Chereads / ADURA / Chapter 47 - Bab 45 — Ketakutan Sang Raja

Chapter 47 - Bab 45 — Ketakutan Sang Raja

Firan, dipaksa bersimpuh di atas karpet kerajaan oleh dua pengawal. Dari samping kiri-kanannya sudah ada beberapa menteri berdiri menatap lantai. Sedangkan di dekat singgasana ada Ghani dengan wajah tanpa ekspresi. Beliau berusaha menahan amarah yang mendidih sejak tadi.

"Apa tujuanmu mengganggu istriku? Tidakkah kau puas dengan banyaknya istrimu?" kalimat Ghani terhenti. Ia memejam sebentar, mengambil napas, kemudian melanjutkan, "aku sudah berbaik hati tidak memenjarakanmu karena kau adalah kakakku. Jangan pernah lupa atas kelakuanmu yang membuatku harus menikah dengan banyak wanita. Sekarang, apa yang kudapatkan?"

Pandangannya tidak fokus, Firan tampak mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Dirinya tak menjawab sepatah katapun pertanyaan Ghani. Isi kepalanya penuh dengan pemikiran sendiri hingga kebencian terhadap saudaranya kian menggunung.

"Baiklah, karena kau terus bungkam, kali ini aku akan lebih tegas."

"Pengawal!" pekik Raja Ghani. Dua pengawal itu seketika berlutut hormat.

"Kakakku Firan, dia telah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Sebagai Raja, aku harus bersikap adil dan tidak boleh memberi keringanan hukuman padanya," tutur Ghani menatap semua orang yang ada di ruang singgasana.

"Untuk menebus semua kejahatan yang telah kau lakukan ...," kalimat terhenti saat pandangannya sampai pada sosok Firan yang bergeming, "... pergilah bersama istri pertamamu ke oase terjauh dari kota. Kerajaan tidak akan menerima keluargamu selamanya, kecuali anak-anak yang lahir dari rahim istri pertamamu. Sementara istri-istrimu yang lain harus menerima hukuman sebagai pelayan seumur hidup di kerajaan ini."

Firan membeku mendengar pernyataan Ghani. Kepalanya pun menengadah dengan tatapan yang kian gelap, penuh kebencian, dan dendam.

"Dengan kata lain, kau bukan lagi bagian dari Kerajaan."

DEG!

Rasanya seperti dihantam oleh batu raksasa. Menghancurkan tubuhnya sampai kepingan terkecil. Firan tak menyangka, mulai dari sekarang dirinya bukan keluarga kerajaan lagi. Hanya karena adiknya seorang raja dan seenaknya memberi hukuman.

"Ghani! Keparat kau!" teriak Firan, menggema di seluruh sudut kamar. Kelopaknya seketika membola dengan napas yang tersengal-sengal.

Namun yang dilihatnya sekarang, bukan lagi sang adik melainkan langit-langit kamar dengan lampu yang menggantung, berbentuk mahkota dan bersinar indah.

Firan langsung melirik ke samping, terlihat Leah sedang memeluknya dan masih tidur. Wajahnya lekas diusap, mengeringkan keringat akibat mimpi buruk tentang masa lalu. Dirinya langsung duduk, menunduk, dan merenung.

Mimpi itu membuat tubuhnya gemetar. Kedua tangan saling bertaut dan mengepal erat. Firan sungguh tidak ingin orang-orang dari masa lalu kembali. Kalau sampai hal itu terjadi, posisinya bisa saja tergantikan.

"Tidak ... mimpi itu tidak boleh jadi kenyataan," gumamnya beserta tatapan tajam penuh kebencian.

***

Pagi harinya, Firan sudah berpakaian dengan setelan jubah seperti biasa. Sebuah kain dililitkan ke pinggang lengkap dengan sabuk kulit bertabur emas. Dia sedang berdiri di depan air mancur kerajaan yang dikelilingi tumbuhan hijau dengan daunnya yang banyak. Tak lupa bunga-bunga kecil mempercantik sekitarnya. Firan terlihat sedang menunggu seseorang.

Orang yang ditunggu akhirnya menampakkan diri. Dia Zain, berjalan menghampiri setelah raja memutar tubuh untuk menatapnya.

"Akhirnya kau datang juga."

"Karena Anda berpesan untuk tiba secepetnya," jelas Zain.

Firan meneliti pakaian yang dikenakan Zain. Jubah cokelat dengan pin banteng. Sepertinya Zain baru saja bertemu dengan 'bos'nya yang buruk rupa, begitulah kira-kira yang Firan pikirkan.

Kemudian Firan kembali menatap air mancur. Kedua lengannya ke belakang saling memangku tangan. Terdengar desah frustasi dari bibirnya.

"Sebenarnya ada apa?" Zain.

"Istri dari saudagar muda itu, aku yakin dia Alea yang menyamar."

"Anda tidak salah mengenalinya, Yang Mulia?"

"Entah bagaimana, wajahnya tidak berubah sama sekali."

Sejenak, tak ada yang berkata. Zain hanyut dalam pemikirannya sendiri. Pernyataan sang Raja tidak masuk akal, tapi jika melihat reaksi Senna kemarin, pernyataannya jadi terdengar sangat masuk akal.

"Ayo kita percepat eksekusi. Sepasang ibu dan anak itu harus segera dimusnahkan," ucap Firan tiba-tiba, mengalihkan perhatian Zain.

"Maksud Anda Nyonya Senna dan assassin, mereka ibu dan anak?"

