Pria itu menusukkan belati itu diperut ramping wanita itu yang tidak tertutup sehelai kain.
Wanita itu berteriak kesakitan saat belati itu menusuk perut rampingnya.
"Aaaa," teriak wanita itu dengan air mata yang membasahi kedua pipinya, berharap agar pria dihadapannya ibah.
Melihat hal itu, pria itu bukannya ibah pada wanita itu, ia hanya menyeringai dibibir seksinya membuat wanita itu semakin gemetar ketakutan.
"Sangat merdu sekali teriakanmu itu, aku ingin mendengarnya lagi dan lagi," ucap pria itu dan menarik belati itu dari perut ramping wanita itu dan menusukkannya berulang-ulang, hingga ruangan itu dipenuhi dengan suara jeritan kesakitan dari wanita itu.
Tiga puluh menit kemudian.
Ruangan itu kini sunyi senyap, sudah tidak terdengar suara jeritan dari wanita itu.
Pria itu menatap wanita diatas tempat tidur itu yang sudah tidak bernyawa lagi dengan tusukan di mana-mana, bahkan wajahnya sudah dialiri darah segar.
Pria itu tersenyum bangga dengan karya yang ia buat ditubuh wanita itu, hasil tangan dan belati kesayangannya.
"Cantik sekali," ucapnya dengan seringaian dibibir seksinya.
Ia berjalan kearah kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang sedikit tercium aroma darah, yang sebenarnya sangat berat untuk ia hilangkan, karena ia menyukai aroma itu.
Lima belas menit kemudian.
Pria itu keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit pinggangnya, hingga terlihat perus Sixpack yang membuat semua wanita tergiur untuk berada dibawahnya.
Tapi jika tau sifat aslinya, mungkin mereka akan berfikir 1000 kali untuk mengulang ucapan mereka.
Pria itu segera memakai pakaiannya untuk segera keluar dari kamar itu, ia tidak ingin lama-lama melihat wajah jala*g diatas tempat tidurnya.
Lima menit kemudian.
Pria itu berjalan keluar dari kamar dan segera meraih benda pipih yang ia sedari tadi bergetar diatas meja.
"Kenapa?" ucapnya to the point.
"Maaf tuan, menganggu anda. Saya ingin mengatakan jika kita memiliki masalah soal penyeludupan senjata api ke negara M tenganggu," ucap pria diseberang telfon yang tidak lain adalah Danil Lorenzo sekertaris sekaligus asisten pribadi Leon.
Wajah Leon yang tadinya tersenyum puas setelah melakukan kegiatannya, kini berubah menjadi datar dengan tatapan mata dingin.
"Kenapa hal itu bisa terjadi? bukankah seharunya baik-baik saja?" ucap Leon yang kini berjalan mendekat kearah bawahannya yang sudah menunggunya sedari tadi diluar ruangan tempat ia melakukan hal itu.
Leon memberi isyarat pada bawahannya itu, untuk melakukan tugasnya dan dengan cepat pria berjas hitam itu melangkahkan kakinya masuk kedalam kamar itu.
"Seharusnya baik-baik saja, Tuan. Tapi ternyata ada sekelompok penganggu yang berniat untuk mengagalkan penyeludupan yang kita lakukan dan sepertinya akan memakan waktu yang lama untuk mengurus mereka," ucap Denil diseberang telfon yang membuat Leon berdecak kesal.
'Sial*n!' umpat kesal Leon dalam hati.
"Segera selesaikan hal itu dengan cepat, jangan sampai aku harus turun tangan," ucap Leon penuk penekanan disetiap kata-katanya.
"Baik Tuan!" ucap Denil dan Leon pun mematikan panggilan sepihak.
Leon menatap bawahannya yang keluar dari kamar itu dengan tatapan sulit diartikan, terutama pada bungkusan sprei yang dibawah pria itu yang berisikan wanita yang ia bunuh tadi, demi memuaskan hasrat psycopatnya.
Leon menghembuskan nafasnya dengan memukul dinding dengan kesal, ia baru saja menuntaskan hasratnya dan merasa senang, kenapa setelah itu ia harus mendengar kabar menyebalkan seperti itu.
