Chereads / THE ROOMMATE 2 : SIDE STORIES (21++) / Chapter 28 - 27 ARINA & KAKEK BESAR : KELAS KEPRIBADIAN

Chapter 28 - 27 ARINA & KAKEK BESAR : KELAS KEPRIBADIAN

"Calon istriku…."

WHAT THE HELLLLLLLLL!!!!!

Sekarang kedua bola mata Arina langsung meloncat keluar dari rongganya.

UHUK!!!!!! UHUKKKK!!!

Kakek besar langsung tersedak oleh air ludahnya sendiri sambil terbatuk-batuk saat Leo mengatakan pernyataan tersebut.

I…..ini…. seriusan nih??? Beneran?????

Wanita biker bertubuh mungil ini adalah….

Calon mantunya????

Dan Leo yang membawanya sendiri ke rumah ini????

OMAIGOTTTTTT.... Kakek Dom baru saja merasa kalau ia salah dengar.

"Apa tadi, Leo??"

"Calon istriku…" jawab Leo dengan kalimat yang sama. Tidak kurang, tidak lebih.

Sekarang, Kakek Dom langsung menghela nafas panjang. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal dan berkata, "Kalian berdua pasti sudah lelah karena perjalanan panjang tadi. Jadi, silakan beristirahat dulu. Rogard sudah menyiapkan kamar untuk kalian berdua…"

Leo mengangguk tanpa banyak bicara lalu bangkit berdiri bersama Arina sembari tangannya terus menggenggam tangan gadis itu tanpa melepasnya sama sekali. Arina yang merasa serba salah di hadapan Kakek Dom yang terus-menerus mengamati tingkah mereka berdua dengan tatapan bingung dan menyelidik sekaligus lalu sengaja menepak punggung tangan Leo keras- keras.

PAKK!!

Kepala Leo otomatis menoleh ke belakang. Dahinya berkerut bingung.

Kenapa?

Arina hanya memberikan kode sambil menunjuk-nunjuk tangannya yang dipegang dari tadi sambil melotot sewot ke wajah Leo.

LEPAS, BODOH!!!!

LEPASKAN TANGANKU!!!

"Oh…"

Leo langsung melepas tangan Arina secara mendadak sehingga gadis itu hampir kehilangan keseimbangan karena genggaman tangannya tiba-tiba terlepas tanpa peringatan.

"Ok, Ayah. Aku pergi ke kamar dulu. Selamat siang…" kata Leo singkat sambil melengos masuk ke dalam. Kakek Dom hanya bisa mengusap-ngusap kepalanya dan memandang ke arah Arina yang juga sama-sama berdiri mematung sambil melihat ke arah Leo yang sudah menghilang.

"Apa dia juga seperti itu kepadamu setiap hari?"

Kepala Arina menoleh ke arah Kakek Dom lalu menggeleng pelan.

...............................

#KAKEK DOM POV#

Kedua mataku benar-benar hampir lepas dari rongganya ketika Leo kembali pulang setelah setahun berlalu dan ia menyebabkan keributan besar untuk mengubah simbol klan yang sudah berabad-abad ini kami gunakan menjadi gambar bunga mawar. Belum lagi ia juga bersikeras untuk menambah kebun mawar di area taman. Dan bukan mawar sembarangan, tapi merupakan mawar Centifolia yang berasal dari daerah Provence, Prancis. Ukuran kelopak mawar ini tidak terlalu besar dan berbentuk seperti kubis-kubis kecil tapi sekalinya mekar dan berbunga, keharumannya akan tersebar sampai ke seluruh area kompleks. Ia juga memaksa untuk menambahkan beberapa detail ornament mawar di bangunan mansion yang tertata rapi secara estetis. Lebih parahnya lagi, ia kadang-kadang pulang hanya untuk memantau seberapa jauh pekerjaan ini finishing ini dilakukan. Dan bukannya untuk bertemu bertemu denganku. BAH!!!

Aku malah kadang-kadang berpikir untuk menghapus namanya sebagai ahli warisku karena sebagian besar tindakannya yang konyol dan tak masuk akal tersebut. Sebagai salah satu ilmuwan jenius, aku lebih suka menyebut Leonard sebagai seorang seniman karena kelakuannya yang eksentrik, anti social, dan tak terduga. Walaupun ia darah dagingku sendiri, aku sama sekali tidak habis pikir darimana kelakuan anehnya ini berasal.

Aku?

