Suasana dapur restoran Pallazese Hotel begitu sibuk. Suara bising yang dihasilkan dari peralatan masak yang saling beradu seperti sudah menjadi agenda rutin tiap kali memasuki akhir pekan atau libur panjang.
Beberapa pramusaji juga tampak hilir mudik mengambil atau memberikan pesanan untuk para tamu. Suasana yang sudah sangat biasa bagi seorang Melvin Adipati Poetra.
Namun ada pemandangan berbeda kali ini, dan itu terlihat sangat jelas di wajah Chef muda itu.
Awan cerah tampak menghiasi setiap jengkal wajah tampannya. Bahkan beberapa kali dia melempar senyum ke beberapa staf dapur. Sesuatu yang langka mengingat Melvin orang yang sangat serius ketika bekerja.
"Weh... Kanya, itu Chef Melvin kenapa sih senyam-senyum terus dari tadi?" tanya Windi dengan nada setengah berbisik.
Kanya melirik Melvin sekilas dan berkata.
"Bukannya, Chef memang murah senyum ya?" jawabnya Kanya sekenanya.
"Iya sih... tapi kan dia jarang banget kalo lagi masak senyum-senyum gak jelas kayak gitu!"
"Udalah.. gak usah ngurusin urusan orang lain! Mending Kamu bantuin Aku nyiapin pesanan buat tamu VIP hotel." Ucap Kanya.
"Ah... Kau ini, gak asyik banget jadi orang!" Windi pun ikut membantu Kanya dengan wajah cemberut.
"Sedang apa ya gadis itu?" Kata Melvin lirih, sangat lirih hampir tidak terdengar. Pria itu tidak bisa menahan senyumnya jika mengingat kejadian dua hari lalu. Dimana untuk pertama kalinya dia melihat wajah menggemaskan milik gadis galaknya.
Dia benar-benar tidak menyangka akan jatuh cinta dengan CEO galak itu dalam waktu singkat. Jatuh cinta? Ah Yang benar saja. Kania bukan kriteria perempuan Melvin. Bagaimana bisa dia jatuh kedalam pesonanya dalam waktu yang sangat singkat.
Namun dia juga tidak menipis perasaan aneh setiap kali melihat gadis itu.
_Apa benar Aku jatuh cinta sama Kania?_ tiba-tiba saja pertanyaan itu melintas dikepalanya. Wajah yang awalnya cerah kini meredup perlahan.
Mengingat pertunangan nya minggu lalu membuat hati Melvin terasa teriris sebilah belati saat dia memasangkan cincin di jari manis gadis itu.
Pikirannya seperti terhisab lorong waktu, mengajaknya membuka lembar-lembar kejadian tempo hari yang sudah Tersusun begitu rapi dalam bingkai yang disebut memori.
Gadis itu. Gadis galaknya dibalut indah dengan kebaya berwarna putih lengan panjang dipadukan dengan bawahan rok lilit bermotif batik dibawah lutut, tak lupa tatanan rambut sanggul yang dihiasi beberapa aksesoris bunga. Sungguh Kania dengan segala pesonanya saat itu benar-benar menyihir para tamu yang datang.
Namun manusia hanya ingin melihat apa yang ingin mereka lihat tanpa mau tau apa kebenarannya. Kania yang terlihat anggun nyatanya berada di titik terberat dalam hidupnya. Dan Melvin menyadari itu. Senyum manis yang dikeluarkan gadis itu berhasil menipu para tamu yang hadir namun tidak dengan Melvin.
Pria itu tahu dari sorot mata terluka milik gadis galaknya. Jika saja Melvin tidak diancam oleh sang penguasa (Papahnya) mungkin dia akan membatalkan pertunangan itu secara sepihak.
Melvin benar-benar tidak tega melihat Kania tertekan seperti itu. Gadis itu. Gadis galaknya yang selalu menjahili dirinya sekarang harus ikut menanggung beban yang cukup berat akibat ulahnya.
