Kania melepaskan genggaman tangan Bima. Ia teringat dengan ancaman Melvin tadi pagi. Kania sangat mengenal bagaimana karakteristik pria itu. Melvin tidak akan main-main jika ia sudah mengeluarkan ancamannya.
"Maaf Bim, aku tidak memiliki perasaan apapun denganmu." Ia menggeser duduknya. Menjauh ke sudut sofa.
"Tapi, apakah tidak ada kesempatan sedikit saja untukku? Mungkin kita bisa menjalaninya sedikit demi sedikit, Kania." Lelaki itu kembali menggenggam tangan Kania, namun segera ditepis sang empunya.
"Apa kau tidak melihat ini," Kania mengangkat tangannya yang mengenakan cincin, "aku sudah terikat dengan seseorang, Bima. Kalau pun aku belum bertunangan, perasaanku terhadapmu hanya sebatas teman biasa. Tidak lebih."
"Apa kau yakin akan bahagia dengan calon suamimu?"
Kania diam tak menjawab. Lidahnya seakan kelu untuk mengatakan sesuatu.
"Berikan aku satu saja kesempatan, Kania. Izinkan aku mengisi hati—"
"Tidak akan ada yang bisa mengisi hatiku!! Baik itu kau, atau calon suamiku kelak! Aku terpaksa menikahinya karena kemauan orangtua-ku!!" ujar Kania marah. Matanya memerah merasakan air yang terus saja mendesak ingin ditumpahkan.
Bima mengerutkan alisnya. Ia semakin bingung dengan ucapan gadisnya.
"Aku tidak mau merasakan jatuh cinta atau apapun itu. Cinta hanya akan membuatku lemah tidak berdaya. Dan aku tidak mau menjadi perempuan lemah!!." Bulir kepedihan itu akhirnya meluncur dengan deras.
"Jatuh cinta tidak akan membuatmu menjadi orang lemah, Kania. Justru hidupmu akan—"
"Cukup Bima!!" Kania menukas sebelum Bima menyelesaikan kalimatnya, "Kalau kau tidak berhenti mengatakan kata-kata menjijikkan itu, lebih baik kita sudahi saja kontrak kerja sama kita. Dan kau tidak perlu menemuiku lagi!!" Kania berdiri dan meninggalkan Bima.
Saat Kania keluar dari ruang kerjanya. Ia terkejut saat mendapati Melvin sedang duduk menunggu di lobi, tepat diluar ruangannya. Tiba-tiba perasaan takut menghinggapi lubuk hatinya. Ia takut jika pria itu salah paham lagi dan akan menghukumnya seperti tadi pagi.
Melvin mengernyit melihat gadis galaknya berdiri mematung tepat di sebelah cubicle tempat Moura bekerja. Pria itu berdiri lalu menghampiri.
"Hai ... ada apa? Apa kau baik-baik saja?" tangan kanan pria itu terulur, mengusap lembut pipi Kania.
"Kania, tunggu ..." Bima mengejar Kania. Lelaki itu sama terkejutnya ketika melihat Melvin. Amarah langsung menguasai dirinya kala melihat tangan Melvin menyentuh Kania.
Melvin melirik Bima dengan senyum miring yang terlihat sarkastis.
"Saya rasa ini sudah lewat dari jam pulang kantor. Jika tidak ada kepentingan mendesak. Saya ingin membawa calon istri saya pulang." Melvin sengaja menekan kata 'calon istri' untuk menegaskan kepada teman bebalnya tentang status ia dengan Kania.
Bima hendak menjawab. Namun Kania langsung menyergahnya, "Pak Bima, saya rasa semua yang dibutuhkan untuk kerja sama kita ada di berkas-berkas yang saya berikan. Jika ada yang ingin ditanyakan lagi, besok anda bisa menghubungi sekretaris saya."
Tanpa menunggu jawaban Bima. Kania langsung menarik Tangan Melvin. Ia tidak ingin terjadi keributan dikantornya apalagi sampai terdengar ke telinga sang ayah.
Bima menggerang frustasi saat kedua orang itu sudah tidak terlihat. Ia meremas rambutnya dengan keras. Ia tidak menduga bahwa perasaannya selama ini bertepuk sebelah tangan.
---xXXx---
Entah sudah berapa lama mobil yang dikendarai Melvin berhenti di tengah jalan. Macet di kota Jakarta sepertinya tidak mengenal siang ataupun malam.
Kania duduk dengan gelisah dibangku penumpang. Sesekali ia melirik Melvin dari sudut matanya. Pria itu memasang wajah datar. Sesekali ia menghela napas panjang.
"Melvin ..." Kania memulai pembicaraan, "aku hanya bertemu dengan Bima hanya untuk membicarakan masalah bisnis. Tidak lebih."
"Ya ... Aku tahu." Jawabnya datar.
Sebenarnya Melvin sudah tahu dari Moura sesaat sebelum gadis itu pulang. Hanya saja ia merasa tidak nyaman dengan kehadiran Bima disekitar calon istrinya.
"Apa kau marah padaku?"
"Tidak!" jawab Melvin singkat. Diam-diam ia memijat pelipisnya
"Lantas kenapa kau diam saja seperti ini. Aku sudah lama mengenalmu, aku tahu jika kau sedang marah maka kau akan memasang wajah datar seperti sekarang."
Melvin menghela napas.
"Entahlah ... mungkin aku hanya kelelahan. Pikiranku sedang kalut dengan semua situasi yang ada."
"Apa maksudmu?" Kania menyatukan kedua alisnya.
"Bukan sesuatu yang penting." Melvin tersenyum getir.
Kania tahu ada sesuatu yang disembunyikan pria itu. Tapi ia memilih diam dari pada ikut campur dengan masalah orang lain. Pada akhirnya kesunyian menemani mereka selama perjalanan.
Melvin memperlambat Range Rover ketika sudah mendekati rumah Kania. Pria itu memarkirkan kendaraannya tepat didepan pintu gerbang. Ia menoleh kearah gadis galaknya. Hanya deru napas teratur yang terdengar. Kania tidur?
"Kania ...?" Melvin sedikit menggoyangkan bahunya.
Kania terbangun dari tidur. Ia mengusap-usap matanya. Menyapu pandangan ke sekitar, ia terkesiap.
"Ma-maaf. Aku ketiduran." Ucap Kania dengan suara serak.
Melvin tersenyum. Pria itu mengusap ujung kepalanya dengan lembut.
"Gak apa-apa. Aku tidak usah mampir, ya. Sepertinya kamu kelelahan. Titip salam untuk ayah dan bunda." Melvin tersenyum.
"Memangnya siapa yang memintamu untuk ikut turun??" Gadis itu berbicara dengan nada ketus, walau dia belum sepenuhnya menemukan dirinya sendiri.
_Huh..!! Kalau saja bukan didepan rumahmu. Sudah kulakukan 'hukuman' yang lebih panas dari tadi pagi!_ Melvin mendengus kesal. Senyum di wajahnya mendadak pudar.
Gadis itu beranjak pergi dari mobil yang ditumpanginya. Namun ia ingat sesuatu. Kania kembali masuk mobil dan menutup pintunya.
"Melvin .... " Gadis itu diam sesaat, "maukah kau berjanji padaku satu hal?."
**********