"Aku, pulang sajalah! Aku merasa di dzolimi disini!" kata Bima cemberut.
"Eh .... jangan dong! Gitu aja ngambek kayak ABG labil dih!." Wajah Kania memerah menahan tawa.
"ehkhm ... By the way ... semenjak lulus SMA aku tidak pernah melihatmu lagi. Bahkan saat reunian tahun kemarin ... aku juga tidak melihat kau hadir. Kemana saja kau selama ini?" gadis itu bertanya setelah meredakan tawanya. Namun senyum geli masih terlihat jelas di paras cantiknya.
Bima menghela napas pasrah. Pria itu tidak menyangka kalau Kania masih mengingat kejadian memalukan itu. Tapi dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia senang bukan main. Ya ... paling tidak ia bisa berjumpa dan melihat gadisnya tersenyum. Kira-kira seperti itulah yang dipikirkan oleh Bima.
"Aku kuliah di Italia. Setelah lulus dari SMA, aku ditawari om Erik untuk kuliah disana, beliau yang membiayai semua kebutuhanku selama kuliah. Karena merasa di biayai, aku belajar dengan sungguh-sungguh hingga aku tidak sempat pulang ke Indonesia."
"Bahkan beberapa kali orang tua ku yang berkunjung ke asrama tempat aku kuliah. Aku bertekat untuk membalas kebaikan om Erik dan membahagiakan kedua orang tuaku."
"Hingga akhirnya aku bisa seperti sekarang. Aku bisa punya perusahaan BIMA INDUSTRIES. Ya ... walau perusahaan Garmen ku itu belum terlalu besar, tapi aku bertekat untuk menjadikannya perusahaan berkelas dunia." Kata Bima menjelaskan.
Kania mengangguk. Gadis itu menyesap minumannya yang tinggal separuh.
"Keren kamu Bim. Mantan pentolan sekolah, Sekarang malah menjadi pengusaha Garmen."
Bima terkekeh.
"Oh iya, bukannya dulu kamu sama Vian pengen buka butik bareng ya?" tanya Bima.
Kania tersenyum, "Ya. Tadinya aku juga berencana seperti itu. Tapi ayah ku tidak setuju. Ayah ku ingin aku yang memegang kendali perusahaan keluarga." Wajah gadis itu menjadi sendu.
"Manusia hanya bisa membuat rencana. Tetapi tetap, kendali penuh dipegang Sang Maha Kuasa. Apapun itu, sudah pasti inilah jalan yang terbaik diantara yang terbaik yang sudah digariskan untukmu, Kania," ucap Bima menghibur.
Kania tersenyum tulus, "Makasih ya, Bim." Tangannya terulur menggenggam tangan Bima.
Bima membalas senyum Kania dan menggenggam tangan gadis itu erat-erat.
Keduanya larut dalam obrolan. yang di dominasi oleh Bima. Dari cerita-cerita receh Bima saat dia kuliah di Italia, sampai pengalaman kerja keras siang-malam yang dilakukan pria itu.
Mendengar semua cerita tentang pengalaman Bima, membuat Kania merasa bersyukur. Bisa dikatakan hidup nya jauh lebih beruntung dari orang lain. Disaat beberapa orang ada yang mati-matian membangun kariernya. Kania dengan mudahnya bisa langsung menjabat sebagai pemimpin di perusahaan keluarganya.
Walaupun pekerjaan yang saat ini dia jalani bukan seperti yang di impikannya. Bukan berarti gadis itu bisa menyalahkan takdir. Melainkan Sang Maha Kuasa lah yang sudah berbaik hati memberikan apa yang dibutuhkan Kania saat ini. Seperti yang dikatakan Bima tadi.
Tak terasa langit sudah menampakkan kerlip-kerlip bintang, menandakan waktu sudah larut malam. Kania berpamitan pada Bima untuk segera pulang.
"Kau, yakin tidak ingin aku antar?" tanya Bima. Keduanya saat ini sedang berjalan santai di parkir-an.
"Gak usah, aku biasa kok bawa mobil sendiri. Lagi pula aku khawatir dengan kondisimu. Nanti ... kau mimisan lagi jika berduan sama aku didalam mobil." Ejek Kania yang langsung dibalas tatapan jengkel Bima.
"Kau tenang saja aku sudah banyak berubah. Apa perlu aku buktikan saat ini juga??" Bima mengedipkan sebelah matanya.
Kania mendelik jijik. Gadis itu berkata, "Dih .... mau banget berdua-duan sama aku."
"Lho ... bukanya tadi kau yang meragukan aku?"
"Aku tidak meragukanmu, tapi aku sedang mengejekmu!" Kata kania lalu menjulurkan lidahnya. Mengejek.
Bima terkekeh. Pria itu mencubit hidung Kania gemas. Canda tawa mengiringi perjalanan mereka sampai Kania masuk kedalam mobilnya. Bima melambaikan tangan kearah mobil Kania saat perempuan itu melajukan kendaraannya.
"Wah ... wah ... wah ... tuan muda dari BIMA INDUSTRIES sepertinya akrab sekali dengan calon istri saya!" ucap Melvin menekankan kata calon istri, saat mobil Kania sudah tidak terlihat.
Bima menoleh kearah suara itu. Pria itu tersenyum miring, "Ya. Kami memang sangat akrab. Dan sepertinya calon istri anda sangat suka berbincang-bincang dengan saya. Bahkan ... saya melihat calon istri anda sepertinya menyukai saya!" Kata Bima menyombongkan diri.
Melvin mencengkeram kerah baju Bima dengan mata memerah. Marah. "Jauhi Kania kalau kau ingin hidupmu tetap damai!!" desis Melvin tajam.
Bima tertawa sumbang. Pria itu mendorong Melvin dengan kuat hingga Chef itu melepaskan cengkeramannya.
"Cih ... apa hakmu melarang aku mendekati Kania, Huh??!" Bima melipat tangannya kedada.
"Teman macam apa yang berani mendekati calon istri dari sahabatnya sendiri hmm??!. Apa didunia ini sudah kekurangan wanita, sampai-sampai kau menggoda gadisku?!!." Ucap Melvin berapi-api.
Bima menaikkan sebelah alisnya, "Gadismu kau bilang?!? Apa kau lupa, saat di asrama dulu aku pernah bercerita kalau aku mencintai seorang gadis."
"Gadis yang membuatku punya semangat sampai harus belajar di negeri orang. Gadis itu Kania MELVIN!!"
Melvin bergeming. Bima mendekat kearah Chef itu.
"Dulu sewaktu aku sekolah, aku pernah berpikir. Apa aku layak menjadi pendamping hidup Kania. Aku yang hanya seorang anak Pegawai Negeri Sipil, apa pantas menjadi menantu keluarga Haryo Wijaya yang merupakan seorang pengusaha kaya raya."
"Susah-payah aku kuliah sampai harus banting tulang membangun sebuah perusahaan hanya untuk menjadi layak bersanding dengan Kania. Tapi apa yang aku dapat sekarang?? Kau datang dan menghancurkan semua mimpiku hanya demi memperbaiki nama baik keluargamu!!!" ujar Bima.
Melvin tercekat mendengar perkataan sahabat semasa kuliahnya dulu.
*********