Hari pertama jadi mantu, aku udah bikin malu mertua. Manten anyar bangun kesiangan mending kalo abis skidipap malemnya. Lah ini karena emang susah bangun pagi. Dahlah rusak citra gue di mata mertua 😫.
Mana laki gue udah berangkat ke kampus dan gue ditinggal. Dasar laki lucknut!!
"Sialan!! Bangunin gue kek. Malah ditinggal. Argh!! Laki nyebelin!!"
Aku buru-buru mandi dan bersiap-siap sebelum berangkat ke kampus. Muka cuma ditempelin bedak tipis doang karena ngga sempet skincare-an dulu. Pake foundation aja ngga sempat. Yang penting ngga keliatan kucel aja abis mandi.
Pagi ku semakin suram saat buru-buru lari turun di tangga, kaki kejelipet dan berakhir terjun bebas ke lantai satu.
"Aaaargh!!" Ringisku karena nyeri di dada, perut dan kaki karena bergesekan sama anak tangga.
Bukan nyeri lagi yang dirasa tapi malu luar biasa. Lobang mana lobang!!
"Ya ampun Laras. Kenapa buru-buru. Jadi jatuh kan," seru Ibu sambil membantu ku berdiri.
Aku hanya bisa meringis nyeri sekaligus malu luar biasa. Malu karena jatoh dari tangga sama malu karena bangun siang. Dahlah imahe gue makin tenggelam ke dasar Samudra Hindia.
"Kita ke dokter."
"Ngga Bu. Ngga usah. Laras mau ke kampus aja. Hari ini hari pertama ujian," ucapku baru menyadari kalau hari ini hari pertama ujian tengah semester dan gue belum belajar sama sekali.
"Double kill!!" Rutukku dalam hati.
Gara-gara nikah gue lupa segalanya. Ah... Mama tolonglah anak mu yang oon ini 😩😩.
"Tapi kamu habis jatuh dari tangga. Kita periksa dulu ya. Ibu ngga mau kamu kenapa kenapa, Ras."
"Gpp Bu nanti aja. Laras mau ujian dulu. Abis pulang ujian nanti Laras ke rumah sakit untuk periksa."
"Nanti Ibu bilang sama Mas mu kalau kamu absen dulu ujiannya karena mau periksa ke dokter." Terlihat Ibu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja.
Wadoh... mampus gue! Jangan sampai laki dakjal itu tahu kalo gue jatoh dari tangga. Bisa kesenengan dia lihat penderitaan gue.
"Bu... Ibu jangan dong. Jangan kasih tahu Mas Eza kalo aku jatuh. Nanti dia ngga konsen ngajarnya. Lagian Laras ngga apa kok. Tangan kaki aman ngga ada yang sakit atau cidera. Laras pamit ya bu. Nanti makin telat."
Aku memohon ibu biar mengijinkan aku untuk pergi ke kampus. Dengan berat hati Ibu mengijinkan dengan syarat pulang kampus harus ke rumah sakit secepatnya. Aku pun pamit ke kampus dengan menggunakan motor matic milikku yang sebelumnya sudah berada di rumah ini.
***
"Sisa waktu kalian 30 menit lagi."
Aku melirik ke arahnya yang tengah berjalan mengelilingi para peserta ujian. Insiden jatuh dari tangga membuat konsentrasi ku buyar. Rasa nyeri di tubuhku makin membuat moodku ambyar.
Ujian statistika di hari pertama memang kartu mati. Kenapa yang duluan keluar ujian itu mata kuliah yang paling berat sih?! Kenapa ngga di mulai dari mata kuliah yang ringan ringan dulu.
Otak ku paling lemah jika harus berhadapan dengan yang berbau itung-itungan.
"Cepat kerjakan ujian mu. Bukannya malah menggerutu ngga jelas. Waktunya udah mau habis," ucapnya berbisik dan membuatku terkejut.
Pria menyebalkan itu ternyata berdiri tepat di belakang ku. Ia mengetuk kertas ujian ku yang masih banyak yang kosong. Aku mendelik sebal.
"Bantuin ngisi napa?!"
"Anak TK aja suruh ngerjain sendiri. Ini minta diisiin. Balik ke TK lagi sana!"
Dia melengos begitu saja. Awas ya!!
