Rachel, Luna, dan Grace kini sedang berada di dalam ruang ganti karena tepat setelah bel masuk berbunyi adalah jadwal mata pelajaran Olahraga.
"Gila ya lo pada, semalem gue lagi seneng main kabur aja. Mau cerita juga, Nggak setia kawan lu".
"Kan gue udah bilang mau ngelanjutin ngerjain tugas Chel" Luna menyahuti sambil melipat seragamnya agar nanti tidak kusut.
"Tau tuh, lagian bagus dong lo ada temen modelan kita gini. Antimeanstream" ucap Grace setelah menekuk lengan kausnya. Rachel yang mendengar hal itu hanya mengernyitkan keningnya, IQ nya yang terlampau jongkok tidak bisa menangkap arah pembicaraan Grace.
"Maksudnya tuh model temen yang nggak dateng pas lagi seneng doang dan pergi pas susah gitu lho Chel" terang Luna kemudian. Rachel yang baru paham setelah mendengar penjelasan Luna sontak mengangguk-anggukan kepalanya.
"Ahh lemot lu Chel" Grace mendengus sebal sementara Rachel malah nyengir.
Tidak ada satupun permainan yang menarik minat Rachel dan kawan-kawan. Oleh karena itu, setelah melakukan pemanasan mereka langsung mengasingkan diri di tepi lapangan basket. Seakan topik pembicaraan diantara mereka tak ada habisnya, gelak tawa terus mengisi waktu yang berlalu. Rachel nampak sangat asik dengan dunianya hingga ia tidak menyadari bahwa terdapat bola basket yang melaju tepat ke arahnya. Rachel merasakan ada benda keras yang menabrak kepalanya sebelum dunia terasa berputar dan pandanganya menggelap.
Rachel perlahan membuka matanya, hal yang pertama kali dia dapati adalah langit-langit atap berwarna putih. Rachel berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dia bisa berakhir disini, di UKS. Rachel merasakan ada sesuatu di telapak tanganya, ternyata Aldo sedang menggenggam jemarinya sambil memainkan ponsel. Meskipun pening masih bersarang di kepalanya, Rachel berusaha menarik tubuhnya untuk menyandar di dinding. Aldo merasakan gerakan pada tangan yang semula ia genggam. Dia pun mendongak dan mendapati Rachel yang ternyata sudah siuman. Aldo membantu Rachel Agar dapat duduk dengan nyaman sebelum menanyakan keadaanya.
"Gimana? Udah baikan Chel?". Rachel hanya menganggukan kepalanya dan dibalas senyuman oleh Aldo. Mereka terdiam hingga beberapa menit setelahnya.
"Sekarang jam berapa Do. Kok udah sepi?" Rachel bertanya dengan suara lemah.
"Udah pulang dari tadi". Aldo membantu Rachel berdiri dan memapahnya hingga ke parkiran. Aldo mendudukkan Rachel di kursi samping kemudi. Setelah itu, Aldo berlari kecil memutari mobil dan mulai melajukan mobilnya. Setibanya di apartemen, Aldo langsung menuntun Rachel menuju kamarnya.
"Makasih ya Do" ucap Rachel tulus. Aldo hanya tersenyum, lantas ia pamit untuk pulang.
Rachel berbalas pesan dengan Aldo sebelum ia tertidur. Baru saja hendak memejamkan matanya, ponselnya kembali bergetar. Rachel menggeser locksceen nya dan membuka aplikasi Whatsapp. Dahinya terbagi menjadi beberapa lipatan. Layar ponselnya menampilkan beberapa pesan dari Altair Regan Siregar, kakak kandung Rachel. Regane memang sering mengirimi Rachel pesan, bukan untuk bertukar kabar tetapi hanya berisi ujaran kebencian dan cacian. Rachel dan Regan memiliki selisih usia 3 tahun, meskipun tidak terlampau jauh tapi dua bersaudara itu tidak pernah akur. Dimata Rachel Regan hanyalah penjilat yang selalu mengenakan topeng didepan keluarga besarnya. Regan akan bersikap baik dan terobsesi untuk menjadi yang terbaik di depan Roy. Tak heran jika Roy acap kali membangga-banggakan Regan di depan kerabat dan rekan bisnisnya. Padahal Rachel pun kerap menjumpai Regan di kelab dan arena balap liar. Rachel akui Regan sangat handal memainkan peran protagonis dan menyembunyikan jati dirinya di balik kemunafikan.
Regan Siregar : Bitch!
