Chereads / ADURA / Chapter 50 - Bab 48 — Kecurigaan Eden

Chapter 50 - Bab 48 — Kecurigaan Eden

Di kamar mewahnya, Raja Firan duduk pada pinggiran ranjang sembari mengancingkan baju. Sang Ratu tampaknya sedang kelelahan, tapi memaksakan diri untuk tetap terjaga. Dia beringsut, mulai duduk perlahan, menutupi bagian tubuh tanpa pakaian dengan selimut.

"Mau pergi kemana lagi?"

Suara lirih sang Ratu membuat kegiatan mengancing itu terhenti. Raja melirik ujung pakaian yang sedikit ditarik oleh sang Ratu. "Ke suatu tempat, kali ini aku akan mengajakmu juga."

"Sungguh?" Ratu bertanya, memastikan dirinya tidak salah dengar. "Kau akan mengajak Leah juga?"

"Tidak, hanya kau."

Alika terdiam seribu bahasa. Pipi mulusnya tampak memerah perlahan, tak bisa mengontrol rasa bahagia. Hanya karena sebuah kalimat dari sang Raja yang sudah jarang sekali diucapkan padanya setelah kemunculan Leah.

"Aku akan menunggumu di ruang kerja. Jadi bersiap-siaplah dari sekarang."

Tanpa menoleh, Firan segera mengenakan judah putih dengan kain dililitkan di pinggang. Setelah sedikit merapikan rambut dengan jari, dia keluar begitu saja dan menutup pintu kamar.

Sementara sang Ratu masih dangan suasana hatinya yang berbunga. Tampak tersenyum-senyum membayangkan tempat romantis apa yang akan dipilih suaminya.

Bisa dibilang Alika sudah lama tidak berduaan saja dengan sang Raja. Karena ini termasuk kencan pertama setelah pernikahan Raja dengan Leah, Alika segera keluar dari kamar raja kemudian masuk ke kamarnya. Memilih abaya terbaik hanya untuk sang Raja, suaminya tercinta. Alika dibantu oleh kepala pelayan wanita untuk merias dirinya dan memilihkan baju.

Sementara itu, Panglima Eden baru saja menyelesaikan tugasnya di luar kota. Dia kembali ke kerajaan untuk melaporkan beberapa perkembangan dari wilayah kerajaan lain yang baru-baru ini ditaklukkan oleh Pasukan Perang Kerajaan Altair.

Di perjalanan menuju ruang kerja Raja Firan. Eden berpapasan dengan seorang pemuda kulit cokelat, rambut bagian sampingnya diikat kecil-kecil dari pangkal sampai ujung. Lalu diikat menyatu ke belakang kepala. Rambut sebahu yang tidak terikat dibiarkan begitu saja. Pemuda itu tampak membawa karung dipundaknya. Eden penasaran dengan isi karung tersebut.

"Hey! Tunggu! Kau muridnya Penasihat Zain, kan?"

Zakhan berbalik, maniknya langsung melirik karung yang dipanggulnya. Seketika dia nyengir kuda. "Bukan, bukan, saya temannya Kak Zain. Kalau Anda pasti Panglima Eden yang terkenal kejam itu. Salam kenal."

"Ah, sepertinya kita pernah bertemu." Eden berjalan sembari berpikir. Sambil curi-curi pandang pada karung yang Zakhan bawa.

"Betul, kita memang pernah bertemu." Zakhan berjalan mundur sebelum akhirnya berjalan di samping Eden.

Eden menatap Zakhan lagi. "Omong-omong, yang kau bawa itu apa?"

"Tumbuhan langka dari seorang penyamun di luar istana. Saya langsung membelinya karena harganya yang murah."

Mendengar jawaban Zakhan, tampaknya pemuda itu jujur. Tapi aneh, Eden masih merasa ada yang janggal tentang pemuda ini. Seperti, baru pertama kali dirinya melihat manusia berkulit cokelat, tapi matanya berwarna emerald. Sudah begitu, sifatnya agak berbeda dari awal mereka bertemu. Eden semakin curiga.

"Kalau begitu saya duluan, Panglima! Selamat malam!"

Baru saja ingin mengulik identitasnya, Zakhan sudah pamit duluan, berjalan mundur seraya membungkuk, sampai tak terlihat lagi sosoknya. Sayang sekali, niat untuk bertanya lebih jauh tak bisa terealisasikan. Eden seketika mempercepat langkah, agar lebih dulu sampai ke tempat tujuan.

Namun, ada sesosok remaja memakai pakaian resmi pengawal. Eden melihatnya sedang berjongkok di balik pagar tanaman. Dari belakang, remaja itu tampak seperti Pangeran Haidar.

Eden ikut bersembunyi sewaktu Raja Firan dan Ratu Alika keluar dari ruang kerja raja. Mereka dikawal oleh seorang assassin bernama Sameer dan dua pengawal di belakangnya.

Setelah cukup jauh, remaja itu berdiri. Namun, Eden langsungg menarik belakang pakaiannya. "Pangeran, Anda mau kemana menggunakan pakaian resmi pengawal seperti ini?"