HA! TIDAK MUNGKIN!! Aku seorang sosialita dan aku juga harus memimpin sebuah klan dan perusahaan dengan puluhan ribu nyawa di bawahku sebagai tanggung jawab harianku. Jadi, anti-sosial dan bersikap eksentrik bukanlah dari genetikaku.

Hmmm…Rachel??

Ya, mungkin saja. Aku dan ibunya Leonard hanya bertemu beberapa kali secara tak sengaja ketika akhirnya kami berdua saling tertarik dan akhirnya memutuskan untuk menikah. Pernikahan kami bahagia walaupun singkat. Rachel meninggal saat sedang berjuang untuk melahirkan Leonard yang juga terlahir 2 minggu lebih awal dikarenakan pendarahan hebat tanpa henti.

Kadang-kadang, aku masih suka berkunjung ke makamnya. Menaruh bunga di atas batu nisannya dan bercerita banyak hal tentang kehidupan Leo sekarang. Anakku. Anaknya. Anak kita. Dan walau…

Walau aku seringkali kesulitan untuk memahami semua pikiran dan tindakan irasionalnya, aku masih menaruh harapan besar di pundaknya sebagai calon pewaris kerajaan kami. Klan Levy.

Aku juga berharap kalau suatu hari nanti ia akan membawa pasangan hidupnya ke hadapanku karena aku sudah muak melihatnya pacaran dengan berbagai larutan kimia dan deretan botol labunya selama berhari-hari.

Tapi, tindakannya hari ini…

Dengan membawa seorang perempuan mungil dengan dandanan gothic dan berpakaian biker, benar-benar…

Dan, ia memperkenalkan wanita asing itu sebagai….

Calon istrinya???

...........................…

Rose Mansion, ruang makan keluarga

Arina mengamati ruangan besar tersebut dengan takjub. Jika tadi mereka berada di sebuah ruang tamu dengan luas ruangan setara dengan rumah kecil, sekarang, ruang makan itu terlihat lebih luas lagi. Dua kali lipatnya malah. Tiga lampu Kristal berukuran besar tergantung sejajar di atas langit-langit dan membuat suasana rumah terlihat terang tapi juga teduh. Ruang makan ini didesain dengan gaya klasik Eropa dan didominasi dengan warna putih gading dengan penambahan beberapa aksen ruangan yang berwarna keemasan. Beberapa lukisan bertema buah-buahan juga tertempel rapi di dinding.

Lalu, meja makannya…. ASTAGAAAA!!!

Meja makan di ruangan ini panjang sekali!!! Ada sekitar 4 meter mungkin dan bisa menampung sekitar 30 orang sekaligus untuk makan bersama. ASTAGA!!!!

Arina hanya bisa menarik nafas berkali-kali dan menghembuskannya berulang-ulang. Ia panic dan gugup di waktu yang bersamaan.

Semua kemewahan ini...

Melebihi bayangannya.

Bahkan di dalam mimpi pun, ia sama sekali tak pernah mengira kalau suatu hari nanti ia akan bisa duduk makan di sebuah rumah besar maha luas nan megah seperti ini. Bahkan ketika dulu ia masih menyandang gelar bangsawan saat kecil pun, rumah keluarganya tak sebesar ini.

"Kenapa ga dimakan??" tanya orang tua itu pelan kepada Arina yang masih terbengong diam sambil melihat ke arah piringnya dari tadi.

"Makanannya tidak enak? Atau kamu tidak suka? Mau diganti dengan menu lain?" tanya pria tua itu lagi dengan nada kuatir.

"Oh…ti..tidak….enak…enak koq, Oom. Saya makan ya?" kata Arina gugup setengah mati dan memotong daging steak dengan pisau di hadapannya dengan tangan gemetar.

Tapi adegan berikutnya, langsung membuat kedua mata Kakek Dom melompat keluar dari rongganya!!

Leo yang sedang duduk di sebelah Arina, dengan kalemnya, menukar piringnya sendiri dengan piring Arina. Sebelumnya, ia sudah memotong-motong daging steaknya dengan sangat rapi. Setiap potongan pas untuk sekali suapan. Lalu, ia juga menyuapi Arina dengan telaten.

Sementara Arina hanya bisa menepis tangan Leo yang terus-terusan memaksa untuk menyuapinya sambil sesekali matanya melirik ke arah Kakek Dom dengan tatapan serba salah.

Mata Kakek Dom benar-benar melotot tak percaya kali ini.

I… ini Leo-nya???

Yang terkenal anti social dan judes itu??

Yang sama sekali egois dan menyebalkan??

Kenapa sekarang ia terlihat begitu berbeda???

