Chereads / BUKAN SUAMI SEMPURNA / Chapter 2 - 2.Separuh jiwa.

Chapter 2 - 2.Separuh jiwa.

"Papah... apa benar Melvin akan dijodoh kan dengan Kania." Celetuknya dengan nada takut.

"Hmm.." sang ayah menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari koran.

"Tapi kan, Melvin sudah besar pah! Biar dia urus masalahnya sendiri!" pak Surya mengalihkan pandangannya tepat kearah putri nya.

"Vian, Papah minta tolong, jangan coba-coba ikut campur urusan kakakmu itu!" tegasnya dengan tatapan tajam.

"Tapi, Pah kasihan Kan—."

"CUKUP VIAN!! Papah sedang tidak ingin membicarakan si biang onar itu!"(Melvin) pak Surya pun pergi meninggalkan Vian di ruang keluarga.

Vian pun menghela nafas lelah. Jika ada didunia ini ada manusia yang tidak bisa di bantah sudah pasti itu ayahnya.

Mama Eka yang diam-diam mendengar percakapan antara anak dan ayah itu pun menghampiri putrinya saat suaminya sudah tidak terlihat.

"Papah tahu apa yang terbaik untuk semuanya sayang, jangan sedih ya." Ucap lembut mama Eka dengan memeluk Melviana dari samping.

Vian pun membalas pelukan sang mama dengan erat, dan tanpa ia sadari ada lelehan kristal bening yang membasahi pipinya. Sebenarnya Vian senang bukan main ketika tahu Kania sahabatnya akan menjadi bagian dari keluarganya.

Tapi ia baru mengetahui fakta yang sebenarnya saat ia tidak sengaja menguping pembicaraan antara ayah Kania dengan papah nya.

Ia benar-benar kecewa ketika mengetahui kalau pernikahan antara sahabat dengan saudara kembarnya itu hanya sebagai alat manipulasi. Dan sebagai satu-satu nya sahabat ia yang pertama menentang di keluarganya. Dirinya tidak ingin papah dan saudara kembarnya hanya memanfaatkan Kania.

Dering telefon memecah keheningan diantara ibu dan anak yang sedang larut dalam pelukan guna saling menguatkan.

Vian pun melihat benda pipih berwarna putih itu dan mengangkat panggilan itu tanpa melihat siapa nama si pemanggil. Karena posisinya yang saat ini masih memeluk sang ibu tercinta.

"Hallo.."

"..."

"Apa?! Maaf gimana tante?" mama Eka pun melepaskan pelukannya dan mengernyit bingung.

"..."

"I.. iya tante" Vina pun menatap mamanya dengan tatapan sendu.

"Ada, apa sayang?" tanyanya khawatir setelah panggilan telefon berakhir.

"Kania mah, kata tante Rani dia belum keluar kamar dari kemarin, dan katanya dia belum makan apapun."

"Terus bagaimana keadaannya?" air mukanya tampak panik sekarang, bagaimana pun Kania sudah seperti anaknya sendiri.

"Vian, disuruh ke sana mah."

"Ya sudah kamu ke sana sekarang!, bujuk dia supaya mau makan." Perintahnya dengan nada cemas.

"Iya, Mah Vian mau ambil tas dulu."

Setelah mengambil tas ia segera pergi ke rumah sahabatnya itu. Dalam perjalanan menggunakan taksi, Vian tak henti-hentinya berdoa agar sahabatnya itu baik-baik saja. Demi apapun ia tidak akan memaafkan Melvin jika terjadi sesuatu pada sahabatnya.

**

Bunda Rani tak henti-hentinya mengetuk pintu kamar putrinya. Namun semuanya tak membuahkan hasil karena putrinya tidak mengindahkan panggilan dan ketukannya. Kekhawatiran 'pun bertambah dengan interupsi sang asisten rumah tangganya yang mengatakan putrinya sama sekali tidak menyentuh makanannya.

Sayup-sayup langkah kaki mengalihkan perhatian sang bunda yang saat ini sedang mondar-mandir di depan kamar putri kecilnya. Bunda yang melihat sosok dibalik tangga itu pun menghela nafas lega setelah tahu siapa yang datang.

"Vian, tolong bantu tante ya, mungkin kalau kamu yang bicara Nia mau buka pintunya." Karena sudah dilanda panik, bunda Rani sampai mengabaikan salam dari Vian.

Vian yang menyadari betapa paniknya ibu dari sahabatnya pun hanya tersenyum maklum.

"Ka- Kania, buka Ka ini aku Vian!" Ucapnya dengan memukul pintu cukup keras.

"Ka- KANIA!" Baiklah sekarang Vian pun dilanda panik setelah hampir sepuluh menit mengetuk namun tak direspons Kania.

Vian pun memutar serpihan-serpihan neuron dikepala cantiknya, dan terlintas di benaknya sebuah kunci cadangan. _benar, kenapa tidak terpikirkan kalau ada kunci cadangan_ gumamnya.

Seperti tahu apa yang dipikirkan Vian, bunda Rani pun menggelengkan kepalanya saat Vian menatap nya dengan tatapan seolah bertanya. _ Arg.._ Vian mengacak-acak rambutnya frustrasi.