"Melvin..!!" panggil Niko Manager hotel Pallazese.
Melvin mengerjap, dia terhenyak dari lamunannya. Sesaat kemudian dia terkejut dengan api yang sudah membesar di hadapannya. Semua staf langsung panik seketika. Mereka Berusaha memadamkan api sebelum membesar dan menghanguskan seisi restoran.
Melvin hanya terpaku menatap kompor yang sudah setengah hangus itu. Bisik-bisik antara staf pun terjadi. Mereka bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada Chef muda itu.
"Sudah cukup santai-santainya! Sekarang kembalilah bekerja. Gunakan dapur bagian utara. yang ini biarkan saja sampai penyelidikannya selesai." Kata Niko si manager.
Semua staf kembali dengan aktivitasnya semula tapi tidak dengan Melvin. Pria itu di tahan oleh Niko saat ingin kembali memasak.
"Kita harus bicara di ruang kerja milik Mu. Ayo!" Mereka pun berjalan beriringan menuju ruang kerja Melvin.
Sesampainya di ruang khusus milik Melvin, Niko langsung duduk di singgasana milik Chef muda itu dengan menumpangkan kedua kakinya di atas meja. Sementara Melvin hanya bersandar di sisi meja sembari bersedekap dada.
"Ada apa Vin? Kenapa Kau kacau sekali hari ini?" tanya Niko sembari memutar-mutar pulpen yang ia pegang.
Melvin menghela napas sesaat, "entahlah. Aku juga tidak tahu."
"Apa ini ada hubungannya dengan gadis cantik waktu itu?" (Kania)
Melvin mengedikkan bahu, "Mungkin.."
"Kau tahu, Kau bukan tipe orang yang ceroboh. Tapi kenapa berurusan dengan seorang gadis saja Kau mendadak jadi bodoh?!" kata Niko mengejek.
"Ini tidak semudah bayangan Mu, bodoh," balas Melvin mengejek.
Niko tertawa pelan, "setidaknya Aku lebih pintar dari Mu untuk masalah perempuan."
"Playboy cap sendal jepit!" Melvin mencibir.
"Dengar Vin!" Niko menegakkan duduknya, "Perempuan itu tulang rusuknya laki-laki. Jika Kau meluruskannya secara paksa. Kau bisa mematahkannya."
Melvin mengernyit, "Maksudnya?" Chef itu menarik kursi dan duduk di seberang Niko.
"Ck... Kau ini bodoh sekali jadi manusia!" kata Niko kesal.
"Maksudnya, tidak ada yang namanya perempuan sempurna didunia ini. Sepintar apapun mereka (perempuan), pasti akan membutuhkan seseorang yang bisa membimbing dan menuntun mereka kearah yang lebih baik lagi."
Niko membetulkan posisi kacamata nya, "makanya, Kau harus bisa berlemah-lembut kepada gadis pilihan Mu. Agar pernikahan kalian kelak bisa bahagia bersama sampai ajal yang memisahkan." Ucap Manager muda itu.
Melvin tertegun mendengar setiap ucapan yang dilontarkan sahabatnya itu. Berlemah-lembut? Apa itu bisa menjinakkan gadis galaknya? Tapi... ada benarnya juga apa yang dikatakan Niko barusan.
Jangankan berlemah-lembut. Memberi perhatian padanya saja Melvin tidak pernah. Wajar saja gadis itu seperti menghindar bahkan membencinya.
"Bengong lagi?!?" Ucap Niko sedikit kesal.
Melvin mengerjap, dia berkata, "Nik, Aku izin besok tidak masuk kerja. Kau atur saja Chef yang lain untuk menggantikan Ku sementara!" Kata Melvin yang langsung pergi dari ruangan itu.
"Mentang-mentang anak presdir, seenak nya saja izin tanpa alasan!" gerutu Niko. Namun kemudian dia tersenyum puas karena sahabatnya itu akhirnya bisa mengerti cara memperlakukan perempuan dengan benar.
**********