"Rin, boleh pinjam tanganmu sebentar?" Tanyanya.
"Tenang saja Mas. Aku pasti bakalan cek kondisi Mas lagi kok." Ucapku malu.
"Bukan. Aku masih mau istirahat. Biasanya Mama suka mengusap kepalaku kalau aku sakit begini."
Aku diam.
"Maaf. Kalau ga boleh ya ga apa apa. Kepalaku rasanya pusing sekali."
Aku masih diam. Aku lihat tangannya menggenggam kepalanya. Sepertinya rasa pusingnya tak tertahankan. Aku mulai memberanikan diri untuk menyentuh rambut hitam lebatnya. Meraih ubun ubun di kepalanya.
Aku mengusap lembut kepalanya. Ini pertama kalinya untukku. Mungkin ini bisa jadi kesempatan untukku agar bisa mengenali fisiknya.
Sebenarnya sampai sekarang aku juga tidak berani menanyakan mengapa dia sampai jatuh sakit seperti ini.
Dari pada aku sibuk mencari tahu, lebih baik aku sibuk mengurus srigalaku ini. Oh bukan anak anjingku. Sekarang lebih mirip anak anjing dari pada srigala.
Aku masih mengusap kepalanya. Sepertinya memang benar benar sudah tertidur lagi. Tapi aku belum tega meninggalkannya. Aku tidak rela melepaskan tanganku dari kepalanya.
Aku suka rambutnya. Aku suka bentuk kepalanya. Aku suka dia. Iya, cuma dia. Dan akan selalu dia.
Perlahan aku mengangkat tanganku. Aku mula menjauhkannya. Dia terbangun. Ya Tuhan, bukan aku bermaksud membangunkannya.
"Maaf Mas. Aku ga bermaksud bangunin."
"Aku mau ke kamar mandi. Dari tadi aku belum buang air."
"Mau aku bantu Mas?"
"Aku bisa sendiri."
Dia berjalan ke kamar mandi dengan langkah lunglai. Tidak tega rasanya melihat srigala yang biasanya ganas tidak berdaya.
Aku hanya bisa menunggunya. Khawatir. Cemas. Pasti itu semua aku rasakan. Hanya saja aku tidak berani. Takut lancang. Apa lagi tembok es kita belum sepenuhnya runtuh.
Cukup lama dia di kamar mandi. Aku takut jika terjadi sesuatu dengannya. Tanpa aku sadari, aku malah berjalan mendekati kamar mandi.
"Mas, udah selesai?" Tanyaku khawatir.
"Udah." Ucapnya santai setelah keluar dari kamar mandi.
Dia kembali dengan langkah beratnya. Aku berusaha membantunya. Dia hanya diam dan tidak menolak. Aku tuntun ke arah ranjang.
Dia melihat ke arah nakas di samping tempat tidur. Mencari ponselnya. Jangan di tanya sudah berapa kali ponsel itu berdering. Tapi dengan segera aku senyapkan.
Setiap nada dering yang keluar dari ponselnya seperti bom waktu yang siap meledak dan siap memisahkan kami lagi.
"Mas, kata dokter, Mas Banyu harus banyak istirahat. Jangan kerja dulu ya." Pintaku saat dia sudah menggenggam ponselnya.
Dia hanya mengangguk. Tapi matanya belum sepenuhnya lepas dari ponsel itu.
"Mas.."
"Iya. Aku tahu." Jawabnya seperti kecewa.
Apa mungkin dia kecewa karena tidak bisa bekerja. Atau malah kecewa karena pesan dan telepon dari Laras yang sedari tadi terabaikan.
Dia kembali meletakkan ponselnya. Meringkuk di bawah selimut.
Aku beranjak dari ranjang. Sepertinya dia kembali tidak mempedulikan aku. Atau hanya perasaanku saja.
Aku berpamitan untuk membuatkan makan malamnya dan dia hanya mengangguk saja.
Mengapa dia kembali membangun tembok esnya. Apa aku salah karena memintanya untuk beristirahat.
Aku tidak boleh memikirkan yang tidak tidak. Aku tidak boleh egois. Kesehatannya saat ini jauh lebih penting.
Aku segera membuatkan sup ayam untukknya. Sepertinya dia lebih butuh protein saat ini. Semoga saja dia suka.
Aku segera membawakan sup yang masih panas ini. Aku berharap ini bisa meredakan sedikit pusingnya. Menyegarkan sedikit bandannya.
Aku kembali ke kamar. Melihatnya yang ternyata berbaring dengan menyalakan TV.
