Chereads / ADURA / Chapter 42 - Bab 40 — Putri Bosnavi

Chapter 42 - Bab 40 — Putri Bosnavi

Semua prajurit yang tadinya sibuk membongkar isi rumah Syamsir, langsung berlutut hormat. Seorang dari pimpinannya berkata, "Maaf, Panglima. Tapi Yang Mulia yang memerintahkan."

"Yang Mulia bilang begitu? Memangnya apa yang sudah dilakukannya? Jangan-jangan anak itu ...," gumam Eden dengan kalimat yang menggantung, "apa Syamsir sudah dalam penjara sekarang?"

"Tidak, Tuan. Belum ada bukti yang cukup kuat. Itu sebabnya kami ditugaskan untuk mencari bukti dengan menggeledah isi rumah Tuan Syamsir," tutur Ketua Pengawal itu.

Sejenak, Eden diam. Surai delimanya berjatuhan ketika mulai berpikir. Kemudian dia menatap pengawal itu lagi. "Jadi, apa yang kalian temukan?"

"Belum ada, Panglima."

Senyuman setipis benang tampak di bibir Eden. Dirinya lekas pergi dari sana, membiarkan mereka untuk bekerja kembali. Ia bermaksud menemui Yang Mulia Firan dan memastikan situasi.

Tiba-tiba saja, rombongan calon istri Yang Mulia Firan sudah terlihat dari jauh. Ialah Putri Anyelir, merupakan putri pertama Kerajaan Bosnavi dari Negeri Aisty.

Rombongan Putri Anyelir cukup panjang. Sekitar sepuluh unta lebih mengangkut barang dan makanan khas Negeri Aisty, sebagai buah tangan dari Raja Bosnavi untuk Raja Altair yang sekarang. Mereka melewati Eden, menuju gerbang Kerajaan Altair.

Keningnya berkerut sebentar, lalu tersenyum kemudian. Eden berjalan searah menuju Istana Altair. Penasaran dengan apa yang akan dia dapatkan ketika bertemu tuannya.

Sementara di salah satu balkon kerajaan, Haidar mengamati. Rombongan Putri Anyelir telah sampai dan berhenti di halaman depan Kerajaan Altair. Seorang gadis keluar dari kereta kuda dengan anggun. Dia disambut oleh Raja Firan beserta istri-istrinya, Penasihat Zain, dan para menteri yang sudah menunggu sejak tadi.

Seketika wajah cuek Haidar berubah drastis. Ia tak menyangka perempuan yang akan menikah dengan ayahnya adalah seorang gadis muda. Bahkan Haidar sungguh yakin, perempuan itu jelas-jelas seumuran dengannya.

"Apa yang dia pikiran sebenarnya? Gadis itu bahkan lebih cocok menjadi istriku. Tua bangka sialan!" Haidar mengepal erat. Ia pergi dengan kekesalan yang menggunung.

Di lain kamar, Yena telah mengenakan abaya cantik berwarna maroon. Ia sudah mengetahui hari ini adalah kedatangan calon istri raja yang asli. Yena hanya akan keluar jika dipanggil oleh sang Raja. Dan dia tidak ingin melakukan kesalahan apapun demi keluarga yang sedang terkurung entah di mana.

Yena mengembuskan napas. Dia memandang keluar jendela, meremas gorden indah itu. Dirinya merasa jadi seorang pecundang. Tidak bisa berbuat apapun untuk menghentikan rencana jahat Raja Firan.

"Semoga kalian baik-baik saja," gumamnya tak bisa menyingkirkan pemikiran tentang ibu dan adiknya, Adam. Kerinduan pada keluarga sudah tidak terbendung lagi. Dia ingin melihat mereka dalam kondisi baik.

Sudah cukup lama, Yena menunggu. Tak ada seorang pun yang datang memanggil. Alhasil, Yena mengantuk dan tertidur dengan posisi duduk di depan meja rias.

Tok! Tok! Tok!

Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu. Seketika tubuhnya langsung tegak berdiri. Yena memandang pintu dengan tatapan kuyu.

"Nona! Apakah Anda ada di dalam? Yang Mulia ingin Anda segera turun dan bertemu dengan beliau di ruangannya," jelas seorang pelayanan wanita dari balik pintu.

"Baik, saya akan segera menemui beliau," sahut Yena seraya menyeka air liur di bibir.

Pelayan tersebut pun pergi. Meninggalkan Yena sendiri. Sebelum keluar kamar, Yena membersihkan muka bantalnya dengan telapak tangan. Lalu bergegas keluar dan melangkah menuju ruangan sang Raja.

Di dalam ruangan itu, hanya ada Raja Firan. Tidak seperti biasanya yang selalu ditemani Penasihat Zain. Yena berjalan dengan anggun menghadap raja, lalu menatap langsung ke mata.

