Pukul 19.00 wib.
"Dari mana aja kamu jam segini baru pulang," suara beratnya mengagetkan ku yang baru saja pulang setelah belajar bareng Kak Rafa. Aku hampir terpeleset gara-gara dia muncul dari balik pintu kamar.
"Kkamjjagia!!" ucap ku sambil memegang dada. "Ya ampun bikin kaget aja!" Dengan reflek aku menggunakan bahasa korea yang ku dapat dari serial drama korea yang rutin ku tonton selama ini.
"Dari mana kamu jam segini baru pulang?"
"Abis belajar lah. Ngapain lagi emangnya," jawab ku cuek. Aku meletakkan tas ku di meja belajar yang sudah tersedia di kamar.
"Belajar apa pacaran?!" Tudingnya membuatku kesal. Aku balikkan tubuhku menghadapnya. Kedua tangan ku lipat di depan dada. Mataku tak kalah menyelidik dari matanya.
"Kalau belajar kenapa? Kalo pacaran kenapa? Kalao belajar sambil pacaran kenapa? Ada masalah?!"
"Kamu ya!!"
"Kenapa sih rempong amat. Ngapain juga Mas ngurusin urusan aku. Kita udah bikin perjanjian sebelum nikah untuk tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing. Jadi, ku harap Mas Eza ngga usah rempongin apa yang ku lakukan," ucap ku kembali mengingatkan perjanjian yang kami buat sebelum menikah.
Dia masih terus menatap ku. "Lagian aku beneran cuma belajar sama Kak Rafa. Kalo ngga percaya silakan tanya orangnya langsung," ucap ku menjawab segudang pertanyaan yang ada di benaknya.
"Jika Mas takut aku berbuat sesuatu yang membuat keluarga malu, tenang aja. Aku cukup tahu diri dengan statusku. Meski kita menikah tanpa ada rasa sama sekali, aku juga tidak mau membuat masalah yang nantinya akan menyeret Mas ke dalam masalah."
"Bagus kalo kamu paham status mu. Tapi tetap saja kamu pulang malam, Ayu. Kamu juga tidak mengabari ku sama sekali." Nadanya masih terdengar datar tapi yakinlah saat ini dia sedang menahan amarahnya. Aku bisa merasakannya.
"Oke untuk itu Ayu minta maaf. Handphone ku mati habis baterai. Charger Kak Rafa beda sama punya Ayu jadi ngga bisa pinjam."
Terdengar helaan nafas beratnya. "Lalu kamu pulang sama siapa tadi?"
"Di antar Kak Rafa."
"Apa?! Dia antar kamu ke sini!"
"Bukan. Bukan gitu Mas. Kak Rafa antar Ayu pulang ke rumah Mama. Tapi habis itu dia langsung pergi kok. Ngga masuk ke rumah. Ayu juga langsung cari taksi untuk pulang kesini."
Ya.
Tadi aku sempat bingung mau pulang kemana. Sudah jelas pindah rumah tapi kan ngga mungkin ngasih tahu alamat rumah ku yang baru. Secara beberapa mahasiswi mahasiswa pernah datang ke rumah Mas Eza untuk bimbingan. Salah satunya Kak Rafa.
Ya kali gue gali kuburan sendiri. Apa kata Kak Rafa nanti.
Ya mau ngga mau kan aku minta di antar pulang ke rumah mama.
Aku tak berani menatap wajahnya yang sangar. Kepalaku tertunduk, tidak seperti tadi berani menatap matanya yang garang. Aku tidak mau membela diri karena memang aku yang salah.
"Lain kali kasih kabar. Biar nanti kalau Ibu tanya aku bisa jawab," ucapnya kali ini jauh lebih tenang. Aku berani menatapnya.
"Ibu tanya Ayu, Mas?"
"Ngga. Untungnya Ibu lagi ke rumah Bude Marni. Kamu beruntung kali ini."
"Ya ampun bikin takut aja. Ayu udah was was tahu."
"Sana mandi dulu. Terus siapin makan malam. Aku udah kelaperan."
"Apa?! Masak maksudnya?!"
"Iyalah. Memangnya mau ngapain?"
"Ayu ngga bisa masak Mas. Kita beli makanan diluar aja ya."
"Ngga. Aku benci masakan buatan orang lain. Udah buruan mandi. Aku tunggu di bawah." Dia melengos begitu saja.
