Agar lebih jelas, Yena berjalan mendekati jeruji yang terkunci sebelah kiri. Seketika kaki mundur satu langkah. Ia cukup terkejut ketika mendapati mayat seorang prajurit telah terbujur kaku di dalam sana. Tubuhnya sudah kering kerontang tak berdaging. Hal seperti ini sudah biasa. Prajurit yang berkhianat hukumannya memang dipenjara seumur hidup. Dan ternyata arti seumur hidup menurut sang Raja cukup mengerikan.
"Ada apa?" pertanyaan ini membuat fokus Yena teralih dan memandang Senna.
"Bukan apa-apa, lebih baik Nyonya jangan mendekati jeruji."
Senna sekadar mengangguk. Perjalanan mereka segera dilanjutkan menuju belokan kiri di ujung. Saat mengintip lorong yang berbelok, tak ada ruang tahanan yang banyak. Hanya ada satu, dan di sanalah seorang pria terkurung.
"Hazard!" pekik Senna lekas berlari dan simpuh di depan jeruji. Seketika lupa dengan tujuan awalnya.
Sedang Yena, alisnya berkerut. Mencoba memahami situasi. Dia turut berlari kecil dan berdiri tepat di samping Senna. Ternyata pria yang ada di dalam jeruji, betul-betul Hazard.
Akan tetapi, anehnya, dimana ibu dan Adam? Mengapa justru hanya Hazard yang mereka temui? Apakah ada ruang rahasia lain? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang mulai bermunculan di benak Yena.
"Hazard! Kau Hazard? Apa kau mendengarku? Jawablah!" panggil Senna seraya kedua tangan meremas jeruji besi.
Jelas sekali dari ekspresi wajah Senna, Yena dapat melihat pandangan penuh cemas di sana. Seperti seorang ibu yang khawatir melihat kondisi anaknya.
Perlahan, wajah Hazard terangkat. Pandangan Senna langsung beradu dengannya. Gejolak rindu yang sudah tertahan bertahun-tahun, seketika membuncah begitu Senna mengenali garis wajah Hazard. Meski sudah sebesar ini, Senna masih ingat dengan jelas bagaimana bentuk muka sang buah hati saat terakhir kali dia menggendongnya.
"Hazard... kamu benar-benar Hazard...," lirih Senna. Air bening dari pelupuk mata langsung meluncur tanpa henti.
Isak tangis yang mendadak, membuat Hazard kebingungan. Seakan ruang hatinya menjadi penuh sesak hingga sulit untuk bernapas dengan normal. Sebenarnya siapa wanita ini? Pernahkah mereka bertemu? Kenapa wanita ini terus memanggil namanya dengan wajah yang membuat dadanya sakit?
Sebenarnya Hazard ingin langsung menghujani wanita itu dengan banyak pertanyaan, tapi tak bisa. Dengan kekuatan fisik yang terus melemah akibat mantra kutukan yang terdapat pada belenggu besi. Belenggu itu terus menyerap energi kehidupannya sedikit demi sedikit.
Yena menyadari keanehan pada Hazard. Meski kurang yakin, ia sadar Hazard berusaha berbicara walau tak jadi karena tubuhnya langsung terkulai lemas.
Yena lekas berjongkok. Tangannya mengusap bahu Senna sambil berkata, "Nyonya, kita harus kembali sekarang."
"Tapi, Hazard ...."
"Nanti saya pikirkan, yang penting kita kembali dulu."
Senna memandangi Yena, saat itu Yena mengangguk meyakinkan. Kemudian netranya kembali menatap Hazard yang terlihat tidak berdaya, kotor, dan penuh luka cambuk di lengan dan dadanya.
"Tidak!" Senna menggeleng cepat seraya menepis lengan Yena, "Saya tidak mau meninggalkannya lagi."
Jemari makin mencengkeram erat jeruji besi yang berkarat. Tatkala membayangkan perlakuan sang Raja kepada Hazard, derai air mata kian deras hingga membasahi abayanya.
Tidak berlangsung lama, pendengaran Yena menangkap suara langkah beberapa orang dari luar. Langkah itu makin jelas, membuat detak jantungnya berpacu lebih keras.
Seketika Yena menarik paksa lengan Senna hingga berdiri. Tatapan mereka langsung bertemu. Awalnya Senna marah dan ingin memaki. Namun saat melihat raut wajah Yena yang pucat pasi, semua emosi dalam hatinya musnah.
Keduanya saling mencengkeram erat pergelangan. Memalingkan wajah ke belakang untuk memastikan. Dan benar dugaan Yena, Penasihat Zain bersama dua pengawal muncul dari balik belokan. Kemudian sang Raja dan Eden muncul bersamaan.
"Kalian!" pekik Raja Firan dengan wajah mendidih. Tampak sekali amarahnya mulai berkobar melihat dua wanita berada di tempat yang tidak seharusnya mereka kunjungi.
"Cepat! Tangkap mereka!" Perintah sang Raja langsung dijalankan, kedua pengawal lekas membekuk Yena dan Senna.