Pangeran Haidar menelan ludah. Dirinya lekas berbalik dan senyum-senyum tak jelas, menunjukkan deretan giginya yang putih.

Eden melipat tangan, menunggu jawaban. Namun, Haidar hanya diam seraya menggaruk pipi yang tiba-tiba gatal.

"Lebih baik Pangeran tidak perlu ikut mencampuri urusan Yang Mulia. Akan sangat berbahaya bagi Anda sendiri."

"Tapi ...," Haidar menghela napas dan tersenyum, "Anda benar Panglima, terima kasih sudah mengingatkan."

Eden membalas senyuman tipis Haidar dengan baik. "Sekarang, kembalilah ke kamar. Sudah tengah malam, Anda harus tidur lebih cepat. Besok, sekolah sudah mulai masuk lagi, kan?"

"Ya, betul sih. Kalau begitu saya kembali sekarang."

Haidar pun pergi. Akan tetapi, dia malah berjalan maju, menuju kedua orang tuanya yang baru keluar tadi. Eden dengan cekatan, langsung menarik kerah baju Haidar dan membelokkannya ke arah berlawanan. Haidar hanya bisa nyengir sambil menggaruk belakang kepalanya dan langsung berlari kabur.

"Ada-ada saja." Begitu komentar Eden setelah sosok Haidar tak terlihat lagi.

Eden juga sebenarnya penasaran. Mau kemana Yang Mulia Firan dan istri pertamanya? Jika ingin menghabiskan waktu berdua, kenapa ada pengawal dan Sameer yang ikut? Hasilnya, Eden mencoba membuntuti mereka dari jauh.

Beruntung sekarang sudah larut. Tidak banyak pengawal yang berjaga. Dirinya juga sempat melewati beberapa pengawal yang ketiduran dengan posisi berdiri di depan pagar besi. Sehingga Raja Firan tidak menyadari.

Ternyata mereka masuk ke sebuah taman terbengkalai. Pohon dalam pot dan bunga-bunga yang ada di sini tampak tak terurus. Daun kering berserakan di sepanjang jalan. Eden mengendap-endap di belakang pagar taman yang tidak berbentuk rapi seperti seharusnya karena tidak dirawat.

Eden tersentak, melihat algojo yang tampak masih menajamkan pedang panjang untuk eksekusi. Dirinya langsung bersembunyi di semak-semak sebelah kanan.

"Siapa wanita ini?" tanya Alika. Membuat Eden berpikir, sepertinya ada seorang wanita lagi di sana.

"Alea, rivalmu dulu. Sekarang orang yang kau benci berada di bawah, pasti rasanya menyenangkan, bukan?"

Karena tidak ada jawaban apapun dari sang Ratu, Eden berusaha mengintip. Ternyata dugaannya benar, ada seorang wanita yang ditutup wajahnya dengan kantung kain. Tangan beserta kakinya diikat dan dibiarkan berlutut.

"Yang Mulia, apa maksudnya ini?" Alika.

"Kau tidak senang?"

Eden terus menguping tanpa dapat melihat posisi Raja Firan Dan Ratunya. Mendadak terdengar tamparan keras.

"Lepaskan dia! Kenapa kau jadi semakin kejam seperti ini, Firan!"

Ini masalah rumah tangga ya? Tapi apa hubungannya dengan wanita yang diikat itu?

Tiba-tiba...

Bruk!

Tubuh sang Ratu limbung akibat dorongan kasar dari Nyonya Leah yang mendadak muncul dari samping kiri. Alika tersungkur dengan pantat berlebih dahulu.

Leah langsung bergelayut manja pada sang Raja. "Cih, dasar ratu sok suci! Memang kau tidak pantas bersanding dengan Yang Mulia," cibirnya.

Sedangkan Raja Firan hanya menatap dingin ratunya. Dan mengabaikan tanpa ada rasa kasih untuk membantu. Fokusnya beralih pada seorang algojo yang sudah selesai mengasah pedang. Terlihat siap memenggal siapapun yang diperintahkan sang Raja.

"Bangunkan dia!"

Algolo itu menempeleng Alea hingga si empunya mengerang. Dia kebingungan karena sadar tidak berada di jeruji besi lagi.

"Bagaimana kabarmu, Alea? Atau aku panggil Senna saja ya."

"Jangan bercanda! Cepat lepaskan aku!"

"Oh tentu, aku akan melepaskanmu secepatnya, sekalian dengan nyawamu juga."

Eden mengepal tangan. Ia baru sadar sedang berada dalam posisi yang sangat berbahaya. Seorang wanita malam ini akan dieksekusi mati secara diam-diam. Dan nahasnya, ia tak bisa membantu apa-apa. Walau dia tau siapa wanita itu. Akan tetapi Eden tak bisa berbuat sembarangan.

Bisakah Eden membiarkan sang Raja menghukum mati wanita itu? Seperti dirinya yang dulu, membiarkan kedua orang tuanya mati perlahan-lahan akibat seseorang memasukan racun pada makanan mereka. Atau malah sebaliknya?

"Tenang, Nak! Kau harus berpikir jernih. Pikirkan dengan otakmu yang besar itu, pasti ada celah yang tidak terlihat. Jangan putus asa!"