Chereads / THE ROOMMATE 2 : SIDE STORIES (21++) / Chapter 30 - 29 ARINA PAST STORY : JUDY MARLOW (2)

Chapter 30 - 29 ARINA PAST STORY : JUDY MARLOW (2)

Beberapa hari berikutnya…..

CPRET!!!

"AWWW…"

"Tegak!!"

"Sejajarkan kedua kakimu!!"

CPRET!!!

"Kau berjalan terlalu cepat! Mundur!!!"

CPRET!!!!

"AWWWWW!!!!"

"Duduk pelan-pelan!!! Jangan mengangkang begitu!!!"

CPRETTTT!!!

"Makan perlahan! Kau tidak sedang kesurupan bukan!!"

CPRETTT!!!

"Aduhhhhhh!!!"

"Senyum! Jangan lupa!!"

"OUCH!!!"

Selama empat hari berikutnya, Arina terus disiksa berbagai tata krama dan table manner ala Amerika, Jepang, Inggris, dan China. Selama itu juga ia menderita (lagi-lagi) tanpa bisa membalas sekalipun. Selama itu juga luka-luka memar akibat jepretan rotan sang tutor terus mendera kulitnya. Menambah lebam-lebam kasat mata yang semakin membuat jerih siapapun yang melihatnya. Dan, sepanjang Arina dilatih serta disiksa paksa dengan berbagai manner, ada sebuah sosok yang berdiri di luar pintu sambil telinganya tak henti mendengarkan semua teriakan kesakitan Arina dan jepretan rotan Miss Judy.

Pemuda jangkung itu hanya bisa terdiam tanpa melakukan apapun. Ini juga merupakan salah satu perjanjian yang harus ia patuhi di hari pertama ia membawa gadis tersebut masuk ke dalam rumah ini. Di hari pertama ia memperkenalkan gadis tersebut sebagai pasangan hidupnya. Di hari itu, dunia mereka mulai berputar arah. Dan, pelan tapi pasti, Arina mau tak mau mulai melangkah masuk ke dalam sebuah area yang tak pernah disentuhnya sebelumnya. Dunia di mana segala sesuatunya harus terlihat sempurna dan berkilau. Dunia para raja. Dewa. Dunia dimana kau sama sekali tidak boleh menunjukkan sisi lemahmu terhadap siapapun. Karena di dalam dunia ini, yang berkumpul adalah para predator. Salah langkah sedikit, nasibmu berakhir tragis dimakan oleh predator lainnya.

Leonard menutup matanya dan mengingat sekilas isi obrolan yang ia dan ayahnya lakukan beberapa hari yang lalu. Di ruang keluarga mereka. Arina tidak ada waktu itu. Ini khusus pembicaraan antara ayah dan anak saja.

"Kau yakin akan keputusanmu, Leo?���

Pemuda itu mengangguk tegas sambil melipat kedua tangannya di dada.

Kakek Dom hanya menghela nafas dengan berat hati. Bukan ia tidak setuju dengan pilihan Leo, tapi ia sudah memikirkan semua konsekuensi yang harus ditanggung oleh gadis tersebut ke depannya. Bukan hal yang mudah untuk menjadi pendamping pewaris Klan Levy. Status dan nama baik yang harus disandangnya akan menjadi beban yang terlalu berat bagi gadis pecinta kebebasan tersebut. Semua ucapan dan gerak geriknya akan selalu menjadi sorotan utama dimana ia sama sekali tidak boleh melakukan tindakan yang mungkin akan memalukan nama klan nantinya.

"Ayah akan menyetujui hubungan kalian asalkan ia mau mengikuti kelas kepribadian yang tutornya ayah pilih. Nah, apakah bisa?"

Leo menganggukkan kepalanya sekali lagi. Pemuda ini memang benar-benar irit bicara pada ayahnya.

"Satu lagi, selama ia berada di rumah ini dan mengikuti kelas kepribadian yang kupilih, kau harus bisa menjaga jarak dengannya. Apapun konsekuensi yang akan gadis itu hadapi, ayah minta kamu tetap diam dan tidak melakukan apapun. Bisa??"

Untuk permohonan terakhir ini, Leo terdiam cukup lama sebelum akhirnya ia kembali menganggukkan kepalanya.

