Mata Sante berkerjapan tak percaya. Apa? Pacaran? Bagaimana bisa? Bukankah mereka berdua baru kenal?
BOHONG!!!
Kata itu langsung terlintas di dalam kepalanya!
Pemuda bermata sayu ini pasti sedang berbohong kepadanya! Pasti begitu!
"Kau tidak percaya bukan?" tanya Leo lagi sambil kedua tangannya di depan dada dan tersenyum dingin.
"Tidak apa-apa. Biar Arina yang mengatakannya sendiri padamu hari ini. Kau akan menjemput dirinya sore ini bukan?" tanya Leo lagi sambil melengos pergi. Sante hanya bisa terdiam bisu tanpa mengatakan apapun lagi. Tapi ekspresi mukanya jelas-jelas menunjukkan kalau pria bertubuh gempal itu sedang naik darah.
"Aku pergi dulu ya? Selamat siang…"
Setelah Leo menjauh dari tempat itu, salah satu anak buahnya lalu bertanya kepadanya.
"Apakah tidak apa-apa untuk membiarkan dia menjemput nona Arina nanti sore?"
"Tempatkan beberapa orang untuk mengawasi mereka berdua nanti. Jangan kuatir, aku sudah memasang penyadap suara di tas Arina. Apapun pembicaraan mereka nanti, aku pasti tahu…"
"Baik, tuan muda…." kata pengawalnya tersebut sambil menunduk hormat dan undur diri dari hadapan Leo secepatnya.
Leo sendiri, tidak langsung kembali ke kampus melainkan berbelok ke arah mobilnya sendiri.
"Anda tidak akan kembali ke kelas, tuan muda?"
"Aku sudah membereskan tugasku untuk hari ini. Jadi sekarang kita pergi saja…"
"Ke mana, tuan?"
"Rose Mansion, Rogard. Aku harus bertemu dengan ayahku hari ini…"
Leo tersenyum lebar. Dalam waktu singkat ini, ia sudah merencanakan sesuatu yang besar di mansion mewah tersebut.
..................…
Sore harinya…..
Keadaan kampus masih ramai karena hampir semua kelas sudah berakhir secara bersamaan saat itu. Arina menunggu beberapa saat sampai akhirnya lahan parkiran sedikit sepi dan barulah kepalanya celingukan mencari-cari sesosok pria yang sangat familiar dengannya.
Begitu wajah berkepala plontos itu muncul, Arina langsung tersenyum lebar dan melambaikan tangannya serta langsung menghampiri Sante yang memberikannya sebuah helm full face.
"Kau baik sekali. Padahal aku bisa saja naik motor sendiri…" kata Arina sambil naik di boncengan belakang moge Sante. Entah kenapa, selama setahun belakangan ini, sikap Sante baik sekali padanya. Bahkan cenderung memanjakannya. Tapi Arina tak ambil pusing karena ia menganggap Sante sama seperti anggota lainnya. Salah satu saudara dan sahabatnya yang paling dekat. Tak lebih. Tak kurang.
"Tidak apa-apa. Kau sudah siap?" tanya Sante sambil memaksakan senyum di wajahnya padahal hatinya sudah kacau balau akibat omongan Leo tadi siang. Arina mengangguk dan moge itu pun langsung meluncur pergi.
"Kita mau ke mana, Sante?"
Arina bertanya di tengah angin yang menderu kencang di sekitar mereka berdua.
"Nanti kau akan tahu sendiri, Arina…" kata Sante sambil terus melajukan moge-nya dengan kecepatan tinggi.
Moge itu terus menjauh dan menuju ke arah luar kota. Melewati jalan tol dan hijaunya sawah yang membentang di sepanjang jalan. Hari sudah menuju senja dan matahari mulai bergerak turun di ufuk barat. Membiaskan sinar terakhirnya yang berwarna keemasan di langit lembayung. Mengukir garis gradasi oranye yang bersaput dengan warna biru dan ungu. Perlahan-lahan suhu udara pun berubah. Desau angin yang menerpa wajah mereka mulai berubah dingin. Samar-samar, Arina bisa mencium bau laut dari kejauhan.
"Kita mau ke mana, Sante?" tanya Arina sekali lagi.
