Mereka berdua berhasil sampai di pintu kayu yang sudah usang. Lalu meraba pintu itu, karena tidak membawa lentera dari awal untuk menghilangkan jejak.
Tiba-tiba bunyi kaca pecah mengalihkan perhatian. Yena langsung mendobrak pintu tersebut. Dan keduanya pun terjatuh ke lantai batu karena terlalu panik.
"Aduuhh ...," rancau Senna sembari memegangi pergelangan kaki.
Suara pecahan kaca terdengar lagi. Makin membuat keduanya menegang hingga bulu kuduk berdiri dan ludah ditelan dengan kepayahan.
Yena langsung menyambar lentera yang tergantung dari sisi pintu. Dia menyorot lorong gelap. Ternyata hanya gerombolan tikus menginjak kaca lentera yang sudah rusak. Lututnya langsung lemas dan ambruk terduduk. Hampir-hampir jantung dalam dada copot dari tempat. Syukurlah, rupanya bukan prajurit kerajaan atau bawahan raja yang lain.
"Baiklah, sekarang apa?" tanya Yena pada Senna yang terlihat masih kesakitan. Kondisinya sekarang tampak berantakan dengan rambut kusut penuh debu karena insiden tadi.
Yena pun berdiri, dibantu kedua tangan memegangi lutut. Dia menepuk-nepuk abaya panjangnya sambil menawarkan bantuan dengan mengulurkan tangan. "Anda baik-baik saja, Nyonya?"
Uluran tangan segera disambut, Senna membersihkan abaya formal bermotif bunga miliknya, "Terima kasih, " ucapnya lalu menatap sekeliling.
Kedua matanya menangkap kursi panjang yang menghadap meja. Senna melihat beberapa tameng besi tergeletak, mungkin lupa dibawa oleh para prajurit. Dan sebuah ruang tahanan di depan, terbuka pintunya karena tidak dikunci.
"Hanya ada satu ruang tahanan di sini. Benarkah ini tempatnya?" tanya Yena sembari melipat lengan di dada.
Jari jempol digigit, Senna berusaha mengingat-ingat posisi pintu rahasia yang sepat disebut-sebut oleh suaminya ketika mengobrol dengan orang penting dari kerajaan.
Hari itu, Senna baru selesai menghitung persediaan bahan pangan di gudang. Seperti biasa, dirinya bermaksud melapor langsung pada Kazmer.
Namun tidak sengaja, ketika sampai di depan pintu, pembicaraan suaminya dengan seseorang di dalam terdengar sampai keluar. Senna tidak menyia-yiakan kesempatan dan langsung menempelkan cuping telinga ke pintu.
Keduanya sedang mengobrol santai sambil bersenda gurau. Yang paling mengejutkan, orang penting itu mengajak Kazmer menjadi sekutunya, beliau berencana membebaskan tawanan berharga yang sulit sekali ditangkap, yaitu assassin berbahaya pembunuh para menteri. Dari sini, rahasia ruang bawah tanah dalam Kerajaan Altair dibeberkan dengan gamblang.
"Jadi, keuntungan apa yang bisa saya dapat jika bersekutu dengan Anda?" Terdengar suara Kazmer menanyakan kejelasan dari tawaran menarik yang cukup riskan itu.
"Anda bisa menaikan strata sosial, termasuk menjadi seorang menteri kerajaan."
Senna masih menguping, tapi kali ini tak ada bunyi apapun setelah orang itu berbicara. Ada kemungkinan Kazmer sedang memikirkan tawaran tadi. Itu sebabnya tak ada yang mengawali obrolan. Tiba-tiba, seorang pelayan menyapa Senna tanpa menyebutkan nama, membuat dua orang yang ada di ruangan menoleh bersamaan ke arah pintu.
"Tunggu sebentar. Saya akan segera kembali," ucap Kazmer berdiri dari duduk lalu berjalan mendekat sambil membuka pintu dengan kasar, tapi tak ada siapapun di luar. Walau menengok kiri dan kanan Kazmer tidak menemukan apa-apa. Sembari mendengkus, pintu itu segera ditutup kembali.