"Baiklah kalau begitu…." kata Kakek Dom sambil tersenyum lebar.

"Kau boleh pergi sekarang…"

............…

Dan di sinilah pemuda itu berada, berusaha keras untuk menahan suara hatinya sendiri yang menjerih dan detak jantungnya yang berdebar keras setiap kali ia mendengar suara teriak kesakitan dari gadis yang sangat disukainya tersebut. Batinnya sangat tersiksa. Dan setiap saat itu juga ia berusaha keras untuk menahan langkah dan keinginannya untuk segera lari lalu langsung merengkuh masuk gadis tersebut di dalam dekapan tangannya.

"Arina…Arina….."

"Bertahanlah….sedikit lagi….kumohon…."

...........

Di hari kelima…..

Wajah Arina sudah sangat jelek ketika ia akan kembali menjalani kelas kepribadiannya. Ia terlihat seperti mau menerkam tutornya tersebut bulat-bulat. Seluruh tubuhnya dipenuhi luka-luka memar yang tak terhitung banyaknya. Hanya Miss Judy yang masih mempertahankan sikap datarnya dengan tongkat rotan di tangannya. Tapi di dalam hatinya, ia sudah bersorak gembira. Ia menang taruhan!!!

Melihat dari sikap gadis tersebut, sudah dipastikan kalau hari ini akan menjadi hari terakhir kelas mereka. Dan Judy benar-benar tak sabar untuk bisa melihat tampang kalah dari kakek jenaka tersebut.

"Kita mulai sekarang. Tegakkan tubuhmu…"

"Berjalan pelan-pelan.."

"Ya, bagus begitu…"

"Hati-hati…."

CPRET!!!

"Jangan menunduk kubilang…"

Sebelum Miss Judy melayangkan tongkat untuk memukul tubuhnya kesekian kalinya, tangan Arina dengan sigap menahan tongkat tersebut.

"Cukup!!!" desis Arina geram.

"Aku ingin istirahat dulu…"

Miss Judy tidak mengatakan apapun lagi dan hanya mengangguk singkat, "Baiklah…"

Arina lalu melepas dan melempar sepatu hak tinggi yang sedang dipakainya sekarang secara sembarangan.

Sambil meninggalkan ruangan tersebut, ia mengutuki dirinya sendiri!

CUKUP SUDAH!! IA TAK TAHAN LAGI!!!

SELESAI!!! BERAKHIR!!! INI HARI TERAKHIRNYA IA BERADA DI DALAM RUMAH INI DAN MENGIKUTI KELAS KONYOL TERSEBUT!!!

Tapi sementara ia berjalan menuju kamarnya, telinganya tiba-tiba menangkap sebuah selentingan dari para pelayan rumah yang tidak menyadari kehadirannya.

"Hihihihi… kau lihat gadis urakan yang dibawa oleh tuan muda kita tempo hari??"

"Haha…iya, kelihatan sekali kalau gadis itu dipungut dari jalanan bukan??"

"Mungkin ia pakai ilmu hitam sehingga tuan muda kita yang dingin itu bisa tertarik padanya.."

"Bisa jadi, perempuan jaman sekarang kan bisa melakukan apapun untuk menarik perhatian laki-laki kaya untuk jadi miliknya…"

"Padahal kalau dilihat secara fisik, kau jauh lebih cantik darinya loh…"

"Hahahaha… bisa saja…."

Mereka berdua tidak sadar kalau Arina mendengarkan semua pembicaraan itu diam-diam sementara hatinya menjerit pilu.

DEG!!

Begitukah?

Begitukah pandangan orang-orang rumah ini terhadap kehadiran dirinya?

Sebuah kesedihan yang tajam menyeruak dan menyelimuti hatinya, kedua matanya kembali berkaca-kaca. Ah, ia kangen teman-teman lamanya di Geng Tengkorak…

Ia kangen saat –saat mereka bisa berkumpul dan tertawa lepas tanpa beban di bar Lopez. Saat-saat dimana ia tak perlu pura-pura menjadi "orang lain" hanya untuk menyenangkan siapapun. Bebas sebebas-bebasnya. Sepenuh-penuhnya. Sekarang, kerinduan itu kembali menyengat hatinya.

.........….