"Mas, aku buatin sup. Tunggu agak hangat baru dimakan. Ini masih terlalu panas. Aku mau mandi dulu."
"Iya."Jawabnya masih lemas.
Aku segera membersihkan diriku. Sekitar sepuluh menit aku pun keluar dari kamar mandi.
"Mas, supnya udah dimakan?" Tanyaku saat keluar dari kamar mandi dengan balutan handuk di kepala dan handuk kimono yang masih membalut tubuhku.
Mas Banyu hanya menatapku. Dia masih tidak bergeming. Aku mulai berjalan ke meja rias.
"Udah!" Jawabnya tegas dan segera mengalihkan pandangannya ke TV.
Aku duduk di meja riasku berusaha mengeringkan rambut panjangku. Sempat terbesit dalam pikiranku, apakah Mas Banyu mulai menyukai aku?
Semoga saja iya. Semoga doaku segera terkabul. Semoga usahaku mulai menghasilkan. Aku mulai senyum senyum sendiri di depan meja riasku.
"Oh ya, Mas udah minum obat?" Tanyaku tiba tiba karena lupa belum menyiapkannya.
"Belum." Ucapnya masih dengan menonton acara berita.
Aku segera berjalan ke arahnya. Menyiapkan obatnya. Aku letakkan di nakas.
Aku segera mengambil pakaian gantiku. Kembali aku masuk ke kamar mandi.
"Mas, kenapa obatnya belum diminum?" Tanyaku heran.
"Iya, aku minum." Jawabnya dengan menoleh kearahku.
'Tadi buru buru buang muka, sekarang udah mau menatapku lagi. Sebenarnya aku harus gimana sih?' Batinku.
***
Hari sudah pagi. Tanpa aku sadari aku terbaring dengan tanganku yang masih di atas kepala Mas Banyu.
Semalam Mas Banyu meminta untuk diusap usap kepalanya. Katanya masih pusing. Karena terlalu lelah aku malah tertidur di sebelahnya. Padahal tembok kami sudah hampir runtuh.
"Udah bangun?" Suara Mas Banyu mengagetkan aku.
"Maaf Mas. Aku ketiduran. Maaf maaf banget. Aku lancang udah tidur di sebelah Mas Banyu. Maaf." Aku segera berdiri dan pergi ke kamar mandi.
Hatiku berdegup tidak karuan. Apa Mas Banyu marah? Dia tadi juga tidak mengatakan apa pun.
'Bodoh. Kalau dia makin marah dan membenciku bagaimana?' Batinku.
Aaarrrgggghhhh....
Aku benci diriku saat ini. Bagaimana caranya aku bertemu dengannya. Apa aku masih bisa menatapnya?
Aku harus segera menyelesaikan mandiku. Lalu aku bisa membuatkannya sarapan. Dengan begitu aku masih bisa menghindarinya.
Saat aku keluar dari kamar, aku malah tidak melihatnya. Apa dia benar benar sudah sehat. Aku mencarinya. Ternyata dia sudah keluar kamar.
"Besok, aku akan usahakan untuk ke cafe. Kamu tenang aja. Aku udah lebih baik." Ternyata dia sedang menerima telepon.
Oh Tuhan. Telepon dari mana? Apa itu Laras? Apakah ini artinya perangku masih berlanjut. Tembok Es yang perlahan aku bongkar ternyata masih kokoh berdiri.
"Iya. Salam untuk Ibu dan Amira." Benar dugaanku.
Sakit sekali rasanya. Aku sudah rela untuk tidak bekerja demi merawatnya. Aku rela lari lari di rumah sakit untuk mengurusi administrasi dan kebutuhannya. Ternyata balasannya sayatan dan tusukan sembilu yang dalam.
Air mataku sudah menetes. Kenapa harus begini lagi. Apa aku tidak pantas dicintai. Apa yang salah dari diriku?
Aku segera menuju dapur. Berusaha untuk melupakan kesedihanku. Aku mulai bergelut dengan semua bahan bahan dapur.
"Garin, kamu baru bangun?" Tanya Mama.
"Iya Ma. Kesiangan."
"Udah, ga usah masak Rin. Kamu kan pasti cape ngurusi Banyu yang sakit." Aku diam.
"Garin, kamu anak kami. Jangan anggap menyiapkan makanan adalah kewajiban kamu. Garin temani Papa ngobrol ya." Papa memintaku keluar dari dapur.
"Iya Pa." Aku segera beranjak.
Aku ingin menangis. Ingi sekali aku adukan semua apa yang telah anak laki laki mereka lakukan kepadaku selama ini. Ingin aku ceritakan semua perlakuan anaknya.