"Mampus. Mau masak apa gue? Masak air aja ampe gosong itu panci. Haduuuhh!!" Aku buru-buru membersihkan tubuh ku lalu segera menyusulnya.
Ku lihat pria menyebalkan itu sedang duduk santai menonton tv. Ia melirik ku sekilas. "Tumben pake baju tidurnya bener."
"Ck... Masih aja bahas baju tidur. Ganggu kesenangan orang aja!"
"Buruan masak. Aku laper."
"Kenapa ngga beli aja lewat gojek sih. Ayu ngga bisa masak Mas. Memangnya mau dimasakin apa?"
"Terserah. Kamu lihat aja di kulkas ada bahan apa aja. Jangan lama-lama. Perut aku udah keroncongan dari tadi."
Aku mendengkus kesal. Ku langkahkan kaki menuju dapur. Ku buka pintu kulkas dan ku lihat isinya. Penuh dengan bahan bahan makanan yang siap di olah. Kepala ku pusing memikirkan menu yang akan ku masak.
"Gini nih kalo disuruh Mama bantu masak tapi kagak mau. Kagak tahu kan mau masak apa buat laki," dumel ku.
"Coba telepon Mama ah." Aku mengotak-atik ponsel menghubungi Mama. Setelah menunggu beberapa saat mama pun mengangkat telepon ku.
"Halo Ma." Terdengar berisik dari seberang sana.
"Ya dek."
"Ma... Mama dimana? Bisa bantu Ayu ngga?"
"Hah?! Kamu bilang apa?! Mama lagi di acara ulang tahun temen Papa. Berisik banget."
"Ma Mas Eza minta dibuatin makan. Ayu ngga tahu mau masak apa. Kan ngga bisa masak Ma."
"Makanya kalo disuruh bantuin masak tuh nurut. Udah nikah aja rempong minta di ajarin masak."
"Iya iya menyesal. Ayo dong bantuin Ayu masak Ma."
"Aduh mama lagi riweuh ah. Udah dulu ya. Ngga enak ini Mama terima telepon lama-lama."
"Eh.. Ma tunggu dulu dong." Tuuut...tuuut...tuuut
Mama memutus sambungan teleponnya. "Ih si Mama malah di matiin!"
"Udah mulai belum masaknya. Lapar nih," teriak Mas Eza dari ruang tv. "Belum Mas."
"Duh buruan dong."
"Ih ngga sabaran banget sih. Udah tahu bini kagak bisa masak."
Aku mencoba mengorek apa yang ada di dalam kulkas. Akhirnya menemukan ayam yang sudah diungkeb. Senyumku mengembang karena menemukan makanan yang tinggal di goreng.
Aku mengambil beberapa potong untuk di goreng. Kalo soal goreng menggoreng aku bisa. Cuma goreng doang mah gampang lah. Kurang dari setengah jam menu makan malam seadanya telah siap di meja makan.
***
"Gimana Mas? Enak ngga?"
"Hm..."
"Hmm apaan? Enak ngga?"
"Enak karena ayamnya buatan Ibu." Ingin sekali ku pukul kepalanya tapi ku tahan. Tapi emang benar sih ayamnya buatan ibu tapi yang goreng ayamnya bukan ibu tapi aku. Tetap ngeles.
"Ayamnya emang buatan Ibu tapi kan ada sambelnya. Aku loh yang buat sambelnya."
"Halah paling pake sambal kemasan kan."
"Ngga lah. Enak aja. Aku sendiri yang ngulek sambelnya. Kalo bikin sambel doang mah aku jagonya." Aku menyombongkan diri di hadapannya dalam membuat sambel.
Kepalanya mengangguk-angguk. "Okelah sambelnya juga. Pedesnya pas." Mendengar pujiannya membuat ku melambung di angkasa. Gpp deh bohong juga yang penting di puji.
"Iya kan. Sambel buatan aku ngga ada tandingannya. Tadinya aku mau bikin pedes banget tapi takut Mas ngga suka pedes. Makanya ku buat sedang aja pedasnya."
"Ini cukup. Lebih dari ini aku ngga bisa."
"Hm... cemen."
Tanpa kami sadari, ini adalah obrolan kami yang terpanjang dan terakrab selama kami saling mengenal. Memang awalnya dia orang yang sangat menyebalkan tapi sebenarnya dia hanya ketus saja. Tidak semenyebalkan yang ku pikir.
Tapi tetap menyebalkan sih.