"Bagaimana kelasmu hari ini?" tanya Kakek Dom pada Judy yang duduk di hadapannya dengan santai. Pria tua itu bertanya karena Judy menyudahi sesinya jauh lebih awal dari biasanya.

"Ia minta waktu istirahat, Kakek…"

"Dan kelihatannya, hari ini akan jadi kelas terakhirnya…" kata Judy sambil menyesap gelas winenya.

"Bersiaplah untuk bagianku jika kau kalah taruhan.." kata wanita itu lagi dengan senyum licik yang tersungging di bibirnya.

.........

ARINA HILANG!!!

Seisi rumah langsung heboh untuk mencari tahu keberadaan gadis tersebut. Tapi biar satu mansion sudah diubek-ubek oleh semua pelayan dan pengawal pribadi yang bertugas di sana, keberadaan gadis tersebut tetap tak ditemukan. Kakek Dom langsung menepuk jidatnya. Sementara Judy hanya tersenyum lebar dengan tatapan Apa-Kubilang.

Diantara semua kepanikan tersebut, hanya Leo yang tetap tinggal tenang. Ia seperti sebuah patung es yang terdiam kaku di pojokan ruangan. Kedua matanya terpejam dan dahinya berkerut dalam. Pertanda kalau ia sedang memikirkan sesuatu dengan sangat serius. Sebelum akhirnya, sebuah perintah keluar dari mulutnya.

"Semuanya keluar…."

Semua orang langsung menghentikan gerakan mereka. Di rumah ini, pemegang komando kekuasaan kedua mereka adalah sang tuan muda. Dan, sekali-kalinya tuan muda mereka bertitah…

Tak ada seorang pun yang berani membantahnya. Termasuk…termasuk….

Ayahnya sendiri. Kakek Dom.

"Ayah juga…."

"Miss Judy juga…"

"Tolong keluar…"

"Apa kau sudah tahu di mana gadis itu berada, Leo?"

"Aku punya dugaan…" jawab Leo singkat.

Tanpa basa-basi, mereka semua lalu meninggalkan rumah utama. Setelah semua orang pergi, kaki Leo lalu berjalan ke arah kamar gadis tersebut dan membuka jendela besar satu-satunya di sana. Kaki pemuda itu lalu melangkah di atas balkon kamar dan melihat ke kiri kanan sebelum kemudian kedua matanya tertumbuk pada sebuah sosok yang sedang duduk sambil memeluk kedua lututnya dan memandang langit malam dengan sorot matanya yang teramat polos.

Mata gadis itu sembab sementara di tubuhnya terdapat bilur-bilur luka kemerahan yang terlihat jelas. Tanpa suara, Leo lalu mendekati Arina dan duduk di sampingnya.

"Kau di sini rupanya…"

Arina tidak bereaksi. Kedua bola matanya hanya menatap kosong pada langit malam berbintang di atasnya. Leo lalu menggandeng sebelah tangannya dan menghela nafas panjang dengan berat hati.

"Maafkan aku…"

Tetap tidak ada respon apapun dari Arina.

"Arina, aku tidak mau kau merasa terbebani dengan apapun. Aku hanya ingin kau tetap menjadi Arina yang sama. Arina yang bebas. Arina yang bisa tertawa lepas. Arina yang bisa pergi kemanapun asalkan ia mau. Aku mau kau yang seperti itu…."

"Jangan pernah berubah. Tetaplah menjadi Arina-ku. Ok?"

Sebuah sungai kecil mulai muncul di kedua pipi Arina seiring dengan isakan tangisnya. SIAL! Kenapa ia jadi cengeng sekali setiap bertemu dengan Leo? Sepertinya pemuda ini tahu semua titik lemah dalam dirinya….Hiks…

"Maaf, Leo…Maaf…."

"Kelihatannya, aku tidak akan bisa melakukan semua ini…aku.. "

Arina menggigit bibir bawahnya sendiri. Berjuang keras untuk menahan perasaan yang membuncah keluar dari dadanya yang sesak. Pertahanannya runtuh seketika.

"Aku.... menyerah…."

"Aku…tak …sanggup,,,lagi…."

Semua kelas kepribadian tersebut…..membuatnya gila setengah mati!!! Arina merasa seakan-akan terus-menerus dipaksa untuk menjadi "orang lain yang tidak ia kenal". Dipaksa untuk mengenakan sebuah identitas lain. Dipaksa untuk terus bertingkah laku yang bukan dirinya.

