk melanjutkan sekolah ke Universitas impiannya.

Ya walaupun tidak bisa pergi ke universitas impiannya, tetapi itu tidak lantas membuat ia menyerah akan keadaan yang sedang menyapa.

"Tidak masalah kalau harus tidak pergi ke Universitas impian, yang penting aku bisa tetap sekolah," gumam gadis itu menyemangati diri sendiri, sehingga membuatnya mengambil sebuah tindakan besar dalam hidup, yaitu sekolah sambil bekerja. 

Beruntungnya, gadis itu diterima bekerja di sebuah perusahaan 'Retail' terbesar di Indonesia, sehingga dia bisa mewujudkan mimpi untuk terus bersekolah.