Pena bulu yang masih bersih, seketika berjatuhan dari meja. Sementara pena yang dipegang ikut lepas tatkala Syamsir mendapati seorang manusia dengan tubuh besar dan kekar muncul dari balik batu. Seorang lainnya membawa senjata api laras panjang, tersampir di pundak. Senjata itu adalah senapan yang telah membunuh banyak Prajurit Altair saat perang perebutan wilayah. Bernama Zejail[1].
"Pangeran Asad?! Dari mana Anda tahu saya di sini?"
Asad, salah satu pangeran yang kerajaannya dihancurkan oleh pasukan Raja Firan. Satu-satunya anggota keluarga raja yang selamat dari pembantaian.
Dengan mata penuh intimidasi, Asad melangkah cepat. Kaki beralaskan sepatu kulit menginjak meja. Tanpa ragu, dia mengacungkan Zejail tepat di hidung Syamsir. Seketika, Syamsir bangkit dan mengangkat tangan.
"Seben—"
"Tidak usah basa-basi dan beritahu aku sekarang! Kenapa sampai hari ini, kau belum mempertemukanku dengannya? Kau mau menipuku?" cecarnya memotong ucapan Syamsir. Warna mata cokelatnya begitu menusuk, selaras dengan pigmen kulitnya yang eksotis.
"Saya ingin menjelaskan semuanya tadi." Syamsir terlihat tak tenang. Maniknya sesekali melirik ujung senapan dengan ludah ditelan.
Asad sempat terdiam, berpikir. Sekejap saja senapan lekas diturunkan. Syamsir pun mengembuskan napas lega dan menurunkan kedua tangan.
"Aku tidak akan memberi kesempatan kedua. Sekarang, cepat jelaskan!" titahnya penuh penekanan sembari menumpangkan senapan di bahu.
Mata terpejam sesaat, guna menetralkan detak jantung. Syamsir menuturkan, "Sebenarnya saya sudah memberikan gulungan itu pada Pangeran Harith. Beliau menerima dengan baik tawaran Anda."
"Lantas, mana gulungan darinya? Tanpa bukti, mana mungkin aku percaya."
Syamsir menempatkan kedua tangan di sisi meja. Menatap Asad seraya tersenyum miring. "Kalau saya mempertemukan Anda dengan Pangeran Harith, apa Anda akan percaya?"
"Pertanyaan macam apa itu? Jika buktinya memang ada, tentu aku percaya."
Mendengar jawaban Asad, matanya sedikit melebar kemudian tersenyum kecil. Syamsir berkata, "Baik, tapi ada syaratnya dan tidak mudah."
Tampak tarikan alis di wajah Asad. Matanya kembali beringas bagai pemburu yang kehilangan mangsa. "Syarat apalagi? Jangan main-main denganku!"
"Tenang pangeran, Anda hanya perlu menakhlukan semua bawahan Raja Firan yang ada di sini."
"Cih, memangnya kau pikir aku di sini karena apa?" Mendadak, seringai muncul di bibir Asad. Saat itu, Syamsir mulai curiga.
"Maksud Anda ... apa?"
Asad hanya menjawab pertanyaan Syamsir dengan alis yang diangkat sebelah. Hal tersebut membuat Syamsir gelisah.
"Tidak mungkin, tidak ada keributan di luar!" sergah Syamsir.
Pria bertubuh kekar mengangkat batu raksasa yang menghalangi lubang besar di dinding hingga berdentum cukup keras, mengakibatkan perhatian Syamsir beralih pada lubang di dinding yang rusak.
Syamsir melangkah cepat dan berhenti di depan meja. Wajahnya sampai melongo melihat manusia berbaju zirah bergelimpangan bagai mayat. Namun saat mencoba mendekat, mereka terlihat masih bernapas.
Saking tidak percaya, Syamsir menghampiri salah satu prajurit yang tergeletak di tanah kering berumput jarang. Ia mencoba mendengar detak jantung pria tersebut. Dan benar, pria itu masih hidup.
"Mereka kenapa? Mengapa bisa seperti ini?" gumam Syamsir, matanya beredar pada beberapa tubuh prajurit lainnya.
Asad dan pria kekar berjalan menghampiri Syamsir, berhenti di sampingnya. "Kau tidak akan percaya jika tahu siapa yang membuat mereka seperti ini."
"Jadi, bukan Anda yang melakukannya?" tanya Syamsir tanpa memandang wajah.
"Mana mungkin, mereka semua pasti mati jika itu aku."
"Kalau begitu, siapa?"
"Penyihir putih, mereka menawarkan jasa untuk hal ini," jawab Asad seraya berjongkok dan mencolek tubuh prajurit yang tak sadarkan diri menggunakan senapan.