Apa Leo-nya….putra semata wayangnya ini….sedang….

Jatuh cinta??

Mungkinkah??

.......................................….

Rose Mansion, gazebo...

Kedua mata pria tua itu memicing tajam ke arahnya. Menatap Arina dengan tatapan curiga. Sementara gadis muda yang ditatapnya hanya bisa menunduk malu dengan kikuk sambil sesekali memalingkan muka. Perasaan ini…suasana ini…benar-benar membuatnya tak nyaman…

Kakek Dom meminta waktu untuk bisa berbicara lebih intim dengan Arina tanpa ada Leo di sampingnya. Ia ingin mengetahui lebih banyak seputar calon mantunya tersebut. Dan untungnya, Leo mengijinkan setelah sebelumnya pemuda tersebut agak keberatan atas ide ayahnya. Tapi, Arina berhasil meyakinkannya kalau ia akan baik-baik saja.

Dan di sinilah mereka berada…

Dalam sebuah situasi aneh yang super canggung…

"Namamu, Arina.. bukan?"

"Ya, Oom…" kata Arina sambil mengangguk pelan.

"Bagaimana kau bertemu dengan Leo?"

"Kami berada di kelompok yang sama saat proyek gabungan di Universitas Rotteo.."

Mata Kakek Dom berkilat sambil ia mengangkat kedua alisnya. Universitas Rotteo!!! Astaga!! Itu kan salah satu universitas bergengsi di negara ini!! Ckckckck… gadis ini punya otak juga!

"Lalu jurusanmu?"

"Business Management…"

"Lalu, bagaimana kau bisa bertemu dengan Leo?"

"Aku tidak sengaja menabraknya saat sedang berjalan di kampus. Aku sedang membaca salah satu buku waktu itu sehingga aku tidak melihat kalau ada orang lain juga yang datang dari arah yang berlawanan…"

"Apa kau tahu dia siapa?"

"Leonard…." Jawab Arina lagi dengan polosnya.

"Tapi aku lebih suka memanggilnya sebagai Leo…"

"Bukan, maksudku… apa kau tahu tentang Levy? Klan Levy?"

Ini benar-benar pertanyaan krusial untuk Kakek Dom. Ia tidak ingin kalau Leo sampai salah memilih pasangan hidup. Seorang wanita yang hanya dibutakan oleh status dan kekayaan yang dimiliki oleh Leo sebagai salah satu pewaris klan sekaligus kerajaan bisnis terbesar di 3 Dunia.

Kening Arina langsung berkerut bingung. Ia sama sekali tak mengerti maksud pertanyaan pria tua ini di hadapannya. Klan? Klan apa maksudnya?

"Klan Levy? Apa itu??"

Kakek Dom langsung menghembuskan nafas lega. Syukurlah…

Betul kan…. Seaneh-anehnya Leo, setidaknya, ia masih membawa seorang perempuan yang "lurus" dan tidak silau harta.

"Panggil aku Ayah atau Kakek Dom mulai dari hari ini, Arina…."

"Tapi sebelum kau melanjutkan hubunganmu dengan Leo, ada beberapa hal yang harus kuberitahu dulu tentang anak itu. Kau siap?"

Arina mengangguk tegas.

Dan Kakek Dom pun memulai ceritanya.

...............................

Rose Mansion, kamar tamu, malam hari….

Arina memandang ke arah kartu nama yang terletak di dalam genggaman tangannya dengan gugup. Sebuah nama tercetak jelas di sana. Judy Marlow. Pelatih Kelas Kepribadian.

.................................

Satu jam sebelumnya….

"Arina, Leo bukanlah anak biasa. Ia berbeda. Selalu berbeda dari teman-teman lain yang sebaya dengannya. Pertama, ia lahir premature. Lebih cepat 2 minggu dari waktu kelahirannya dan ibunya pun menghembuskan nafas terakhirnya saat melahirkan anak tersebut. Jadi, sampai hari ini, ia sama sekali tidak pernah mengenal kasih sayang seorang ibu ketika hari pertamanya dimulai di atas muka bumi ini. Walaupun ada aku dan para pengasuhnya yang selalu berjaga 24 jam di sisinya, Leo tetap tumbuh menjadi seorang anak yang dingin dan sangat kaku….."

"Ia penyendiri dan tidak suka keramaian….."

"Ia juga tidak suka bergaul dengan banyak orang. Rasa ingin tahunya terbatas hanya pada ilmu pengetahuan dan larutan kimia yang menemaninya di dalam laboratorium sepanjang siang dan malam. Karena itu, ia tidak pernah bersekolah formal dan memilih homeschooling dengan memanggil guru privat yang hanya sesuai dengan minatnya…."