"Ke tempat di mana kau bisa mengucapkan selamat tinggal pada Dicky untuk terakhir kalinya, Arina…"
Hari itu, Sante sudah bertekad bulat. Ia akan mengatakan semuanya pada Arina. Tak perlu menunda lagi. Karena kalau ia terus menunggu, ia tahu….
Kesempatan itu takkan pernah datang kembali.
....................
Pantai Stovia, senja hari
Mereka sampai tepat waktu. Matahari senja baru saja terbenam dan langit berwarna kemerahan. Bunyi desir ombak terus menerus berkejaran di bawah kaki telanjang mereka sementara mata mereka memandang batas horizon yang terletak di ujung sana. Arina menghela nafas panjang. Rasanya aneh dan asing ketika ia berada di tempat ini. Terakhir kali mereka pergi ke pantai, Dicky masih hidup. Dan mereka bertiga mampu menghabiskan waktu sepanjang hari hanya untuk bermain pasir dan berenang diantara riak ombak. Dulu.
Itu adalah masa-masa yang menyenangkan. Tapi kenapa saat ini, memori itu terasa begitu menyakitkan untuknya?
Melihat pantai yang sama. Desir ombak yang tak pernah berubah selama ini. Mengingatkan Arina kembali pada kenangan-kenangan indah tersebut. Sante juga. Masa-masa luar biasa itu benar-benar terasa sebagai sebuah mimpi untuknya. Tapi, kini Dicky sudah tidak ada lagi. Jalan mereka berdua masih panjang di depan. Kehidupan harus terus berjalan. Waktu terus berputar maju.
"Arina…" kata Sante ketika gadis itu sedang bermain ombak dengan kedua kakinya. Kepala Arina lalu menoleh ke arahnya.
Sante lalu mulai memandang ke atas langit. Saat ini langit mulai gelap dan bintang-bintang pun mulai bermunculan satu persatu di atas kepalanya. Entah kenapa, mata Arina langsung memandang ke arah langit malam yang terbentang luas nun jauh di sana.
"Apakah Dicky masih sangat berarti untukmu? Walaupun ia sudah tiada?"
Arina tercekat. Ia sama sekali tak pernah menyangka kalau Sante akan menanyakan hal itu kepadanya. Setelah beberapa saat, Arina mengangguk tegas.
"Ya, Sante. Keberadaan Dicky untukku. Selamanya. Tak kan pernah tergantikan…"
"Lalu bagaimana denganku? Apa kau tak pernah memikirkan aku sama sekali, Arina? Aku adalah salah satu orang terdekatmu setelah Dicky!" kata Sante sengit sambil berjalan maju mendekati gadis tersebut.
"A..Aku menyukaimu, Arina."
"Sudah lama sekali…. Entah sejak kapan…."
"Tapi begitu aku tahu kalau Dicky menyimpan perasaan yang sama denganmu, aku mundur…"
Dicky adalah teman baiknya. Sahabat sejatinya. Sampai mati pun, Sante takkan mau bersaing dengan sahabatnya tersebut.
Mata Arina seketika terbelalak lebar-lebar setelah mendengar pernyataan Sante tersebut. Ia langsung menutup mulut dengan kedua tangannya saking kagetnya.
Jadi… selama ini… Sante….
Semua sikap baiknya…. Padanya….
"Arina… aku… aku…"
"JANGAN MENDEKAT!!!" larang Arina galak. Ia masih shock berat. Jantungnya pun berdebar tak keruan setelah mendengar pernyataan Sante barusan.
"Aku benar-benar tulus padamu…."
"SUDAH KUBILANG…JANGAN MENDEKAT, SANTE!!!" teriak Arina sekali lagi.
"Kenapa, Arina?" tanya Sante bingung. Kemudian ia kembali terngiang omongan Leo tadi siang.
"Kami berdua sudah berpacaran…."
" Rupanya dia belum memberitahukanmu hal itu ya??"