Regan Siregar : Gk usah sklh aja lo drpd malu2 in
Regan Siregar : Gw jamin lo gk bakal lulus. Liat aja!
Rachel mengeratkan genggaman ponselnya, giginya bergemeletuk menahan emosi. Ia heran mengapa Regan suka sekali mengusik ketenanganya, sudah berkali-kali dia mengeblock Idline Regan tapi berkali-kali juga Regan mengganti Idlinenya. jika lelaki itu ada di hadapanya mungkin wajahnya kini sudah penuh cakaran.
Rachel dan kawan-kawan kini sedang duduk di bangku sudut kantin meski jam baru menjukkan pukul 09.00 WIB. Ya, mereka memutuskan untuk mabal setelah Rachel membujuk Grace dan Luna sejak jam pertama tadi.
"Ngapin lo ngebet banget ngajakin kita mabal?" Grace membuka suara tepat disaat Luna pergi memesan makanan.
"Nggak papa, emang salah?". Rachel mengedikkan bahunya sambil menggeser sepiring siomay yang baru saja Luna suguhkan.
"Lah kampret gue kira kenapa. Gara-gara lo Grace Binanggal yang notabene murid teladan seantero harapan bangsa dengan berat hati harus mabal tau"
"Bodo amat!!"
"Eh kemarin pulang sama siapa lo? Sorry banget kita nggak bisa nganter" Rachel menoleh ke arah Luna.
"Nggak papa, lagian gue pulangnya juga dianterin Aldo kok. Sumpah ya bisa melting gue lama-lama. Lah lo pikir aja dia megangin tangan gue terus sampe gue bangun. Coba aja gie liat pas dia gendong gue ke UKS" Rachel berceloteh dengan mata yang berbinar. Sementara itu Grace memutar bola matanya malas.
"Lah apaan sih Chel. Jelas-jelas kemarin yang gendong elo tuh si Bimo" "Mana Aldo dicariin di kelasnya nggak ada lagi, denger-denger dia baru jengukin lo pas jam pulang sekolah" sambung Luna. Rachel meletakkan garpunya di piring, ternyata ekspetasinya tentang Aldo sejak kemarin terlalu tinggi. Rachel berusaha mengalihkan topik pembicaraan, akhirnya ia menceritakan pesan yang dikirim oleh Regan semalam.
Grace dan Luna memang sudah tahu permasalahan Rachel dengan keluarganya. Sejak kecil Rachel memang tidak dilimpahi perhatian, Papanya hanya sebatas mencukupi kebutuhan Rachel secara financial tidak seperti Regan, saudara kandungnya.
"Tuh mulut minta dicabein. anjir lemes banget". Grace geram dengan tingkah kakak sahabatnya itu. Rachel sendiri juga bingung mengapa kehadirannya seakan tak di harapkan di dalam keluarga Siregar, bahkan dirinya tidak diberi kesempatan lebih untuk berinteraksi dengan Sarah, mamanya sekaligus satu-satunya orang yang mengakui keberadaanya. Regan mungkin saja tidak menyukai adiknya karena mengkhawatirkan posisinya dalam list ahli waris Roy Siregar, tapi untuk Papanya? Rachel tidak mendapatkan satu spekulasipun yang mungkin menjadi alasan untuk Papanya membencinya. Toh dia darah dagingnya sendiri. Menerka-nerka hal yang tidak pasti membuat Rachel semakin lelah.
"Lo harus buktiin kalo lo tuh bisa lulus Chel. Ya walaupun gue tahu kalo kebegoan lu tuh udah mengakar sih. Jadi mungkin agak susah aja". Entah Grace menyemangati atau merendahkan dirinya, tapi Rachel pikir ucapan Grace ada benarnya juga. Dia harus berusaha lebih agar bisa mematahkan ucapan Regan sialan
"Terus gue harus gimana dong. Kan lo sendiri juga tahu selama ini gue gimana". Rachel menaikturunkan alisnya, dia harap sahabat-sahabatnya itu dapat memberi solusi yang tepat.
"Yee.. Lo sih bego banget kerjaanya mabal doang. Kalo gini ribet ndiri kan lo?".
Luna langsung menyikut lengan cewek jadi-jadian di depannya ini, bukanya memberi solusi justru mulutnya semakin membuat semangat Rachel down saja.
"Tenang aja Chel kita bisa kok bantuin lo. Mulai besok setiap pulang sekolah kita bisa belajar bareng. Gimana?". Rachel sejujurnya enggan sekali untuk mengiyakan tawaran Luna, tapi nampaknya dia harus sedikit mengalah terlebih dahulu sekarang.