"Bagus, kau sudah seperti wanita terhormat sekarang. Tidak perlu lagi seorang guru untuk mengajari," ucap Raja Firan tersenyum miring.

"Terima kasih atas pujian Yang Mulia. Saya sangat tersanjung mendengarnya," balasnya seraya membungkuk sedikit dan memandang ke depan lagi.

Raja Firan tidak berkata apapun selama beberapa saat. Beliau hanya terus memandangi Yena. Memperhatikan dari atas ke bawah dengan jemari yang mengetuk meja berulang.

"Bagaimana jika ... kau calon istriku yang sebenarnya?"

Rasanya waktu terasa berhenti sejenak. Manik hitam Yena sampai membola. "Maksud Yang Mulia apa?"

"Aku berencana menikahkan Haidar dengan Putri Bosnavi dan kau yang akan menjadi istriku." Raja Firan mengatakannya begitu mudah. Dia tidak menyadari kepalan tangan Yena yang menguat.

"Kau tahu Yena, aku tidak ingin kehilanganmu. Sebagai gadis berbakat dan pemilik pedang Er'dura, kau sangat kubutuhkan. Jika saja kau mengatakan semuanya tentang pria itu, mungkin aku tidak akan memilih jalan ini."

Sang Raja bangkit. Berjalan mendekati Yena yang menunduk dalam. "Kau menyukai pria assassin itu walau kau sendiri tidak menyadarinya. Itu sebabnya aku ingin mengikatmu dengan pernikahan. Karena hanya kau yang bisa mengendalikan Er'dura," tuturnya dengan tangan meraih dagu Yena.

Tatapannya menusuk, membuat waktu terasa berhenti. Yena tak sanggup menyangkal dugaan raja. Juga, tidak sanggup menatap ke mata langsung. Yena berpaling, membuat jemari sang Raja mengepal.

Raja Firan kembali duduk. Seringai picik itu akhirnya muncul. Beliau berucap, "Aku hanya butuh kemampuanmu. Dengan cara ini aku bisa menyelamatkanmu dari hukuman karena kau sudah berkhianat. Bagaimana? Kita sama-sama saling diuntungkan, bukan?"

"Bagaimana dengan keluarga saya?"

"Tentu, mereka akan bebas."

Entah bagaimana Raja Firan tahu tentangnya, Yena tidak peduli. Dia hanya ingin keluarganya selamat dan hidup dengan nyaman seperti dulu. Bukan dikurung di tempat yang bahkan dirinya pun tidak tahu.

"Kalau begitu ... baiklah, saya bersedia."

🍂🍂🍂

Di negeri Alatar. Pada kedalam hutan yang tampak tak bertepi. Seorang nenek berpenutup mata terlihat bersila di atas batu yang datar. Bintang fajar menyoroti celah-celah pohon hingga ke dasarnya. Semilir angin pun mengalun syahdu bagaikan musik yang dilantunkan alam untuk seluruh penghuninya.

"Gawat. Masa depan Adura Stone tiba-tiba tak terlihat jelas," pekik nenek itu, "bagaimana ini, Tuan Sigra?"

"Mungkin ... telah terjadi momen penting yang bisa mengubah masa depan," balas sebuah suara yang sosoknya tidak diketahui.

Secara ajaib, dua buah bola mata dan bibir terbentuk pada pohon besar di samping nenek. "Nyonya, bagaimana perubahan saya sekarang? Sudah seperti manusia, tidak?"

"Bagaimana saya bisa melihat perubahan Anda? Sedangkan semua yang saya lihat hanyalah garis-garis putih," tutur si nenek dengan jujur.

Tuan Sigra mengatupkan mulut penuh urat-urat pohonnya. Beliau menertawakan kebodohan sendiri. "Maafkan saya, Nyonya. Akhir-akhir ini, saya sedang membaca ulang semua buku kuno."

"Buku kuno?"

"Iya, semua buku kuno yang tersimpan dalam Pohon Suci. Ada satu buku yang ternyata luput dari bacaan saya."

"Buku apakah itu?"

"Seingat saya buku itu berjudul ...."

Mendadak, mata dan mulut yang terbentuk dari pohon perlahan menyusut dan menghilang begitu saja. Si nenek hanya tersenyum tipis saat mengetahui Tuan Sigra meninggalkannya tanpa pamit.

"Anda selalu saja begitu. Dasar pohon tua tidak sopan," gumam si nenek. Tubuhnya perlahan-lahan mengeras, berubah dari kulit keriput menjadi sekeras batu dan berlekuk. Si nenek kembali tidur dengan wujud aslinya. Yaitu batu besar penuh tanaman menjalar dan berlumut.