Malam itu, Putri Alisha sedang duduk di depan kacang rias. Menatap pantulan diri dari cermin. Alika juga ada di kamarnya, tampak menikmati momen menata rambut Alisha, putri semata wayang.
Tiba-tiba bunyi ketukkan membawa pandangan Alika ke pintu. Secepatnya ia berdiri, melangkah untuk membuka pintu ganda dengan cara menarik keduanya.
Terpampanglah Haidar. Dengan air muka yang begitu gugup. Bahkan Alika dapat melihat sebiji keringat yang muncul di pelipis. "Pangeran, Ada perlu apa?" tanyanya dengan pandangan tak senang.
Belakang kepala terus diusap. Sesekali menatap Alika. Haidar tidak memiliki keberanian untuk menatap ke mata, karena posisi ibunya bisa dikatakan tidak terlalu disukai oleh sang Ratu.
"Saya menunggu. Cepat katakan, ada apa?"
Kata-kata itu membuat Haidar tersentak. "Be-begini, saya...." maniknya berpaling lalu memandang ke bawah, "A-ayahanda, beliau meminta Yang Mulia Ratu untuk menemuinya di kamar. Jadi untuk sementara Tuan Putri bisa dititipkan ke saya."
Ratu terdiam. Sorot matanya tak lagi tajam, memikirkan alasan mengapa sang Raja tiba-tiba memanggilnya. Sedang Haidar masih dalam posisi yang sama. Tak lama, perhatian keduanya teralihkan oleh Alisha yang tiba-tiba menyelip dan mencengkeram abaya ibunya.
Alika otomatis tersenyum, mengusap surai halus sang buah hati. Tak ada kebohongan di sana. Haidar tak sengaja melihat momen tersebut, kepalanya lekas ditundukkan.
"Baiklah, aku percayakan Alisha padamu."
Kepala mendongak. Wajahnya menampilkan senyum saat itu juga. Haidar mengangguk cepat lalu berkata, "Terima kasih Yang Mulia Ratu."
Ratu lekas memeluk Alisha, sangat erat. Dan mencium kening putrinya sebelum menitipkan pada Haidar.
"Tuan Putri jangan nakal ya, ibunda pergi dulu."
Anggukan mantap Alisha seakan memberi energi baik untuk Alika. Dia jadi berpikir tak ada salahnya membiarkan Haidar mengurus sang Putri. Toh, dulu mereka sering bermain bersama. Pasti, semua akan baik-baik saja.
Senyum lembut tampak terbingkai di wajah ketika beliau meninggalkan Alisha. Prasangka tentang Haidar sudah lebih baik dari sebelumnya, sehingga tak ada lagi air muka tak mengenakan dari Alika untuk Haidar.
Sekarang, hanya ada Haidar dan Alisha, keduanya saling berpandangan dan tersenyum bersamaan.
Satu hal yang orang tua mereka tidak tahu. Alisha dan Haidar sudah sangat akrab, lebih dari yang mereka pikirkan. Apalagi sebelum Haidar pergi untuk menuntut ilmu, mereka layaknya saudara kandung sejak dulu. Walau berbeda ibu.
"Alisha, kamu tahu 'kan apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Alisha mengangguk mantap, jemari mungilnya ikut mengepal. "Hu'um, membebaskan Tante Yena."
"Yass! Ayo cari tempat Kak Yena disekap!"
Tanpa perlu diberi instruksi, Alisha langsung mengekor Haidar. Berlarian di lorong panjang menuju kamar tujuan.
Kakak beradik itu menghentikan langkah. Keduanya terpaku, menengadah takjub melihat pintu ganda yang mereka temui. Rupanya lorong dengan banyak pilar ini, membawa mereka pada sebuah kamar terpencil.
"Ini kamarnya."
"Kakak tau dari mana?" tanya Alisha tanpa sedikitpun berpaling dari pintu.
"Ayahanda yang bilang, kakak tidak sengaja menguping."
Mereka saling berpandangan. Alisha pun berlari cepat dan ingin segera mengetuk pintu. Namun, Haidar menahan pergelangan Alisha agar jangan mengetuk dulu. Saat saling menatap, Haidar menggeleng. Pipi tembam itu makin mengembung, Alisha begitu imut ketika sedang merasa kesal. Haidar sampai hilang fokus untuk sesaat.
"Kamu diam dulu! Biar kakak yang mengeceknya."
Meski terpaksa, Alisha menuruti perkataan Haidar. Tubuhnya disandarkan ke pintu selama Haidar mengetuk. Kedua kakinya dipandangi sambil sesekali melirik Haidar. Namun, setelah cukup lama tak ada tanda-tanda seseorang ada di dalam.
"Gimana? Ada Tante Yena?"
Haidar mendesah gusar. Tangannya jadi ragu untuk mengetuk lagi. Hingga beberapa saat Alisha hanya melihat tangan sang kakak yang terus maju mundur tanpa memulai aksi sesungguhnya.
"Kak! Sebenarnya Tante Yena ada gak sih di dalam?"
"Ada! jelas-jelas kakak mendengarnya langsung dari Ayahanda."
"Ya udah panggil!"
Mendadak Haidar merasakan hantaman keras tepat di dada. Mendengar keputusan adiknya yang spontan membuat kepercayaan dirinya menurun. Alisha masih kecil, tapi sudah berani melakukan hal diluar peraturan. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang selalu mengumpat, tapi tak pernah menentang perintah sang Ayah.
