Tak teras Sudah satu minggu sejak kedatangan Vian ke rumah dan sudah satu minggu itu pula Kania merasa ada yang salah dengan tubuhnya. Tubuh Kania rasanya remuk tak karuan, bahkan beberapa hari terakhir pekerjaannya juga terbengkalai karena kehilangan fokus.
Dan hari ini pun dia hanya pasrah saat kedua orang tuanya mengajak makan malam bersama keluarga Melvin. Sepanjang perjalanan dia hanya bisa termenung menatap luar jendela mobil, rencana yang sudah ia siapkan dengan matang untuk menggagalkan pertemuan malam ini pun menguap entah ke mana. Rasa sakit yang menjalar dari perut hingga panggul sukses mengacaukan hari-harinya.
Setibanya di kediaman Melvin. Vian yang sudah menunggu mereka sedari tadi langsung menyambut keluarga Kania hangat mencium tangan kedua ayah bunda Kania dan memekik bahagia kala memeluk sahabatnya.
"KAANIAA..." Pekik Vian seraya memeluk.
"Bisa tidak, kau tidak usah teriak di telingaku!" sindirnya sambil mengusap-usap telinganya.
Vian hanya terkekeh melihat wajah merajuk sahabat yang sudah seperti saudaranya itu.
"Om, Tante ayo masuk Papah sama mamah sudah menunggu di dalam." Ajaknya sembari tersenyum dan tak lupa merangkul lengan Kania.
Sejenak Kania bisa melupakan rasa sakitnya. Dipandang lekat-lekat sahabatnya, dapat dia lihat sesuatu dimata itu, sesuatu yang dapat membuat ia merasa nyaman seketika, dan sesuatu yang mampu membuat jengkel seketika juga.
Kania mengalihkan pandangan pada sisi kanan-kiri rumah itu. Taman bunga milik ibu Vian, taman yang begitu terawat dan dihias begitu cantik dengan jalan setapak menuju pintu masuk rumah.
Tenang dan asri.
Dua kata yang tepat untuk mendeskripsikan rumah sahabatnya itu. Walau gelapnya malam sudah menutupi sebagian keindahan kilaunya, bunga-bunga itu tetap terlihat elok karena diberi sentuhan pencahayaan di beberapa titik yang justru terlihat sangat elegan dimata Kania.
"Kania.." Panggilan sang bunda menyadarkan dia dari lamunannya.
"Iya?" beberapa kali Kania mengerjapkan matanya sembari tersenyum kikuk.
Ayah, bunda dan kedua orang tua Vian yang sudah berdiri menyambut kedatangan mereka pun tertawa melihat tingkah kikuk Kania, sementara Vian? Gadis itu terbahak dengan sadisnya. Pasalnya sesuatu yang langka melihat sahabat yang biasanya super formal ternyata bisa salah tingkah.
"Ayo silakan masuk." Ajak mamah Eka.
***
Dilain sisi Melvin sedang berada dikamar, termenung menatap cemas dirinya lewat pantulan cermin. Sebenarnya ia juga tidak mengharapkan perjodohan ini, namun dia juga tidak dapat berbuat apapun karena kecerobohan atas nama gengsi membuat ia berada dalam masalah yang cukup besar bagi keluarganya.
Menghela napas panjang, Melvin membalikkan tubuhnya berjalan menuju ranjang dan duduk disalah satu sisinya. Melvin hanya bisa menundukkan wajahnya sambil sesekali menyugar-kan rambut ke belakang. 'Tidak ada penyesalan datang di awal.'
Satu kalimat yang ia junjung tinggi sedari kecil melintas begitu saja di benaknya. Kalimat yang selalu di ucapkan oleh kakek Supardi kala itu.
Tok... tok... tok....
"Melvin, ayo keluar tamunya sudah datang!" Ucap Vian menyadarkan Melvin yang sedang larut dalam pikirannya.
Saat membuka pintu kamar ceramah panjang Vian -lah yang pertama kali menyambut.
"Heh... Kau," tunjuknya tepat di wajah, "awas kalau kau berani macam-ma... hmmp.." Melvin membekap mulut kembarannya dengan satu tangan.
"Iya, bawel...!"sergah Melvin. Vian pun menghentakan tangan kekar itu. "Sudah lebih dari sepuluh kali kau bilang begitu. Apa tidak bosan hmm?" tambahnya sembari memasukkan kedua lengan ke saku celana.
Vian pun berlalu meninggalkan saudara kembarnya dengan menghetak-hentakkan kaki. _Awas kau, tunggu pembalasanku!_ batin Vian.
Melvin pun menarik langkah kaki mengikuti Vian dari belakang. Sesekali ia menarik dan menghembuskan napas untuk menghilangkan perasaan grogi yang hinggap dilubuk hatinya.
'Nasib?' Mungkin.
'Takdir?' Bisa jadi.
Sayup-sayup dapat ia dengar suara papah-mamahnya saat ia menuruni anak tangga. 'Kenapa mempelai wanita yang mendatangi mempelai laki-laki? Bukankah seharusnya pihak lelaki yang mendatangi pihak wanita?' Pertanyaan itu terus berputar-putar dikepala Melvin, hingga ia tak sadar kalau sudah berada di samping Kania.
"Melvin, sedang apa kau disitu?!" Melvin menautkan kedua alisnya saat mendengar ucapan Vian.
Seisi ruang makan itupun menoleh kearah -nya. _Apa ada yang salah dari penampilanku?_. Sepersekian detik selanjutnya ia tersadar saat ia melirik seseorang yang sedang duduk disebelah kiri, tatapannya bertemu dengan manik cokelat terang milik Kania.
Beberapa saat Melvin terbius dengan pemandangan disebelah-Nya. Dia bahkan kehabisan kata-kata untuk mendeskripsikan bagaimana cantiknya Kania. Menggunakan dress putih lengan panjang, dipadukan dengan bawahan rok hitam berenda selutut dan jangan lupakan bibir pink yang sedikit memucat. 'Wait.. pucat? apa dia sedang sakit?'
"Melvin!" panggil Vian lagi.
Melvin pun salah tingkah. Dia beralasan ingin menuangkan minum untuk Kania, padahal gelas itu sudah terisi penuh sedari tadi. Semua tersenyum menggoda melihat tingkah Melvin. Tapi tidak dengan Kania bahkan ia mengabaikan godaan sang bunda yang saat ini sedang mencolek-colek lengan Kania.
"ihh...Apaan sih Bunda!" Kania pun melirik Melvin yang sudah duduk di sebelah Vian dengan tatapan sinis.
'Dasar buaya!' gumam nya
Selesai santap malam. Pak surya pun membuka percakapan.
"Sebenarnya alasan kami mengajak nak Kania makan malam disini karena kami ingin perjodohan kalian dipercepat." Ucap Pak Surya yang diangguki ayah bundanya.
Uhuk....
Baik Melvin maupun Kania sama-sama tersedak minumannya.
**********