Palsu.

Sebuah kebohongan yang akan melahirkan dusta berikutnya.

Ia tidak bisa.

Arina…bukanlah perempuan seperti itu.

Leo tidak mengatakan apapun. Tapi kemudian Arina merasakan sebuah tepukan hangat di atas kepalanya dan Leo lalu menarik masuk gadis itu pelan ke dalam pelukannya.

"Kalau begitu.. jangan lakukan…"

"Jika dengan menjalani kelas kepribadian akan mengubahmu jadi orang lain, jangan lakukan. Jika dengan mengikuti keinginan ayahku membuatmu tertekan, jangan lakukan. Jika dengan berada di sampingku, akan membuatmu terpaksa memakai topeng palsu, jangan lakukan…."

"Aku….."

"Menyukai dirimu yang seperti ini, Arina…"

"Arina yang pemberani, liar, tidak kenal bahaya. Tetaplah menjadi wanita seperti itu…."

"Jangan pernah berubah untuk siapapun ya?"

Leo si pelit bicara tapi di depan gadis ini, ia mengeluarkan semua kata hatinya dalam sekali ucap.

Tangis Arina masih belum berhenti. Ia masih terisak-isak tanpa suara.

"Aku juga tidak akan menahan langkahmu kalau kau mau pergi dari rumah ini. Ayahku juga. Kami berdua tahu kalau kau sangat mencintai kebebasanmu. Jadi…"

"Ia takkan memaksamu tinggal kalau kau tak mau. Tenang saja…"

"Kenapa aku, Leo? Kenapa kau bisa menyukaiku?" tanya Arina bingung di sela-sela tangisnya.

Sungguh…ada jutaan wanita di luar sana yang bersedia untuk melemparkan dirinya sendiri ke dalam pelukan pemuda kaya ini semudah jentikan jari. Tapi kenapa pemuda ini malah memilih gadis itik buruk rupa seperti dirinya?

Leo menghela nafas panjang.

"Itu pertanyaan yang sampai sekarang pun aku tak tahu jawabannya…��

Leo berkata jujur. Ia baru mengalami perasaan ini sekarang. Perasaan di mana jantungnya selalu berdebar kencang setiap saat melihat kehadiran Arina walaupun ia sendiri tak mengerti kenapa. Dan rasa sukanya pada gadis itu selalu bertambah setiap saat Arina menjadi dirinya sendiri. Tertawa lepas, bertingkah konyol saat mereka makan siang bertiga, mengumpat atau memaki seseorang yang tidak disukainya. Ia suka apapun yang ada di dalam diri Arina.

Arina…..

Seperti sebuah matahari untuknya. Membuatnya merasa seperti seorang manusia lagi di kala semua orang memperlakukannya dengan begitu berbeda karena statusnya. Karena itulah ia memilih opsi homeschooling, karena sewaktu ia masuk kelompok bermain dulu, ia sama sekali tidak bisa menahan rasa cemburunya ketika melihat anak-anak lain diantar lengkap dengan kedua orangtuanya. Belum lagi ditambah dengan kecupan hangat dari para ibu mereka.

Ibu.

Betapa asing kata itu untuknya…

Ayahnya terlalu sibuk bekerja sehingga ia hanya diantar oleh supir dan pengasuh pribadinya. Jadi, buat apa ia bersekolah formal? Lebih baik ia di rumah dan menenggelamkan diri pada apa yang menjadi minatnya. Beres.

Sampai tanpa sengaja ia bertemu Arina…

Dan dunianya mulai kacau balau sejak saat itu…

Arina kemudian jatuh tertidur di dalam pelukannya. Dan dengan sangat berhati-hati, Leo menggendongnya masuk ke dalam kamar serta menaruhnya lembut di atas kasur gadis tersebut. Dengan langkah tanpa suara, Leo lalu melangkah keluar dari kamar Arina.

.........…

"Kau menemukannya?" tanya Kakek Dom dengan suara berbisik.

"Ya…"

"Lalu perjanjian kita…"

"Kau sudah berjanji tidak akan memaksanya kalau gadis itu tidak mau melakukannya…"

Kakek Dom hanya bisa tertunduk pasrah sambil berkata. "Baiklah…"