Sejak sepulang dari acara pernikahan temanku, badanku sudah mulai tidak bersahabat. Padahal Garin sudah tampil cantik hari ini.
Aku melihat kearahnya. Entah apa yang aku rasa, jantungku berdegup dengan kencang. Aku ingin sekali mengajaknya berbicara saat berada di mobil. Tapi rasa mual dan pusingku mengurungkan semua niatku. Aku memilih memutar lagu.
Aku kuatkan agar bisa mengemudikan mobilku sampai di rumah. Aku melihat bayanganku di kaca yang tidak pucat. Semoga saja besok sudah segar lagi.
Begitu tiba di rumah, kami malah di sambut si pria brengsek. Dia meminta kami berpose untuk mengambil gambar kami. Aku tidak masalah. Apa lagi Garin begitu cantik malam ini.
Tapi begitu rasa mual itu kembali, aku semakin malas meladeninya. Syukur syukur aku masih mau difoto, tapi dia malah meminta aku menggunakan jas lagi.
Begitu masuk ke rumah badanku semakin tidak enak. Aku segera mengganti pakaian yang sudah disiapkan istriku seperti biasa.
Semakin malam rasa dingin ini semakin menyerap di tubuhku. Ingin sekali aku berpindah ke ranjang. Tapi takut mengganggu Garin.
Badanku juga sudah sangat lemas, kepalaku pusing sekali. Biasanya Mama akan mengusap usap kepalaku jika pusing ini melanda.
Aku melihat Garin bangun. Aku tidak bisa memanggilnya. Suaraku seperti menghilang. Badanku lemas tak berdaya. Dia sepertinya keluar kamar.
Entah sejak kapan dia masuk ke kamar lagi. Dia sudah menyentuh pipiku, lalu dahiku. Aku segera meraih tangannya. Tapi badanku terlalu lemas. Aku tidak bisa mengatakan apa pun saat itu.
"Mas Banyu, Pindah ke ranjang saja." Ucapnya.
Syukurlah dia segera mengetahui jika aku sakit. Dia berusaha membantuku berdiri. Berpindah dari sofa ke kursi.
Dengan sabar dia mengikuti langkahku. Aku melihatnya penuh rasa khawatir. Aku berbaring di atas ranjangku sekarang.
Samar samar aku mendengar dia menghubungi asistennya. Dia akan mengurusku hari ini, pamitnya pada asistennya.
"Mas Banyu makan dulu." Pintanya.
Aku pun dibantu duduk olehnya. Dia ternyata begitu sabar seperti Mama. Begitu perhatian seperti Mama.
Saat aku meminta minum dulu, dengan cekatan dia membantuku. Dia tidak protes. Dia baik sekali. Dia juga cantik. Rasa penyesalan dalam hatiku mulai tumbuh.
'Maaf Garin jika kita belum menjadi suami istri yang sebenarnya. Aku belum siap memiliki anak. Aku tidak mau nasib anakku seperti aku.' Ucapku dalam hati.
Dengan sabar dia menyuapiku. Tapi rasa mualku tidak tertahankan. Belum selesai aku makan semua bubur, aku memuntahkannya.
Dia tidak marah. Malah segera mengambilkan baju gantiku. Aku masih sempat mengucapkan maaf padanya.
Dia memintaku untuk melepas bajuku. Aku menggelengkan kepalaku. Aku tidak sanggup. Ternyata dia begitu memahami maksudku. Dengan sabar dia melepas bajuku. Menggantikan dengan yang baru.
Dia juga segera membersihkan muntahan yang ada di lantai. Dia tidak mengeluh. Garin, apa memang benar kamu yang tepat untuk aku yang seperti ini.
Beberapa saat kemudian, dia memintaku untuk kerumah sakit. Tapi aku tidak mau. Badanku lemas.
Aku kecewa saat aku tidak setuju, dia malah pergi. Meninggalkan aku yang lemas di dalam kamar sendiri. Mungkin ini juga salahku. Mana ada wanita yang terus diabaikan mau merawatku.
Ternyata dugaanku salah. Dia malah meminta sopir Mama dan satpam rumah untuk membantuku menuju mobil.
Biar tidak ribet mereka membawaku dengan kursi roda Mama. Benar, Garin membawaku ke rumah sakit.
Kepalaku sangat pusing. Tanpa aku sadari, aku menyandarkan kepalaku di bahu Garin. Sampai tiba di rumah sakit, dia dengan lembut membangunkan aku.
Saat di periksa ternyata tekanan darahku rendah. Memang selama ini aku sering mengalaminya. Padahal Mama memiliki riwayat darah tinggi. Tapi bagaimana bisa aku malah darah rendah setiap kelelahan.
Hari sudah siang saat kita keluar dari rumah sakit. Saat di mobil aku kembali menyandarkan kepalaku di bahunya.
Saat masuk rumah aku di bantu sopir dan satpam rumah untuk masuk kamar. Aku lihat Garin mengganti suhu ruangan.
Bubur sebelumnya rasanya tidak cocok. Mungkin karena aku sudah terbiasa dengan masakannya. Aku meminta Garin untuk memasakkan lagi. Aku tidak suka bubur, jadi aku memintanya untuk membuatkan yang sedikit asin.
Aku terkejut ketika Mama membangunkan aku dan mau menyuapiku. Rasanya aku lemah sekali di depan Garin jika seperti ini.