Tak disangka, Senna dan seorang pelayan wanita yang membawa sapu telah bersembunyi dibalik tembok. Telapaknya membungkam erat mulut si pelayan sampai Kazmer masuk kembali ke dalam ruang kerja.
Saat itulah Senna melepaskan bungkaman, membuat sapu yang digenggam terlepas perlahan ke dinding. Dia langsung mengintip pintu yang tertutup dari balik tembok.
Pelayan itu terheran-heran memperhatikan gerak-gerik Senna. Dirinya memberanikan diri untuk bertanya, "Ada apa, Nyonya? Mengapa Anda terlihat takut sekali?"
Maniknya mengerling, menatap pelayan lalu mengembuskan napas lega. Senna memberikan kembali sapu lantai yang terlepas pada pelayan seraya menggenggam erat punggung tangannya. "Tolong jangan bilang apa-apa tentang kejadian ini pada Kazmer, bisa kan?"
"A-anu ... tapi sayaaa ...." Si pelayan tampak tak nyaman sampai tergagap. Tubuhnya pun sekilas tersentak karena tangannya digenggam Senna.
Seketika Senna berlutut dan menangkupkan kedua tangan di dada. "Kumohon ... aku janji akan memberimu bonus upah setiap sebulan sekali."
Pelayanan itu tak menyangka, Senna langsung nekat sampai merendahkan diri. Nyonya Senna tidak seharusnya berada di bawah seperti sekarang. "Tidak Nyonya, Anda tidak boleh begini," ucapnya seraya mencengkeram bahu Senna. Berharap majikannya berdiri seperti semula.
Dengan berat hati Senna berdiri. Ia sudah siap jika pelayan wanita itu menolak permohonannya.
Namun, raut wajah langsung berubah tatkala pelayan wanita berkata, "Baiklah, Nyonya. Saya akan diam. Nyonya tidak perlu khawatir."
Sejak hari itu, Senna dan pelayan tersebut menjadi lebih dekat. Meski tidak begitu berpengaruh, pelayan itu ikut terlibat dalam melancarkan tujuan Senna saat ini. Berada di ruang bawah tanah bersama Yena.
Senna sudah ingat sekarang. Pintu rahasia ada di sebelah kanan ruang tahanan. Di tembok yang menghadap langsung padanya. "Di sana," kata Senna sambil berlari lalu meraba tembok batu.
Saat kedua mata melihat lebih dekat ada sebuah lekukan seperti garis, memanjang dari bawah membentuk sebuah pintu. Akan tetapi waktu Senna berusaha mendorong, tak ada yang terjadi.
"Nyonya yakin tembok batu itu pintunya?" Garis wajah Yena menunjukkan keraguan. Namun, tetap berusaha memercayai Senna dengan bertanya terlebih dahulu.
"Saya yakin tembok ini pintunya."
Selama Senna sibuk dengan tembok yang meragukan itu, Yena mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan.
Dia memasuki ruang tahanan terlebih dulu, memandangi sepasang belenggu besi yang tergeletak. Ujungnya tertanam pada tembok batu dengan lapisan kasar. Sejauh mata memandang tak ada apa pun di sini selain belenggu yang sudah berkarat.
Yena pun keluar, manik abu-abunya berusaha mencari sebuah kejanggalan.
Dugaannya jatuh kepada beberapa tameng yang berserakan di lantai batu, di atas meja, dan yang bersandar di dinding.
Pertama, Yena mengangkat tameng besi yang tergeletak dekat pintu masuk ruang bawah tanah. Namun tak ada yang terjadi. Kedua, Yena mengangkat tameng yang bersandar pada tembok batu, sebelah kanan Senna. Hal ini pun, tidak menghasilkan apa-apa.
Satu-satunya yang belum disentuh adalah tameng yang berada di atas meja. Seketika lirikan tajam Yena jatuh pada meja tersebut. Kakinya mengayun lalu membuka kasar tameng dengan kedua tangan. Nyatanya tidak ada apa pun.