Yena tidak melawan, ia pasrah saja tangannya diikat kebelakang dan di tuntun menuju sang Raja, tapi Senna memberontak sampai mencoba menendang kemaluan seorang pengawal yang menangkapnya.
"Lepas! Kau tidak berhak memperlakukan aku seperti ini, Firan!"
Teriakan Senna membuat Firan tersentak. Ingatannya berputar ke masa lalu, ketika dirinya mencoba memperkosa istri muda saudaranya.
Firan berjalan mendekati Senna untuk mencengkeram dagu. "Kau! Nama aslimu bukan Senna, kan?"
Manik cokelat Senna terlihat penuh kebencian. Tatapannya memberi sengatan memori yang sudah terkubur dalam-dalam. "Kau ... Alea?"
Cuih!
Tanpa takut, Senna meludahi Firan. Seketika mata Firan membola, merasa direndahkan karena wajahnya jadi berlumuran ludah.
Firan mengusap wajahnya kasar. "Wanita rendah! Berani sekali kau meludahiku!" pekiknya seraya mendorong Senna ke jeruji. Cengkeraman di dagu berakhir ke leher.
Senna meronta. Kedua tangannya berusaha melepas cengkeraman di leher dengan mulut mengap-mengap mencoba mengambil oksigen, tapi tidak berhasil.
"Sakit? Tenang saja. Aku akan mengirimmu langsung ke neraka hari ini."
Melihat kekejaman Firan, membuat Hazard ingin bertindak. Ia mencoba menarik-narik belenggu ke bawah, tapi tetap tidak berhasil. Giginya pun tampak bergemeretak. Entah mengapa Hazard merasa harus menyelamatkan wanita di depannya.
"Harap Anda tidak membunuhnya sekarang Yang Mulia," ucapan Eden membuat semua mata tertuju padanya kecuali Firan dan Hazard.
"Apa maksudmu, Eden? Wanita ini sudah lancang menerobos, dia pun meludahiku yang merupakan seorang raja. Jangan bilang kau akan berkhianat juga?" Tampak Firan melonggarkan cengkeramannya.
Yena tertunduk. Merasa sang Raja sedang menyindir dirinya.
"Benar apa yang dikatakan Eden, Yang Mulia. Kita masih memerlukan wanita itu," Zain menimpali. Sudut mata Eden melirik ke arah Zain, lalu kembali menatap ke depan lagi.
Cengkeraman pun dilepas. Kerutan amarah di dahi Firan masih melekat sempurna. Saat itu tubuh Senna langsung terkulai dan terbatuk-batuk di tempat. Tanpa jeda, Firan segera memerintah pengawalnya untuk membawa Senna ke ruang tahanan yang lain. Sementara Yena, Firan memerintah seorang pengawal lagi untuk mengurungnya di kamar.
Bruk!
Suara tubuh Yena yang terjatuh akibat dorongan dari seorang pengawal. Pengawal itu menatap nyalang dengan senyum miring. Seketika pintu kamar di tutup rapat-rapat, supaya Yena tidak dapat keluar sampai hari pernikahannya.
Setelah pengawal pergi, dalam posisi itu Yena mengepal kuat. Dirinya marah karena tak bisa berbuat apa-apa ketika Senna ditangkap. Di sisi lain, ia takut jika berontak keluarganya yang akan menerima balasan. Inilah yang membuat Yena tidak bisa keluar dari cengkeraman sang Raja.
Beralih ke ruang bawah tanah tadi. Sudah tidak ramai lagi. Hanya ada Hazard yang menunduk. Dengan tangan yang masih terkunci oleh belenggu.
Sejak sang Raja dan bawahannya pergi, Penasihat Zain mulai bertanya tentang identitas pemuda di depannya. Namun, Hazard bergeming.
"Jadi, kau tidak ingin menjawab? Kau Lebih memilih mati?"
Diam bagai patung, hanya terdengar bunyi napas yang berat dari Hazard. Penasihat Zain kesal. Ia berdiri sambil mengepalkan tangan. "Pemuda sombong, padahal ini kesempatanmu agar bisa lepas. Kau justru memilih mati? Dasar tidak waras," celanya.
Setelah puas memaki, Zain berbalik untuk berjalan keluar dari sana.
Mendadak suara tawa bergema di seluruh sudut ruang. Suara itu berasal dari Hazard. Otomatis Penasihat Zain berbalik, lalu menendang-nendang jeruji sampai Hazard berhenti tertawa. "Apa maksudmu tertawa seperti itu, huh?"
"Tidak ada, saya hanya ingin tertawa sebelum menjemput ajal," lirih Hazard bersuara. Kali ini wajah sedikit terangkat. Kilat biru dari kedua bola matanya tertangkap Zain.
Zain terkesiap. Tubuhnya mendadak gemetar melihat tatapan yang tak biasa dari Hazard. "Sial!" celetuknya pelan.
Zain lekas pergi dari sana, meninggalkan Hazard dengan kecemasan yang menggunung. Ketika sudah sampai di ambang pintu masuk dan menutupnya, Zain menatap telapak tangan. Keduanya gemetar bersamaan tanpa sebab dan berkeringat. "Pemuda itu ... sangat berbahaya," desisnya seraya mengepal.