"CLECK!!"

Bunda Rani dan Vian pun menoleh secara bersamaan saat pintu kamar Kania terbuka.

"Astaga..." Kania terpekik saat melihat di depan kamarnya sudah ramai orang. (Ramai versi Kania)

"Nia.. Kenapa kamu tidak keluar kamar dari kemarin nak? Tanya bunda Rani khawatir.

"Nia, kerja bunda itu buktinya." Tunjuknya kearah meja yang berisi setumpuk berkas dan laptop yang masih menyala.

"Kalian kenapa sih?" Kania dibuat bingung dengan kelakuan bunda, asisten rumah tangga mereka (mbak Sri) dan juga Vian yang saat ini menatap nya.

_Tunggu untuk apa Vian kemari?_

Semua dibuat melongo dengan pertanyaan Kania barusan, dengan polosnya dirinya bertanya seolah tidak terjadi apa-apa, terlebih lagi Vian yang saat ini geram bukan main.

_ Tidak bisakah dia menyadari semuanya panik karena dirinya!_ gumam Vian dengan tatapan jengkel.

"Heh... kenapa kau tidak menjawab panggilan semua orang terlebih lagi aku yang sedari tadi mengetuk pintumu dengan keras!" Vian yang sudah geram pun meluapkan emosinya.

"Hehehe... tadi aku pakai earphone jadi tidak bisa mendengar suara kau dari luar kamar." Jawabnya polos yang menambah kadar emosi Vian sementara bunda Rani hanya bisa menghela napas lega karena tidak terjadi apa-apa pada putri kecilnya.

"Nia, kamu makan dulu ya bunda khawatir kamu belum makan dari kemarin." Bunda Rani pun menyarahkan piring yang berisi makanan.

Kania pun dengan pasrah menerima piring itu. Sebenarnya dirinya tidak makan bukan tanpa alasan, sehari sebelum dirinya berdebat dengan ayah bundanya ia sempat membeli camilan dan ditaruh di lemarinya itu sebabnya ia tak menyentuh makanan nya.

"Iya, tapi Nia maunya makan dikamar," ucapnya lembut. "Ayo temani aku Vian ada yang ingin aku bicarakan!" Tambahnya sembari menarik sebelah tangan Vian.

Sejenak Vian melihat bunda Rani yang tersenyum menandakan ia boleh memasuki kamar putrinya.

Setelah menyelesaikan makannya. Kania memandang sahabatnya yang saat ini sedang menundukkan wajahnya. Suasana canggung menyelimuti mereka, yang satu takut persahabatan nya berakhir yang satu lagi bingung untuk mulai bicara dari mana.

"Ehm... Ka kita masih bisa jadi sahabat kan?" Vian pun memberanikan diri untuk memecah keheningan diantara mereka.

"pfftt... hahahaha." Vian yang mendengar sahabatnya tertawa itu pun mengernyit heran _apa ada yang lucu?_.

"Kau ini bicara apa sih?" Kania dibuat bingung dengan pertanyaan Vian sembari menahan sisa tawanya.

"Aku, takut kalau perjodohan kalian akan berimbas ke persaha—". Ucapnya terpotong.

"Kita tetap menjadi sahabat Vian apapun yang terjadi." Sergah nya yang membuat Vian tersenyum senang sekaligus bingung.

"Kau.. tidak marah padaku?"

Kania tersenyum lalu menghela napas panjang sebelum bicara.

"kau tahu, hal terindah dari persahabatan?" Vian menggeleng dengan polos membuat Kania terkekeh.

"Hal terindah dari persahabatan adalah memahami dan dipahami, tanpa pernah memaksa dan ingin menang sendiri. Itulah yang kurasakan bersahabat denganmu. Kau yang selalu bisa memahami bagaimana kondisiku, kau yang selalu ada saat yang lain menjauh, kau yang menghidupkan suasana gelap menjadi terang dalam diriku, kau yang selalu menjadi tepat terhangat saat dinginnya sunyi menjadi temanku." Kania menyeka butiran lelehan air matanya sebelum melanjutkan ucapannya.

"aku merasa separuh jiwaku ada padamu. Dan aku berharap kita akan menjadi sahabat selamanya." Vian pun memeluk erat sahabatnya dan tangis mereka pun pecah seketika. Entah mengapa dirinya tidak pernah menyesal menjadikan Kania sebagai separuh jiwanya.(Sahabat karib).

"Terima kasih." Lirih Vian yang dibalas senyum merekah Kania.

"Lalu untuk perjodohanmu bagaimana?" mereka pun menguraikan pelukannya.

"Kau tenang saja aku sudah mengatur semuanya." Jawabnya dengan senyum licik

"Tapi kau tidak boleh marah karena mungkin kembaranmu itu akan sedikit tersiksa" Tambahnya

"Baiklah, aku juga ingin memberinya pelajaran berharga supaya dia sadar." Ucap Vian dengan semangat. Walau Melvin saudara kembarnya tetap saja dirinya lebih berpihak ke Kania sahabatnya, kalau perlu ia akan ikut memberi pelajaran agar si biang onar satu itu berubah.

**********