Melvin mengerutkan dahi. Menatap manik coklat terang milik Kania dalam-dalam, ia mengangguk sebagai jawaban.
"Aku ingin kau merahasiakan kedatangan Bima tadi dari kedua orang tuaku. Khususnya bunda."
Mendengar nama Bima, ia mengeraskan rahangnya yang tegas. Lagi-lagi Bima. Tidak adakah topik lain yang lebih menarik selain teman bebalnya itu?
"Kenapa?? Apa ada hubungan spesial diantara kalian?!?" Melvin menatap tajam gadis itu.
"Bukan urusanmu! Lagi pula aku sudah pernah mengatakan kepadamu untuk jangan pernah ikut campur urusan pribadiku."
"Oke. Kalau itu mau-mu!" Kania membelalak saat Melvin mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
"Apa yang kau lakukan!!"
Melvin mengangkat bahu, "menelepon Bundamu. Aku rasa dia perlu tau kalau anak gadisnya sudah pandai berbohong di belakang orangtuanya."
Dengan gerakan cepat Kania mencoba meraih ponsel itu. Namun, ia kalah cepat dengan gerakan Melvin. Tuan muda Adipati menahan tubuhnya dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang lain sibuk dengan ponselnya.
"Melvin kumohon jangan beritahu bunda.." Kania merengek seperti anak kecil, "a-akan kulakukan apa pun untukmu, asalkan kau mau merahasiakannya!"
"Memangnya kenapa kalau bunda sampai tau?!" Melvin menatap tajam gadis galaknya.
"Bunda punya penyakit asma," manik coklatnya berkaca-kaca "Aku takut penyakitnya akan kambuh jika ia sampai tau aku dekat dengan pria lain saat statusku sudah bertunangan denganmu."
Kania kembali duduk seperti semula.
"Apa susahnya. Jelaskan saja kepada mereka kalau kamu hanya menjalin pertemanan sama seperti kamu berteman sama Vian."
"Tidak semudah itu," Kania mengusap matanya sebelum air itu turun dengan deras, "dulu ... Bima pernah datang ke rumahku. Ia bicara kepada ayah kalau dia ingin mengajakku ke acara PENSI sekolah. Tapi saat ayah mencium bau alkohol dari mulut Bima ketika ia bicara. Kontan saja ayah langsung menolaknya. Ayah menyeret Bima keluar dengan kasar dan berkata kalau dia tidak boleh menemuiku lagi."
"Jadi ayahmu tidak suka dengan Bima karena kelakuannya. Bukan karena ia berasal dari keluarga sederhana." Diam-diam Melvin tersenyum dalam hati. Akhirnya ia punya satu kelebihan yang tidak ada pada teman bebalnya.
Alis kania saling bertaut. Ia menatap Melvin seolah mengatakan 'apa maksudmu?'.
"Beberapa hari yang lalu aku bertemu Bima," Melvin bercerita, "dia bilang, alasan satu-satunya ia memilih jadi pengusaha Garmen hanya karena dia ingin menjadi menantu ayahmu. Sebenarnya dia tidak bilang kalau ayahmu menolaknya karena alasan ekonomi. Tapi aku menangkap kata-katanya kalau Bima menganggap ayahmu tidak menyukainya karena dia hanya anak pensiunan PNS."
"Keluargaku tidak pernah memandang seseorang dari statusnya. Baik itu dari pendidikan, latar belakangnya, ataupun dari perekonomiannya. Ayah-bunda selalu menganggap semua manusia sama derajatnya. Hanya takdir yang membedakan setiap manusia."
Melvin mengangguk setuju.
"Jadi ... aku mohon jangan beri tau mereka tentang kedatangan Bima, ya. Akan kulakukan semua permintaanmu jika kau setuju." Ucap Kania membujuk.
Melvin tersenyum penuh kemenangan. Entah apa sedang dipikirkannya saat ini.
"Baiklah ... jadi aku dapat permohonan unlimited dari nona Anderson?"
"Emmm ... kalau dua saja bagaimana?" Kania menyengir setelah mengatakan itu.
"Tidak!" Tukas Melvin tidak terima, "Kamu bilang aku boleh minta apa pun yang aku mau!"
"Tapi aku tidak bilang unlimited kan??!" Kania membela dirinya. "Dua itu sudah banyak. Lagi pula aku tidak yakin bisa memenuhi semua permintaanmu."
"Tiga! Dan tidak ada bantahan!."
"Dua!!" Ucap Kania tak mau kalah, "pokoknya dua tidak lebih!!"
"Oke. Kalau kamu mau bermain curang!" Melvin kembali mengaktifkan ponselnya. Laki-laki itu menunjukkan ponselnya sedang tersambung dengan nomor ayahnya.
"Eh ... Iya, iya kau bisa mendapat tiga permintaan." Ujar Kania panik, "Tapi aku tidak mau mengabulkan permintaanmu yang aneh-aneh!" Kania pasrah, tidak ada gunanya berdebat dengan Chef menyebalkan satu ini.
"Kamu tenang saja," Melvin tersenyum nakal, "sekarang aku ingin menggunakan permintaan pertamaku. Aku ingin kamu mendekat dan pejamkan matamu."
Kania membelalak tidak percaya. Belum jadi suaminya saja Melvin sudah berani minta macam-macam. Bagaimana nasibnya setelah menikah dengan Chef menyebalkan itu?
"Hei! Kenapa bengong??" Kania mengerjap dengan lucu. Melvin semakin gemas jadinya. "Cepat lakukan seperti perintahku!"
"A-apa yang akan kau lakukan??"
"Tenang saja. Aku tidak akan membuatmu hamil malam ini." Senyum nakalnya masih sama dan belum luntur sedikit pun.
Kania merasakan wajahnya memanas dan sudah bisa dipastikan wajahnya merona. Jantungnya berdegup kencang seperti melompat-lompat hingga membuatnya sesak. Ia merutuki kebodohannya karena memberi lelaki itu celah sehingga bisa meminta apa pun seenak jidatnya.
Dengan terpaksa Kania memejamkan matanya dan mendekat kearah Chef mesum itu. Saat pipinya tersentuh jari-jemari besar milik Melvin, napasnya tiba-tiba saja memburu.
Hingga saat jari besarnya mengusap lembut pipinya, ia merasakan ada desiran aneh yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Panas tidak lagi berada di wajah putihnya, melainkan menjalar ke seluruh tubuh.
Lama ia memejamkan mata. Namun, yang ia rasakan hanya tangan hangat pria itu.
"Sudah malam, sebaiknya kamu istirahat." Kata Melvin sembari menarik tangannya dari wajah Kania. "Besok aku jemput lagi seperti tadi."
Kania membuka matanya. Ia melihat senyum manis dari pria di sebelahnya. Kania bertanya-tanya dalam hati, apa yang sebenarnya dilakukan pria itu tadi? Namun, ia bergegas keluar mobil dan sedikit berlari memasuki rumahnya.
Melvin menggulung senyum. Di hari yang melelahkan ini, akhirnya ia bisa melihat ekspresi menggemaskan gadis galaknya. Sebenarnya ia juga tersiksa saat melihat bibir ranum milik Kania. Ia ingin sekali melahapnya hingga gadis itu kehabisan napas. Namun, ia urungkan niatnya karena tidak ingin membuat gadis itu takut dengan dirinya.
Perlahan Range Rover Melvin menjauh dari kediaman Kania. Malam sudah larut tapi ia masih harus membicarakan sesuatu dengan Gea di kantornya.
**********