"Lebih tepatnya Alea dan putranya. Sepertinya mereka berhasil selamat dari 'pembersihan' setelah kakakku mati."

Zain mendadak gugup saat sang Raja berbalik. Sorot matanya begitu dingin dan gelap bagai lubang tak bertepi. Dendam yang terus dipupuk sejak kecil, akhirnya menghasilkan seseorang yang penuh ambisi dan kebencian tiada akhir. Seperti Firan yang sekarang.

Zain berusaha menetralkan degup jantungnya dengan memejam sebentar. "Jangan terburu-buru. Kita harus mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk," ucapnya menatap langsung ke mata.

Firan melangkah, lalu membisikkan sebuah kalimat pada Zain. "Suka atau tidak, saya akan tetap mempercepat eksekusinya." Dan pergi begitu saja tanpa mempedulikan pendapat Zain.

Pandangan Zain tertuju pada air mancur. Menghela napas untuk sedikit menghilangkan amarah. Dia berbalik cepat dan mengikuti langkah Raja Firan.

"Jadi, kapan eksekusinya akan dilakukan?"

"Besok lusa."

"Mengapa Anda ingin eksekusinya dipercepat?"

Firan menghentikan langkah. Dia berkata tanpa berpaling, "Tuan Zain, Anda tidak perlu tahu. Dan saya harap, hal ini tidak begitu berpengaruh banyak terhadap rencana Anda kedepannya." Kemudian berjalan kembali meninggalkan Zain.

Zain bergeming. Wajahnya tidak menunjukkan emosi setelah ditinggal Firan. Saat itu bibirnya mengucapkan beberapa patah kata, "Naif ... sembrono ... sombong ... aku tidak harus mematuhi semua perintahnya bukan?"

"Tidak harus, jangan terlalu patuh padanya."

Suara dari belakang mengejutkannya. Seketika, Zain memutar tubuh. Seorang pria yang selalu membawa-bawa buku ada di hadapannya sekarang. Dia pernah ikut dalam misi penangkapan assassin.

"Zakhan, sejak kapan kau menguping?"

"Sudah cukup lama, Kak." Seringai tipis terukir. Pria berkulit kecokelatan itu bernama Zakhan, terlihat sangat akrab dengan Zain.

"Aku sudah bilang, tunggu di dalam ruang bawah tanah. Kau malah kemari."

"Aku hanya penasaran dengannya, rupanya dia memang tidak cocok menjadi raja."

Zain pun mengembuskan napas kemudian berlalu dari sana, berlawanan arah dengan perginya Raja Firan.

"Loh, mau kemana lagi, Kak?" tanya Zakhan, bukunya langsung diselipkan ke dalam jubah dan mengekor Zain.

"Melanjutkan 'pekerjaan' yang tertunda, kita harus cepat menyelesaikannya."

"Cih, menyebalkan. Pekerjaanku makin banyak deh." Zakhan mencela pekerjaannya seraya berjalan santai dibelakang Zain.

***

Di sebuah kota perbatasan antara Selat Dien dan Negeri Alraml. Tepatnya di rumah persinggahan khusus sang Raja dan kaki tangannya. Syamsir tengah menulis dengan pena bulu. Dia mencelupkan pena pada wadah tinta dan mulai menulis beberapa kata lalu dirangkai menjadi kalimat pada selembar paripus.

Belum sempat menyelesaikan tulisan, seseorang dengan suara berat tiba-tiba mengetuk pintu. Saat itu juga goresan tinta terhenti. Syamsir memilih menyimpan pena bulunya di samping paripus. "Masuklah," katanya.

Seseorang itu masuk. Ia adalah Ketua Pelayan rumah ini, membawa sebuah gulungan paripus di tangan. Tanpa ada percakapan lebih, pelayan itu segera menyerahkan gulungan tersebut dan pergi setelahnya.

Sebelum membuka gulungan, Syamsir menyentuh sebuah pita khusus Kerajaan Altair dengan tambahan segel lilin berwarna kuning. Sudah pasti yang menulis gulungan ini adalah Raja Firan.

Entah apa maksudnya menulis isi gulungan secara langsung. Namun setelah Syamsir membaca isinya, alis yang tadinya berpisah kini menyatu. Ketenangan yang tadinya tampak, dibuat menghilang hanya karena tulisan yang isinya tentang eksekusi Hazard.

Raja Firan meminta Syamsir jangan pulang hingga eksekusi selesai. Hal ini membuat kerongkongannya terasa kering, seketika menelan ludah dengan cepat.

Ini berarti Syamsir harus segera mengirim gulungan pada Pangeran Harith. Jangan sampai rencana yang sudah dibuat jauh-jauh hari gagal begitu saja. Namun, sepertinya hari ini adalah hari paling mengangetkan bagi Syamsir.

Bagaimana tidak? Baru saja mengambil pena yang tergeletak. Badannya tersentak dan kaku di tempat. Sebab seseorang telah menghancurkan dinding kayu ruangan ini dengan batu raksasa sebesar badan. Pena bulu yang masih bersih, seketika berjatuhan dari meja. Pena yang dipegang ikut lepas dari tangan tatkala Syamsir mendapati seorang manusia dengan tubuh jangkung dan kekar muncul dari balik batu. Seorang lainnya membawa senjata api laras panjang di pundak. Senjata itu adalah senapan yang telah membunuh banyak Prajurit Altair saat perang perebutan wilayah terjadi.