Selesai santap malam. Pak surya pun membuka percakapan.
"Sebenarnya alasan kami mengajak Nak Kania makan malam disini karena kami ingin perjodohan kalian dipercepat." Ucap Pak Surya yang diangguki ayah bundanya.
Uhuk....
Baik Melvin maupun Kania sama-sama tersedak minumannya.
"Apa?!" Melvin membuka suara, "Papah apa-apaan sih, kenapa mendadak sekali!"
Pak Surya memilih mengacuhkan Melvin dan menatap Kania, "Alasan kenapa Nak Kania kerumah kami, agar orang-orang WO lebih leluasa dalam mendekor rumah Pak Haryo untuk pertunangan kalian besok." Dengan tersenyum Pak Surya menjelaskan.
"Pah ... kenapa pertanyaan Melvin tidak di jawab?!" Suasana menjadi tegang sekarang, "Kenapa mendadak sekali?? Tidak bisakah kami diberi waktu untuk saling mengenal lebih dekat," kata Melvin beralasan.
"Waktu? Untuk apa?!" dengan mengangkat sebelah alis nya pak Surya bertanya, "Oh ... agar kamu bisa mengatur siasat seperti dulu lagi, begitukah Melvin?!" Tambahnya dengan tersenyum sinis.
"Tapi, Pah..."
"Cukup, Melvin! Sudah cukup kamu mempermalukan nama keluarga kita. Jangan lagi kamu mengulanginya didepan calon istri kamu!"
Seperti tersambar petir Kania mendengar perkataan ayah dari sahabatnya. Bagaimana bisa secepat ini? bahkan ia saja tidak tahu kalau besok akan menjadi hari pertunangannya.
"Om Surya, maaf sebelumnya, apa pertunangan Kami tidak terlalu cepat? Bahkan Kania belum menyiapkan apapun untuk besok." Dengan lembut Kania bertanya, mana tahu ayah sahabatnya bisa luluh.
Benar saja, Pak Surya yang awalnya menatap tajam kearah Melvin akhirnya mengalihkan pandangannya berganti menatap diri -Nya dengan tersenyum.
"Kania, tidak usah khawatir semuanya sudah diatur. Kania pokoknya tinggal terima beres." Kali ini mama Eka yang bicara.
"Tapi Tante...." mendadak Kania membisu, rasa sakit yang sempat menghilang kini datang kembali. Namun entah mengapa rasa sakitnya kini terasa berkali-kali lipat dari sebelumnya.
melihat Kania menundukkan kepalanya, bunda Rani menggenggam tangan Kania dan bertanya, "Kania, kamu kenapa sayang?" Kania hanya bergeming, semua mata kini tertuju kearah Kania.
Vian sebenarnya ingin ikut membela Kania, tapi ia terlalu takut karena baru pertama kalinya sang ayah terlihat sangat marah, dan itu membuat nyalinya ciut seketika.
Sedangkan Ayah Haryo? Lelaki paruh baya itu malah ikut membujuk Kania agar tetap mengikuti semua yang sudah diatur.
Ingin sekali Kania berteriak sekeras-kerasnya sekarang, kenapa situasinya jadi semakin sulit seperti ini? Kalau saja perutnya tidak sakit mungkin ia sudah kabur dari tadi.
"Kania..." Bunda Rani terlihat cemas karena melihat Kania hanya bergeming.
"Perut Kania..." Kania terdiam beberapa saat, _tidak.. tidak.. Aku tidak boleh terlihat lemah_ dia menegakkan kembali kepalanya dan tersenyum.
"Perut kamu kenapa sayang?" Dengan cemas bunda Rani bertanya.
"Hah? Oh, itu Kania sakit perut tadi. Mungkin gara-gara makan rujak pedas tadi siang." Semua tertawa. Tapi tidak dengan Vian. Gadis itu menyipitkan matanya, tahu kalau ada yang sedang disembunyikan Sahabatnya. Sudah lebih dari lima belas tahun ia mengenal Kania. Wanita yang terkenal dengan kepandaiannya dalam berbisnis itu adalah pembohong yang sangat buruk.
"Masih Sakit tidak Kania?" Tanya mamah Eka "Apa, tante panggilkan dokter saja ya," tambahnya
"Tidak, tidak perlu tante. Sudah tidak sakit kok." Dengan senyum tipis dia menjawab.
Ayah Haryo pun tersenyum melihat putrinya yang begitu akrab dengan calon ibu mertuanya, tapi tidak heran juga karena Kania dulunya sering berkunjung ke rumah ini. Mengingat Vian sahabat Kania sejak kecil, membuat ia sedikit lega karena putrinya akan mendapatkan keluarga yang sangat baik dan penyayang.
"Melvin, tolong ajak Kania ke halaman belakang. Ajak dia bicara," ucap Pak Surya.
"Bi... bicara? Bicara apa?" Tergagap Melvin
"Tadi, Kamu bilang mau kenal lebih dekat dengan Kania, ajak dia bicara siapa tahu kalian bisa lebih akrab." Kata Ayah Haryo yang di angguki Papah, Mamahnya.
_Apa?! Bicara berdua dengan si biang onar?! Apa aku tidak salah dengar._ Ingin rasanya Kania pura-pura pingsan sekarang.
***
Akhirnya dengan terpaksa Kania duduk di Gazebo yang berada di halaman belakang rumah itu. Setelah beberapa kali beradu argumen dengan ayah bundanya, tetap saja Kania kalah. Dirinya terlalu menyayangi mereka terlebih sang bunda, menolak permintaannya saja membuat Kania merasa bersalah apalagi harus membantahnya.
"Jadi, sudah berapa lama kamu bersahabat dengan Vian." Kalimat itu meluncur dari mulut Melvin, suasana begitu canggung diantara mereka membuat ia kebingungan harus bicara tentang apa.
Kania hanya melirik dan kembali membuang pandangan, "Tidak perlu aku jawab pun pasti kau sudah tahu," jawabnya dengan malas.
Sementara Melvin hanya menggaruk tengkunya yang tak gatal sembari merutuki kebodohannya. Bagaimana bisa ia lupa kalau wanita yang sedang duduk di sebelahnya ini sudah sangat akrab dengan Vian sejak sekolah dasar. _Dasar bodoh, bikin malu saja!_
"Lalu, bagaiman—" ucapnya terpotong.
"Bisa diam! Aku sedang tidak ingin membahas apapun." Bernada dingin Kania mengatakannya. Seketika membuat Melvin merasa sangat bersalah, ia tahu kalau wanita itu sedang larut dalam pikirannya. Memikirkan perjodohan yang terkesan dipaksakan oleh kedua orang tua -Nya.
"Maaf, kalau kau harus ikut terseret dengan masalah yang aku buat." Melvin menundukkan kepalanya. Rasa bersalah yang ada di benak -Nya kian menjadi kala ia melihat Kania hanya bergeming.
Sedangkan Kania, Pikiran wanita itu berkelana entah kemana. Bagaimana takdir bisa sekejam ini? _Apa yang harus aku lakukan sekarang._ Ingin rasanya ia menghilang saja dari muka bumi ini.
**********