'Jika penyeludupan itu gagal, hal itu bisa membuat kerugian besar, jika Denil tidak bisa menyelesaikan hal itu dengan cepat, maka akan ku cincang orang itu,' ucap Leon kesal dalam hati.
Leon berjalan dengan kesal kearah kamarnya untuk segera menangkan fikirannya sebelum hasrat psycopatnya muncul lagi, akan sangat sulit mencari pelampiasan dijam seperti sekarang, ia tidak mungkin melampiaskannya pada bawahannya.
* * *
Seorang wanita mengeliat dibawah selimutnya dengan tangan yang mencoba mencari sesuatu yang berbunyi sedari tadi, mengangguk tidur nyenyaknya.
Tidak kunjung mendapat benda yang berbunyi itu dengan berat hati, ia membuka matanya dan melihat benda yang berbunyi itu, yang menunjukkan pukul 6:30 pagi.
Wanita itu membulatkan matanya dengan sempurna dan segera beranjak dari tempat tidur, berlari kecil kearah kamar mandi untuk segera membersihkan diri.
"Sial, harus cepat!" ucap wanita itu, yang tidak lain adalah Clara.
Lima belas menit kemudian.
Clara keluar dari kamar mandi dan dengan cepat berjalan kearah lemari pakaiannya. Clara membuka lemari pakaiannya dan segera memilih baju yang akan ia kenakan hari ini.
Delapan menit kemudian.
Kini Clara telah selesai memakai pakaiannya dan segera berlari keluar dari kamarnya, untuk segera sarapan pagi bersama sang ayah dan pergi kebutik miliknya.
"Pagi, Dad," sapa Clara pada Thomas yang duduk dimeja makan dengan memakan sarapan paginya.
"Pagi sayang," ucap Thomas dengan tersenyum.
Clara meraih 2 buah roti dan segera mengoleskannya dengan selai coklat kesukaannya.
"Aku pergi dulu, Dad," ucap Clara dan mengecup singkat pipi sang ayah dan berlari keluar dengan roti ditangan kanan dan tas kecil ditangan kirinya.
Thomas yang melihat hal itu hanya mampu mengelengkan kepalanya dan seketika menyadari jika putri kecilnya itu telah menjadi wanita cantik seperti sang istri.
* * *
Dua puluh menit kemudian.
Clara segera turun dari mobilnya yang kini terparkir didepan butik miliknya, butik yang tidak terlalu besar, tapi sudah memiliki cabang dibeberapa kota dinegaranya.
Clara menghentikan langkahnya tidak jauh dari pintu masuk kebutiknya saat melihat seorang pria dan wanita yang berdiri didepan pintu butiknya.
Clara mengepalkan tangannya dan kemudian berbalik pergi sebelum 2 orang itu menyadari kedatangannya.
Sepuluh menit kemudian.
Clara menatap keluar cafe yang berada diseberang butiknya, ia menatap dua orang itu yang masih setia menunggu kedatangannya dengan sesekali berciuman mesra.
"Sial*n," umpatnya kesal dan kemudian berdiri berniat untuk ketoilet.
Bruk!
"Aduh!" rintih Clara saat berbalik untuk ketoilet dan tidak sengaja menabrak seseorang yang sama sekali tidak bergerak dari tempatnya.
"Ma ....," ucapan Clara terhenti karena orang itu telah berbicara.
"Apa kau bodoh! Tidak bisakah kau melihat dengan benar!" ucap pria itu dengan kesal.
Clara yang mendengar hal itu mendongak dan menatap marah pada pria yang menatap jengkel padanya.
"Hey tuan! saya tidak sengaja!" ucap Clara yang dengan nyalang membuat semua karyawan dicafe itu menatap kearah mereka.
Untung saja kondisi cafe masih sepi jika tidak, mungkin mereka akan berada disurat kabar besok.
Pria itu mengepalkan tangannya berusaha untuk menahan emosinya yang mendekat kearah maksimal.
"Jika kau tidak sengaja, kenapa kau tidak meminta maaf atau mungkin kau sengaja melakukan hal itu agar mendapat perhatian dariku," ucap pria itu dengan PD nya, membuat Clara menatap geli padanya.