Kakek Dom lalu menghela nafas panjang sebelum ia kembali melanjutkan ceritanya.

"Ia sangat terobsesi pada riset dan penelitiannya dan aku kuatir kalau-kalau suatu hati nanti aku harus mengirim peti mati ke dalam laboratoriumnya….."

Kakek Dom lalu terkekeh geli sementara Arina masih mendengarkan dengan serius.

"Syukurlah, hal itu ternyata tidak terbukti. Kalau iya, bukan kau yang dibawanya ke hadapanku…"

"Kalau aku boleh jujur, anakku itu seperti Tuhan. Seorang dewa abadi di dalam dunianya sendiri. Ia jarang berbicara. Ia selalu berpikir kalau dunia berputar hanya untuknya dan bukan sebaliknya…."

"Hal ini… perlu kau pahami dulu sebelum kalian berdua berniat melanjutkan hubungan ini. Apakah kau mengerti??���

Arina kembali mengangguk pelan.

"Tapi hari ini, aku melihat sesuatu yang berbeda. Ketika bersama denganmu, ada sebuah sisi lembut yang terbawa keluar dari dalam dirinya. Sesuatu yang asing tak pernah kulihat sebelumnya. Aku tak tahu apa, kenapa, dan bagaimana kau bisa membuatnya seperti itu. Hal itu yang membuatnya terlihat sedikit lebih manusiawi….."

Arina menghela nafas panjang. Ia juga bingung dengan perubahan sikap Leo terhadap dirinya. Jika dibandingkan sikapnya terhadap ayah kandungnya sendiri, Leo bagaikan sebuah patung es yang jauh dan tak terjamah oleh siapapun. Dingin dan pasif.

Tapi kepadanya….

Bahkan jika ia memotong kukunya sendiri, mungkin Leo malah bisa mengetahuinya.

"Dan satu lagi… aku berharap kau bisa menghubungi orang ini secepat mungkin.."

..........................................

Mengikuti kelas kepribadian adalah salah satu syarat yang diberikan oleh Kakek Dom kepada dirinya untuk bisa terus melanjutkan hubungannya dengan Leo. Dan Arina berjanji untuk mencobanya. Walaupun ia tidak ada gambaran apapun tentang hal itu sama sekali.

Pelan, jarinya mulai menekan beberapa tombol angka dan menunggu seseorang untuk menjawab panggilan teleponnya dari seberang sana.

"Halo?"

. ...........................….

Bar Lopez

Sante sudah duduk dengan kepala terkulai lemas. Ia baru saja menghabiskan 10 sloki whiskey tanpa henti. Sekarang, perutnya kembung tak keruan. Di depannya, Hayden dan Lopez sedang tertawa lepas bersama dengan teman-teman mereka yang lain.

CRINGG…

Sebuah bunyi logam yang jatuh terdengar cukup nyaring di dalam ruangan tersebut. Sante yang tiba-tiba tersadar lalu mencoba memungutnya, tapi gagal. Ia malah jatuh ambruk ke atas lantai. Hayden yang kemudian memungut emblem berukir bunga mawar tersebut lalu menunjukkannya kepada Lopez.

"Hei… kau tahu apa ini?"

Mata Lopez seketika terbelalak lebar-lebar saat melihat emblem itu.

"Darimana kau dapat benda ini??!!" tanya pria tua itu kaget.

"Sante menemukannya di lokasi Arina diculik tempo hari dan kami terlambat datang. Semua regu penculiknya sudah dibunuh habis tanpa kami tahu siapa pelakunya dan Arina juga sudah tak ada di sana…"

Seulas senyum lebar muncul di wajah Lopez.

"Entah aku harus bilang kalian sangat sial atau beruntung. Emblem itu milik Klan Levy. Salah satu klan terkuat dan terkaya di 3 Dunia. Jika Arina berada di bawah perlindungan mereka, ia berada di dalam tempat teraman di bumi ini. Tapi jika kalian adalah musuh mereka…."

"Silakan ucapkan selamat tinggal pada nafas terakhirmu…."

Setelah mendengar cerita Lopez, Hayden hanya bisa memijit keningnya sendiri sambil menghela nafas panjang. Pandangan matanya lalu menatap nanar ke arah Sante yang masih tersungkur pasrah di atas lantai dingin.

"Nasibmu benar-benar malang, Sante…"