Seperti janji yang telah disepakati tadi, disinilah Rachel berada sekarang. Bau khas buku lama terus mengusik indra penciumannya, tumpukan buku yang berjajar rapi dari ujung ke ujung seakan mampu membuatnya buta, dan keheningan yang ada mungkin perlahan dapat membunuh Rachel jika dirinya terus-menerus berada di tempat ini, perpustakaan sekolah. Terhitung sejak dirinya bersekolah disini, mungkin ini kunjungan keduanya ke dalam perpustakaan. Entah kapan dia mengunjungi tempat ini untuk pertama kali, yang jelas itu suda sangat lama sampai-sampai ia tak bisa mengingatnya. Berulang kali Rachel melirik jam yang terpampang di ponselnya karena sudah lewat 30 menit dari waktu perjanjian tapi Grace dan Luna masih belum penampakan batang hidungnya. Kalau saja semua ini bukan untuk harga dirinya, mungkin sekarang status Rachel sudah menjadi buronan karena terlibat kasus pembunuhan 2 siswi SMP.
Setelah Rachel menunggu hampir 60 menit, akhirnya pintu perpustakaan. terbuka dan menampilkan figur sahabat-sahabatnya itu.
"Sialan dari mana aja lo. Ngaret 1 jam. Telpon gue nggak diangkat, spam gue nggak diba—". Ocehan Rachel terpaksa berhenti karena mulutnya dibekap oleh Luna. Bayangkan saja, mereka sekarang menjadi pusat perhatian siswa-siswa yang ada di perpustakaan bahkan mereka mendapat pelototan tajam dari Bu Miwi, pustakawan SMP Harapan Bangsa. Rachel tetap meronta meminta dilepaskan karena dia masih belum selesai mengomel, akhirnya ia pun ditarik paksa oleh teman-temanya ke luar ruangan.
Setelah duduk di salah satu sudut kafe outdoor, barulah Rachel membuka suara kembali. Dia ngomel-ngomel persis seperti emak-emak yang mendapati anaknya mampir dulu ke warnet sehabis pulang sekolah.
"Ya maap atuh Chel, tadi pas gue nyuruh lo duluan tuh sebenernya gue lagi mules. Jadi ya ke toilet dulu deh". Terang Luna sambil menatap wajah Rachel yang sudah sekusut kain pel.
"Lo boker apa lahiran anjir. Lama amat" ucap Rachel sarkastik.
"Abis ritual gue tadi diajakin Grace mampir dulu di kantin, makan sambil ngobrol gitu. Eh tau-tau udah sejam aja hehe". Luna menjawab Rachel sambil cengengesan sementara gadis dihadapanya kini semakin memberengutkan wajah. Sebenarnya Rachel tak tahu harus apa sekarang, jika ditanya apa yang tidak ia pahami soal pelajaran hari ini jawabanya sudah pasti semuanya tak ia pahami. Jadi, Rachel memilih mengiyakan segala pertanyaan Luna dan sok-sokan paham jika Luna selesai berceloteh panjang lebar.
Rachel kini sedang berdiri di balkon, menumpukan tubuhnya di pagar sambil sesekali menyesap teh madu nya. Meskipun kedua bola matanya kini tengah memandang ramainya jalanan kota yang tengah diguyur hujan, tapi pikirannya entah berkelana kemana. Rachel membuka kembali memori lamanya, mengingat setiap detail kenangan yang dulu ia alami.