Sebagai kakak, memang tidak pantas mencontohkan perbuatan buruk. Akan tetapi, kali ini berbeda, Haidar ingin melanggar aturan karena menurutnya perbuatan sang Ayah sudah diluar batas.
Saat itu lah Haidar membulatkan tekad. Hela napas mengiringi ketukkan pintu dan seruannya, "Kak! Ini aku Haidar. Kakak ada di dalam?"
Tiba-tiba bunyi bantal dilempar dari dalam cukup membuat keduanya saling berpandangan. Seketika Alisha menempelkan telinga ke badan pintu dan memekik, "Tante! Tante Yena! Alisha di sini! Tante dengar suara Alisha?"
Terdengar kebisingan di dalam. Bahkan Haidar bisa memastikan ada yang sempat terjatuh dari ranjang. Bunyi kaki yang berlari tanpa alas sampai terdengar keluar, keduanya bernapas lega saat mendengar teriakkan Yena dari dalam kamar.
"Iya! Hanya kami! Kakak baik-baik saja?"
Cukup lama pertanyaannya menggantung, Haidar menatap Alisha, dibalas gedikan bahu pertanda tidak tahu.
"Iya, lumayan." Itulah jawaban Yena, membuat keduanya mengembuskan napas lagi. "Kalian, mau apa ke sini?" tanyanya kemudian.
"Aku ingin membebaskan kakak!"
"Aku juga!" Alisha menginterupsi, "Aku ingin membantu Kak Haidar."
"Tidak, kalian tidak mungkin bisa," Yena pesimis, berucap pelan dan putus asa.
"Tapi, Kak—"
"Haidar, Jangan keras kelapa! Aku tidak mungkin melakukan semua perintah gila ini jika bukan karena terpaksa." Kedua lengan terkepal seraya memukul pintu. Yena berusaha tegar meski kenyataan ini membuatnya sangat ingin menangis.
Kakaknya Haidar, tampak murung ketika mendengar kata-kata Yena. Meskipun Alisha tidak tahu alasannya, tapi dirinya dapat dengan mudah merasakan kesedihan dan rasa putus asa dari kedua orang yang sedang mengobrol terhalang pintu. Dia menatap sepatu mungilnya lagi, hanya diam membisu untuk beberapa saat.
"Kak, maaf."
Permintaan maaf Haidar terdengar sampai ke dalam. Ada setitik perasaan hangat yang membuat Yena tersenyum. "Haidar, semua yang terjadi bukan salahmu. Jadi bersemangatlah, bantu aku sebisamu."
"Betul, Kak Haidar bukannya ingin menyampaikan sesuatu yang penting ke Tante Yena?"
Haidar berseru, raut wajahnya tidak lagi suram. Dirinya baru teringat hal penting itu setelah Alisha bertanya.
"Sesuatu yang penting?" tanya Yena dari balik pintu.
"Ya! Sangat penting. Sehingga kakak harus tahu secepatnya tentang informasi ini," ucap Haidar sambil mengusak pucuk kepala Alisha dan tersenyum.
"Baiklah, coba katakan sekarang."
"Ini tentang Nyonya Senna, istrinya Tuan Kazmer yang dua hari lalu berstatus tahanan di Kerajaan. Aku sempat menguping, kalau Nyonya Senna akan dieksekusi malam ini."
"Apa? Malam ini? Kamu tahu kabar itu dari mana?"
"Langsung dari mulut Ayahanda, aku sempat menguping obrolannya di balkon."
Otomatis mata Alisha mengerling. Haidar dapat merasakan tatapan penuh tanya dari sang adik.
"Jadi begitu." Semangatnya meluruh, Yena sudah memprediksi jikalau Nyonya Senna akan dihilangkan jua. Meski begitu, dia tidak menyangka akan secepat ini. Orang yang seharusnya dapat menuntun Yena menemui keluarga, justru sekarang sedang berada di ujung takdir.
Tidakkah semua yang terjadi terlalu kejam? kebanyakan orang yang dikenalnya satu per satu kehilangan kebebasan. Atau mungkin, ini lah wajah Raja Firan yang sesungguhnya.
"Kak, apakah kita tidak bisa membebaskan Nyonya Senna?"
Pertanyaan Haidar sangat bagus. Sayang, jelas jawabannya adalah tidak. Dikarenakan dirinya saja kesulitan untuk melawan, bagaimana mungkin bisa membebaskan orang lain?
"Aku tahu kakak tidak akan menjawab, tapi aku ingin mencoba."
"Haidar, jangan gegabah."
"Guru, tenang saja. Aku janji akan sangat hati-hati."
Yena terpegun, pertama kali Haidar memanggilnya 'Guru' setelah sekian lama. Sehingga dia tak mampu menghentikan garis lengkung di bibir yang terus terbingkai tanpa izin. Hasilnya, Yena tidak melarang ataupun mendukung, ia hanya berpesan 'gunakan penyamaran saat menyusup'.
Pesan itu terus diingat oleh Haidar, sampai tak sadar langkahnya terhenti di depan kamar Alisha. Saat itu, banyak sekali pertanyaan yang keluar dari bibir mungil sang adik, tapi Haidar hanya menjawabnya dengan, 'kamu masih kecil, belum saatnya tahu masalah orang dewasa'.