Yena kecewa karena diri tidak bisa menemukan apa-apa. Dia duduk di bangku panjang dengan desah kasar keluar dari mulutnya. Yena melirik Senna sambil memangku dagu. Tampaknya Senna juga mulai putus asa karena tak ada perubahan sama sekali pada tembok batu tersebut.
"Saya yakin ini pintunya, tapi ...," Senna berbalik lalu duduk di depan Yena, "saya tidak tahu bagaimana cara membukanya."
"Memangnya tidak ada petunjuk lain? Seperti ... tombol rahasia?"
Pertanyaan Yena membuat Senna balik menatap, sempat pula bibir digigit sambil mengepal di meja sebagai tanda dirinya yang sedang berpikir keras.
Tanpa sadar Yena tersenyum melihat kesungguhan Senna yang masih berusaha, dia mencoba memberikan beberapa pertanyaan lagi.
"Bagaimana dengan lentera di dekat tembok, sudah Nyonya periksa?"
"Sudah."
"Lantainya?"
"Sudah juga."
"Nyonya sudah memeriksa semua sudut tembok?"
"Itu pun sudah, tapi tidak ada apa pun di dekat pintu."
Sejenak Yena berpikir. Mengingat-ingat apa yang sudah dia lewatkan. Jika benar tembok batu tersebut adalah pintu pasti ada sesuatu yang bisa ditarik atau dorong.
Yena berdiri lagi lalu masuk kembali ke ruang tahanan. Dirinya baru sadar belenggu berkarat belum disentuh sama sekali, hanya dilihat kemudian ditinggal.
Yena meraih sepasang belenggu tersebut, kemudian menatap sekeliling lagi memastikan.
Ruang tahanan ini mungkin tidak pernah dipakai, karena tak ada bekas kehidupan manusia. Bekas kehidupan dapat berupa darah, tengkorak manusia, atau makanan busuk yang berceceran. Yang ada hanya belenggu besi dan kerikil-kerikil kering.
Yena makin yakin dugaannya benar. Tanpa ragu sepasang belenggu itu ditarik. Dan ternyata ujung rantai yang tersambung ke tembok sedikit bergeser. kedua maniknya ikut membesar, terkejut dan takjub. "Nyonya Senna, di sini!" pekik Yena dengan posisi bertahan.
Senna lekas berlari dan terperanjat. "No-nona? Anda sedang apa?" Sambil mengernyitkan dahi. Dalam penglihatannya, Yena sungguh kuat. Lihat saja otot bisep yang muncul ketika sedang dalam posisi seperti itu.
"Nanti saya jelaskan, pokoknya bantu tarik ini dulu."
Kalimat itu membuat Senna tersadar. "Eh? I-iya!" Kemudian sambil berlari kecil lalu memeluk tubuh Yena dari belakang.
"Sudah?"
"Sudah."
"Ok," Yena mengambil ancang-ancang kemudian memekik, "Tarik!"
Seluruh tenaga, mereka kerahkan. Pangkal rantai yang ada di tembok perlahan memanjang diikuti getaran pada lantai karena sebuah tembok batu bergeser sedikit demi sedikit. Kerikil-kerikil berjatuhan dari langit-langit. Hingga membuat rambut keduanya terkotori.
Usaha mereka tidak sia-sia. Tembok itu sungguhan bergeser! Tapi tidak sepenuhnya karena tenaga yang sudah kepalang habis.
Dengan napas tersengal-sengal, kedunya lekas berlari masuk ke ruangan yang terbuka.
Di sinilah mereka sekarang. Dalam ruangan penuh jeruji besi di kiri dan kanannya. Bukan hanya itu, bau amis darah dan bau busuk bangkai langsung menusuk penciuman. Yena sudah terbiasa dengan bau ini, tapi Senna masih belum. Kedua tangannya otomatis menutup mulut dan hidung untuk menghindari bau-bau menyengat dari dalam jeruji besi.