Hingga bel berbunyi kertas ku masih banyak kosongnya. Dahlah aku dan mata kuliah Statistik memang tidak berjodoh.
"Selesai tidak selesai kumpulkan," ucapnya lagi sambil membereskan lembaran kertas para mahasiswa. Setelah menunggu beberapa saat, aku pun turun dari kursi ku dan menyerahkan kertas ujian. Ia mengerutkan dahinya melihat kertas ujian ku yang masih banyak kosongnya.
"Biasa aja lihatnya. Udah tahu kok gue bakalan di remedial," ucapku kesal melihat tatapannya yang menyebalkan.
"Remedial juga percuma kalo kamu ngisi soalnya kayak gini."
Tahan Yu tahan. Dia sengaja bikin hari lo makin ambyar, gumamku dalam hati.
Aku pergi meninggalkan kelas dan segera pulang. "Ayu, tunggu."
"Kak Rafa," ucapku melihat sosok senior ganteng incaran ku. "Hai Kak."
"Hai. Gimana ujiannya, lancar?"
"Hehe... ya gitu deh kak. Kak Rafa gimana ujiannya?"
"Lancar. Moga moga ngga remedial."
"Kak Rafa mah mana pernah remedial. Emangnya aku remedial statistik mulu."
Tanpa sadar ku tundukkan kepala karena sadar diri. Kak Rafa mengelus rambutku dan itu membuat ku tersipu malu.
"Kamu pasti bisa kok Yu. Kalau kamu butuh bantuan kami bisa cari aku."
Mata ku berbinar-binar mendengarnya. Wajahku yang semula sendu mendadak ceria. "Yang bener Kak? Aku mau dong diajarin Statistik."
"Boleh dong."
"Wah makasih banyak Kak. Eh tapi nanti ketahuan dong oonnya aku ngerjain statistik."Rafael tertawa.
Sumpah demi apa gue terpana melihat senyumnya Kak Rafa. Anjiiir gunung es di kutub utara langsung mencair.
Dedek memeleh Bang lihat tawanya Abang 🤤🤤
"Kalian belum pulang?" Seru seseorang yang langsung membuat suasana ceria menjadi mencekam. Siapa lagi kalo bukan si dosen killer.
"Pak Eza. Selamat siang Pak."
"Siang. Ngapain kalian masih di kampus? Masih ada kegiatan lain?"
Mendengar nada bicaranya yang dingin sepertinya dia tengah menatap ke arahku. Tapi bodo amat. Mending menatap wajah tampan Kak Rafa di banding menatap muka dosen Killer.
"Kak Rafa ngapain sih pake di jelasin segala,ck!" Gumamku dalam hati.
"Kami permisi dulu Pak." Aku langsung menarik tangan Kak Rafa untuk pergi menjauh.
Bodo amat itu orang mau ngomong apa nanti. Yang pasti gue ngga mau lama-lama deket si dosen killer. Cukup di rumah aja kepaksa deketan. Di kampus no way!!
Aku dan kak Rafa berjalan keluar kampus. Tiba-tiba sebuah notif masuk ke ponselku.
Dosen Killer.
[Berani kamu gandeng-gandeng cowok lain di depan suami?!]
Nah kan!!
[Oh ngaku suami toh. Ku kira ngga ngaku kalo udah jadi suami. Ngga usah baper deh. Orang mau belajar Statistik.]
Aku membalas pesan Mas Eza sambil tahan tawa. "Kenapa? Senyam senyum sendiri," tanyanya.
"Oh gpp Kak. Yuk mau belajar dimana?"
"Di cafe belakang kampus aja, gimana?" Usulnya membuat otak ku berpikiran dia lagi ngajak kencan tapi modus mau bantuin belajar.
Ya Allah. Jangankan ke cafe Bang. Ke hati Abang aja neng mah mau 😂.
"Atau di perpus aja kalau ngga mau di Cafe," usulnya lagi. "Di cafe aja kak gpp. Di perpus kalo laper ngga bisa pesen makanan."
Lagi lagi dia tertawa. "Oke deh. Kita ke Cafe belakang kampus aja ya."
"Oke kak."
Kami pun pergi menuju cafe belakang kampus sambil jalan kaki. Pengen banget dibonceng motor gedenya tapi malu. Ya udah jalan berdua sambil ngobrol juga seru. Ya allah... semoga gue konsen belajarnya ya.