Benarkah? Benarkah seperti itu? Kalau melihat reaksi Arina sekarang… apa mungkin… mungkin… mereka berdua…
"Arina, apa kau…"
"Sante, maaf. Tapi aku tidak bisa menerima perasaanmu. Aku…. aku…"
"Aku sudah punya pasangan sekarang….." kata Arina lirih sambil menggigit bibir bawahnya. Ia lalu membalikkan tubuhnya. Ia sama sekali tak tahan saat melihat ekspresi wajah Sante sekarang. Ekspresi seorang pria yang dikhianati. Marah. Cemburu. Kecewa. Jengkel. Semua terlihat jelas di sana. Di sorot kedua mata Sante yang kini memerah.
"Apakah itu… Leo??" tanya Sante dengan suara bergetar. Laki-laki tidak boleh menangis katanya. Tapi untuk kali ini, Sante tak peduli lagi. Dibiarkannya air matanya mengalir ke kedua pipinya sekali lagi.
Arina mengangguk tanpa suara.
"Kenapa?" tanya Sante pilu. Ia butuh jawaban. Kenapa Arina memilih bocah bau kencur itu dan bukan dirinya yang sudah bersama-sama dengan dirinya sejauh ini??
"Aku pun tak tahu jawabannya, Sante. Perasaan ini, masih asing bagiku dan dia. Kami berdua masih mencari tahu…"
Tapi yang Arina tahu, perasaan yang dimilikinya sekarang. Sangat mirip dengan perasaan yang dimilikinya kepada Dicky dulu. Apakah ini yang dinamakan cinta? Entahlah.
"Pertempuran ini sudah kumenangkan bahkan sebelum kau mulai bertarung…"
Ucapan Leo kembali tergiang-ngiang di dalam benak Sante. Pemuda itu benar! Ia kembali kalah. Sekali, ketika ia berhasil menyelamatkan Arina di saat genting ketika gadis itu diculik paksa di depan matanya. Kedua, sekarang. Ketika mereka berdua sudah resmi menjadi pasangan yang entah bagaimana hal itu bisa terjadi.
"Arina…."
Sante berjalan mendekat. Berusaha untuk mendekati gadis tersebut ketika tiba-tiba ada suara lain yang memanggil nama gadis tersebut dari arah yang berlawanan.
"Arina…"
Kepala Arina langsung menoleh ke arah asal suara kedua. Leo.
Pemuda itu sedang berdiri agak jauh dari mereka sambil melipat kedua tangannya di dada.
"Sudah malam. Kita pulang sekarang…"
Tanpa membantah, Arina mengangguk pelan dan berjalan menuju ke arah Leo yang langsung merangkulnya masuk ke dalam mobil. Melihat Arina yang begitu patuh pada Leo, Sante langsung bereaksi dan berlari mengejar gadis tersebut.
"ARINA!!!!!"
Mobil jip mewah itu mulai menyalakan mesinnya.
"ARINA!!!!!" teriak Sante sekali lagi. Kakinya mulai berlari kencang sekarang. Berusaha sekuat-kuatnya mengejar mobil jip tersebut.
"ARINA!!!!!"
Percuma.
Mobil itu sudah menjauh dari pandangannya. Ia kalah. Lagi.
Sante langsung berlutut sambil menangis terisak-isak dan melolong pedih. Menyerukan nama gadis pujaannya berulang-ulang ke langit malam yang membisu di atas sana. Lagi-lagi takdir tak berpihak kepadanya dan Sante dipaksa untuk menelan pil pahit untuk kedua kalinya. Ia masih bisa terima kalau ia kalah dari Dicky karena pemuda itulah yang pertama kali memasuki kehidupan Arina. Tapi Leo???
Kenapa???
KENAPAAAA??????
Bahkan ia sendiri pun tak tahu jawabannya.
........................…
Arina sesekali menoleh ke belakang dan ketika ia melihat Sante sedang duduk bersimpuh merana di atas pasir, hatinya menjerih pedih. Tapi ia tak bisa bohong. Ia memang sama sekali tidak merasakan ada sesuatu yang special antara hubungannya dengan Sante selama ini.
Dan walaupun menyakitkan…
Arina terpaksa harus jujur padanya.
"Sudahlah…kau lelah. Sini bersandar padaku…." kata Leo sambil merengkuh Arina untuk bersandar di pundaknya karena ia tahu kalau Arina sebentar lagi pasti menangis tersedu-sedu.
Maafkan aku, Sante….
Dan selamat tinggal….
.