Mama menyuapi aku sama seperti Garin. Garin juga segera menyiapkan obatku. Selesai makan aku segera beristirahat. Kepalaku sangat pusing sekali. Aku segera beristirahat.
Tak terasa hari semakin sore. Aku terbangun dari tidurku. Syukurlah masih melihat Garin di sisiku.
Entah bagaimana aku menjelaskannya. Tapi rasanya tenang jika melihat dia di sampingku seperti sekarang.
Aku tidak tahu ada apa denganku. Bagaimana aku menjelaskan perasaanku ini. Aku juga tidak bisa mengatakannya.
"Rin, boleh pinjam tanganmu sebentar?" Pintaku, karena kepalaku masih tersa pusing.
"Tenang saja Mas. Aku pasti bakalan cek kondisi Mas lagi kok." Entah mengapa jawabannya membuatku sedih.
"Bukan. Aku masih mau istirahat. Biasanya Mama suka mengusap kepalaku kalau aku sakit begini." Aku memang butuh tangannya.
Dia diam saja. Aku memang terbiasa diusap usap saat sakit kepala seperti ini.
"Maaf. Kalau ga boleh ya ga apa apa. Kepalaku rasanya pusing sekali." Aku berusaha beristirahat lagi.
Tiba tiba saja kepalaku diusapnya dengan lembut. Rasa sakitku sedikit mereda. Aku mulai tertidur lagi seiring dengan usapannya yang semakin lembut.
Sudah setengah jam mungkin aku tertidur. Aku menyadari tangannya ternyata baru bergerak melepaskan kepalaku.
"Maaf Mas. Aku ga bermaksud bangunin."
"Aku mau ke kamar mandi. Dari tadi aku belum buang air."
"Mau aku bantu Mas?"
"Aku bisa sendiri."
Aku tahu dia pasti sangat lelah. Aku juga harus berusaha melakukan sendiri. Kasihan melihat dia yang kelelahan.
"Mas, udah selesai?" Tanyanya khawatir.
"Udah." Jawabku. Aku sudah merasa sedikit lebih baik.
Aku kembali dengan badan yang masih lemas. Tanpa aku meminta, dia segera mengahampiriku. Aku hanya diam dan tidak menolak karena aku masih lemas. Aku dtuntun ke arah ranjang dengan hati hati.
Aku melihat ke arah nakas di samping tempat tidur. Mencari ponselku yang sudah lama terabaikan. Aku takut jika orang orang banyak yang mencariku.
Begitu banyak panggilan masuk. Aku lihat banyak juga dari orang pabrik. Hanya Laras saja yang bertanya mewakili karyawan cafe.
Aku segera membalas semua chat dan mengabarkan bahwa aku sedang sakit. Banyak juga WA dari sahabatku yang mengajak membahas projek baru.
"Mas, kata dokter, Mas Banyu harus banyak istirahat. Jangan kerja dulu ya." Dia berusaha mengingatkan aku.
Baru saja aku merasa nyaman. Sekarang dia malah bawel. Aku sedikit malas. Mereka yang menghubungi orang orang penting.
Kepalaku semakin pusing. Aku beristirahat lagi. Sedangkan dia pergi untuk menyiapkan makan malam.
Aku sudah tidak bisa tidur. Mungkin karena sudah kebanyakan tidur dari pagi. Aku meraih remot TV diatas nakas. Aku mencari saluran berita.
Hampir setengah jam aku menonton dan tiba tiba aku mencium bau harum masakan yang sedikit menggugah nafsu makanku. Sepertinya kali ini bukan bubur.
Garin ternyata membawakan semangkuk sup ayam. Ada juga kentang dan wortel di dalmanya.
Aku kira dia bakal menyuapi aku. Ternyata dia malah pergi mandi. Tak apalah. Yang penting dia sudah menyiapkan makananku.
Aku segera menghabiskan sup itu. Tak berapa lama setelah aku menghabiskannya, Garin keluar dari kamar mandi dengan bau yang segar.
Arrggghhh...
Juniorku hampir saja beriaksi. Aku hampir saja melahapnya jika tidak sakit.
Aku suka saat dia keluar dari kamar mandi. Apa lagi leher jenjangnya yang putih juga sangat menggairahkan. Aku harus mengalihkan pandanganku. Jangan sampai terjadi apa apa.
Aku segera berbaring dan tidak menatapnya lagi. Aku takut jika juniorku memberontak. Tapi kepalaku semakin sakit karena itu.
Melihat Garin sudah selesai dan tidak memperlihatkan leher jenjangnya lagi, aku segera memintanya untuk mengusapku lagi. Aku juga tidak sadar sudah tertidur lagi.
Paginya saat aku terbangun ternyata dia masih di sebelahku. Mungkin ini saatnya untuk kita berusaha tidur bersama. Tapi saat terbangun dia malah mengucapkan kata "Maaf."
Apa dia kecewa tertidur di sebelahku? Ini memang salahku yang membangun batas terlalu tinggi dan keras.
Dia pergi meninggalkan aku. Saat itu juga Laras menelepon aku. Tapi aku ingin menerima teleponnya di luar saja. Sekalian menghirup udara segar.
Aku berharap hari ini Garin tidak kerja. Aku juga berharap dia mau merawatku lagi. Aku ingin dia menemaniku bekerja besok. Tapi apa dia mau?