Matahari sudah menukik kearah barat, itu artinya senja sudah dihadapan. Namun pekerjaan Kania masih juga menumpuk tak terselesaikan. Entah kenapa ia merasa seperti kehilangan gairah pada dokumen-dokumen perusahaan yang selalu menjadi candunya.
"Ini gara-gara Melvin, brengsek!!" gerutunya pada diri sendiri.
Kilas balik kejadian tadi pagi hinggap begitu saja dikepalanya tanpa permisi. Aroma kopi bercampur mint dari bibir lelaki itu terus saja membayang-bayanginya sepanjang hari. Wajahnya memanas saat mengingat bagaimana ia begitu menikmati setiap kecupan manis dari Melvin.
_Apa?!!_
Kania menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja dipikirkanya. Gadis itu mengambil tisu lalu mengelap bibirnya yang sebenarnya tidak ada apa-apa disana.
Sudah sejak pagi tadi, gadis itu tidak berhenti mengelap bibir nya sendiri. Bahkan saat baru tiba di ruangannya, ia langsung berlari kekamar mandi khusus yang berada diruangannya untuk mencuci wajahnya dengan sabun cuci muka. Ia tidak rela jika ada 'bagian' dari lelaki itu menempel di bibirnya.
Suara ketukan pintu membuyarkan fantasi liar dikepala cantiknya. Ia sudah tahu jika Moura yang berada diluar pintu, ia berkata, "Masuk!"
Berjalan masuk. Moura tersenyum dan berkata, "Permisi Bu, ada seorang laki-laki yang ingin bertemu." Ucap sang sekretaris saat sudah berdiri di seberang meja.
Manik mata Kania terbuka lebar. Jantungnya berdegup dengan kencang. Mau apalagi Chef menyebalkan itu datang kemari?? Tidak cukupkah dia sudah mengacaukan hidupnya pagi ini??
"Bilang saja saya sedang sibuk dan tidak terima tamu!"
"Tapi Bu, dia dari—"
"Moura! Sudah saya bilang, saya sedang sibuk! Usir saja pria menyebalkan itu!!" Kata Kania meninggikan suaranya.
"Memangnya saya salah apa sampai harus diusir?" Kania dan Moura serempak melihat kearah pintu.
Pria itu langsung saja masuk tanpa mengetuk saat mendengar suara Kania meninggi.
"Maaf kalau kedatangan saya mengganggu, Bu Kania." Ucap Bima sopan.
"Pak Bima ... Maafkan saya. Saya pikir...." Kania menggantung ucapannya. Gadis itu tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya.
"Ah ... bukan sesuatu yang penting." Kania melirik tajam sekretarisnya yang diam-diam tersenyum geli. Sepertinya sekretarinya tahu siapa yang dimaksud pria menyebalkan tadi.
"Silahkan duduk Pak. Saya akan mempersiapkan berkas-berkas untuk kerja sama kita." Kania membisikkan sesuatu ke Moura sesaat setelah mempersilahkan Bima duduk.
Moura pamit undur diri dan Kania mengantarkan klien nya duduk di sofa.
Kania menyerahkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk kerja samanya dengan Bima. Lelaki itu ingin membangun sebuah Cafe dengan konsep Milennial dikota Bandung. Dan ia sedang mencari desain furnitur yang tepat untuk Cafe yang akan ia bangun.
Akhirnya Bima memilih untuk bekerja sama dengan perusahaan Kania. Ya. Magatama.Corp adalah perusahaan kenamaan yang bergerak dibidang penjualan dan desain furnitur. Banyak restoran dan hotel bintang lima yang sudah menjadi kliennya. Salah satunya hotel RoyalRose's di Bali milik keluarga Melvin.
Setelah dialog panjang tentang kerja sama yang akhirnya disetujui Bima. Sekarang mereka bisa bersantai dengan berbincang-bincang ringan. Beberapa snack dan teh hangat yang tadi diantar Moura juga menjadi pelengkap perbincangan mereka.
"Aku tadi ketemu dengan Vian sesaat sebelum kesini."
"Oh ya ...?" balas Kania lalu menyesap sedikit tehnya.
Bima mengangguk, "Gadis manja itu rupanya belum banyak berubah ya semenjak lulus dari SMA."
Kania terkekeh. Ia menaruh kembali gelas keramiknya di atas meja.
"Ya aku rasa juga begitu," Kania tersenyum. "Tapi bagaimana pun dia, aku selalu merasa nyaman dengan sifat manjanya. Bagiku satu Vian saja sudah sangat cukup untuk mewarnai hari-hariku."
"kau benar," Bima menimpali. "Gadis itu unik dengan ciri khasnya sendiri. Dia seperti tidak peduli dengan omongan orang lain."
"Apa kau tau, apa yang aku suka dari Vian?" tanya Kania. Bima mengerutkan keningnya.
"Aku suka saat ia merajuk. Caranya saat dia menggembungkan pipinya ketika cemberut benar-benar menggemaskan." Kania meniru ekspresi Vian dan sukses membuat Bima tertawa.
Lama mereka berbincang. Canda-tawa dan saling ejek selalu mereka lontarkan. Hingga Bima sadar jika matahari sudah menghilang di ufuk barat. Itu berarti jam pulang kantor telah terlewat.
"Ngomong-ngomong sudah magrib," Bima melihat jam tangannya, "Apa kau ingin pulang denganku?"
Wajah Kania mendadak berubah menjadi sendu. Sepertinya ia perlu mengoreksi kedekatannya dengan founder Bima Industri itu.
"ehmm ... Bim, sepertinya kita tidak bisa terlalu dekat saat tidak ada hubungannya dengan pekerjaan."
Bima mengernyit, "Apa yang sedang kau bicarakan Kania?"
Kania menghela napas sesaat sebelum bicara.
"Aku bukan perempuan bodoh Bima. Aku bisa tahu kau menyukaiku dari tatapan matamu. Kau menatapku seperti seorang lelaki yang menatap gadisnya penuh cinta. Bukan tatapan seorang teman."
Bima agak terkejut dengan pernyataan Kania. Bagaimana gadis itu bisa tahu? Bahkan ia belum pernah menyatakannya secara langsung.
"Jadi .... kau sudah menyadarinya?"
Kania mengangguk dengan lemah.
"Sejak kapan? Seingatku, aku baru menemuimu beberapa kali sepulang dari Italia."
"Sejak Kelas 11 SMA. Dan aku tahu, kau selalu menguntit kemana pun aku pergi. Aku pikir setelah cukup lama kau pergi. Kau bisa merubah cara pandangmu terhadapku, tapi ternyata tatapanmu masih sama seperti dulu."
Bima semakin terkejut dengan kata-kata Kania. Gadisnya sudah tahu ia menaruh hatinya sejak lama.
Tapi kenapa Kania tidak mengatakannya sejak dulu?
"Aku sengaja tidak memberi tahumu agar kau bisa memilih gadis lain yang lebih baik dariku." Kania menundukkan wajahnya.
"Aku tidak mengerti apa maksud? Kau tahu aku menyukaimu tapi kau malah lebih memilih menghindar??"
"Apa itu hanya alasanmu saja? Apa tidak ada rasa cinta sedikit saja di dalam hatimu untukku, Kania?" Bima menggenggam tangan Kania.
**********