Langit terlihat sangat kelam, awan gelap terus bergerombol memenuhi langit-langit dibarengi kilat yang menyambar kesana kemari. Seorang gadis kecil berseragam merah putih nampak gelisah di dalam kelas, beberapa kali ia melongokkan kepala ke luar jendela sehingga tak jarang mendapat teguran dari guru yang berdiri di depan kelas. Setelah duduk di dalam kelas 45 menit lebih lama daripada hari biasanya akhirnya kegiatan belajar mengajar di hentikan. Gadis kecil itu dengan segera berlari keluar kelas, mengabaikan guru yang tengah mengucapkan salam. Gadis itu berlari menuju gerbang sekolah, mengedarkan pandangan untuk mencari seseorang yang tadi pagi mengantarnya ke sekolah. Tak ada satupun orang yang ia kenal di depan gerbang, mungkin mereka wali dari siswa lain. Akhirnya gadis itu berlari kembali ke dalam sekolah menuju kelas yang ada di ujung koridor, kelas Regan. Sepi, tak ada satu orang pun didalamnya. Apakah Regan sudah pulang duluan? Tetapi tadi pagi ayah bilang akan menjemput mereka? Pikirnya dalam hati. Gadis itu kemudian duduk di bangku yang terletak di koridor kelas. Rintik hujan semakin pekat disertai Angin yang mulai berhembus kencang. Gadis itu memejamkan matanya kemudian merapatkan jaket tipis yang melekat di tubuhnya. Sudah cukup lama ia menunggu, tak ada tanda-tanda hujan untuk mereda dan tak ada tanda-tanda kemunculan orang yang sedari tadi ia harapkan. Dengan perasaan berkecamuk akhirnya ia berlari menembus hujan, membiarkan tetes demi tetes air hujan menerpa wajahnya. Dia berharap dengan begini dapat menyamarkan hujan deras yang turun di kedua pipinya. Kakinya mulai berat untuk melangkah, bibirnya gemetar, dan penampilanya sangat kacau. Dengan pakaian yang sudah basah kuyup akhirnya gadis itu masuk kedalam rumah mewah bercat putih. Saat membuka pintu rumah hal yang pertama kali ia dapati adalah pemandangan seorang lelaki paruh baya dengan seorang anak laki-laki sedang menonton tv di ruang keluarga. Gadis itu tersenyum miris mengetahui bahwa ternyata ayahnya sudah pulang terlebih dahulu tanpa menunggunya. Sesak memenuhi dada gadis kecil itu, ia melangkah menuju kamarnya mengabaikan seorang wanita paruh baya yang tengah duduk di kursi roda. Ia membanting tasnya dan meluruhkan diri di lantai, menekuk lutut kemudian membenamkan kepalanya kedalamnya. Tangisnya berhenti saat ada seseorang yang membelai lembut rambutnya. Gadis itu mendongak, mendapati mamanya di hadapanya.
"Rachel minum ini ya, jangan lupa mandi nanti kamu sakit lho". Mamanya berucap dengan lembut seraya melempar senyum yang mampu menghangatkan hatinya. Rachel menganggukkan kepalanya sambil meminum teh madu yang Mamanya berikan.
"Mama ngapain disini? Mama kan harusnya istirahat, ayo Papa antar ke kamar. Mama nggak usah mikirin anak ini, dia udah besar harusnya sudah tahu kalau pulang sekolah itu ya pulang nggak keluyuran dulu". Ucapan tegas Papanya sangat menohok hati Rachel, keluyuran katanya? Apa Regan tidak bilang kepada Papa kalau Rachel ada pelajaran tambahan?. Pertanyaan-pertanyaan itu hanya menggantung didalam benaknya. Papanya pasti tidak akan percaya dengan apapun yang ia ucapkan, jadi daripada dia dan Papanya cek-cok didepan Mamanya, ia lebih memilih pergi ke kamar mandi. Membenamkan wajanhya ke dalam bathup hingga ia susah untuk bernapas.
Sekelebat memori kelamnya buyar setelah Rachel mendengar suara ketukan pintu apartemenya. Ia membukakan pintu, darahnya berdesir hebat. Ia mendapati Aldo yang mabuk berat sambil dipapah oleh seorang wanita, Rere.
"Ngapain lo kesini?" tanya Rachel sarkastik.
"Gue cuman nganter cowok lo. Dia tadi mabuk sendirian di kelab. Gue nggak tega ninggalin. Pas gue tawarin pulang dia nggak mau. Yaudah gue bawa kesini. Jadi pacar nggak guna banget sih lo cowok ada masalah aja lo nggak tahu. Atau jangan-jangan lo nggak dianggep kalik ya" Ucapan Rere sukses membuat darah Rachel mendidih. Rachel segera merebut Aldo dari papahan Rere dan membanting pintu apartemenya kemudian membaringkan Aldo di kasur. Gerakan Rachel untuk melepas kancing kemeja Aldo sempat terhenti karena ia melihat noda lipstick di kerah kemejanya, dilihat dari warnanya ini sama persis dengan lipstick yang tadi dipakai Rere. Dasar Bitch. Rachel kemudian meninggalkan kamar setelah menyelimuti Aldo.
Rachel menyandarkan kepalanya di sofa. Pikirannya yang kacau semakin dibuat kacau oleh ucapan Rere. Memang selama ini dia dan Aldo jarang menceritakan masalah pribadi diantara mereka. Mungkin besok ia akan bertanya kepada Aldo perihal masalahnya, tapi untuk masalah Rachel sendiri jujur ia belum sanggup untuk membaginya dengan Aldo.
🌻🌻🌻
TBC!!