Melihat tingkah berbahaya tersebut, Syamsir melirik Asad dengan pandangan ngeri. "Mereka ... masih hidup? Padahal banyak yang bilang pengguna sihir putih sudah tidak ada."
"Kau salah, mereka hanya menunggu waktu yang tetap untuk muncul."
"Kalau begitu, sekarang mereka di mana?"
"Tidak tahu, mereka langsung pergi setelah melakukan tugasnya. Jika tidak, Khobi sudah memberikan imbalan lebih untuk mereka."
Seketika Syamsir melirik pria besar yang ada dibelakang, namanya Khobi. Kemudian kembali menatap Asad. "Lalu bagaimana caranya membangunkan kembali para prajurit ini?"
Seperti ada yang menghentikan waktu, tubuh Asad mendadak beku. Senapan seketika diam, lekas disampirkan ke pundak. "Saya tidak tahu," sahutnya tanpa menoleh.
Wajah Asad mendadak muram. Tak lagi berkobar-kobar seperti sebelumnya. Sedangkan Syamsir mencoba mencari ide, agar pingsannya para prajurit tidak menjadi sia-sia.
Tapi Asad, tiba-tiba mengacungkan sebuah belati dari belakang punggungnya dan berucap lantang, "Kalau begitu bunuh saja!"
Syamsir yang tak siap langsung berdiri melihat kelakuan Asad. Hebatnya, pria kekar langsung menahan tubuh Asad. Menguncinya supaya tidak berlaku seenaknya.
"Lepas, Khobi! Aku harus membunuh mereka!"
"Tenanglah! Saya tahu Anda malu. Tapi tolong jangan bertindak gegabah." Khobi terus menahan tubuh Asad yang berontak. Sementara Syamsir, sudut bibirnya berkedut-kedut melihat drama majikan dan bawahan di depannya.
Setelah perdebatan dan kekonyolan berlangsung cukup lama. Berkat kelakuan seorang pangeran yang sifatnya cukup langka, Syamsir terpaksa menunda untuk menulis gulungan.
Asad, wajahnya masih ditekuk sampai sore. Walaupun Syamsir sudah menemukan solusi, menyembunyikan seluruh prajurit yang pingsan dengan mengikat semuanya di gudang.
Bahkan sejak tadi, Asad tak berkutik dari sisi dinding yang rusak. Bersandar sembari menikmati lembayung senja yang sebentar lagi beralih menjadi malam.
"Kapan kita berangkat?" tanya Asad, menatap Syamsir.
"Tunggu sebentar." Bersamaan dengan perkataan tersebut, gulungan paripus langsung disegel oleh lilin cair dengan sempurna. "Tinggal satu langkah lagi, gulungan ini harus dikirim secepatnya pada Raja Firan," jelas Syamsir sambil memamerkan gulungan yang sudah terikat rapi oleh pita merah.
Asad memandang paripus tak berminat. "Apa rencanamu setelah ini?"
Syamsir langsung menjelaskan rencananya pada Asad, tak ada yang perlu ditutup-tutupi. Dari rencana awal yang mengharuskan Syamsir membuat gulungan sebagai pemancing. Setelah terkirim dengan baik, Raja Firan akan mengutus seseorang untuk mengamati situasi. Jika orang tersebut melapor sesuai yang ada di lapangan. Prioritas sang Raja sudah jelas akan berubah.
"Jadi kau ingin memanfaatkan kehadiranku sebagai ancaman?" tanya Asad sesudah memikirkan berulang-ulang rencana Syamsir.
"Tanpa dilebih-lebihkan, Anda sendiri saja sudah cukup menakutkan, Pangeran." Syamsir mulai mendekati Asad dan berdiam diri di samping, sambil menatap hilangnya sang surya dari peraduan. "Anda tahu, Raja Altair itu sesungguhnya pengecut."
"Tidak peduli, aku hanya ingin pria bau itu mendapat ganjaran yang setimpal. Sesuai dengan apa yang sudah dia perbuat."
Seketika senyum Syamsir terkembang. Dengan percaya diri dia menjawab, "Tenang saja, kata kegagalan tidak ada dalam kamus saya."
"Ya—baguslah, aku jadi bisa mengandalkanmu."
Akhirnya mentari terbenam sempurna. Digantikan oleh bulan sebagai penerang di malam hari.
Namun, berbeda dengan Yena. Ruangan yang dia tempati memang sangat terang tanpa bulan sekalipun. Tampak luas dan mewah, terlihat begitu bagus untuk menjadi sebuah kamar. Akan tetapi, hal ini tidak sebanding dengan perasaan putus asa yang terus menghimpit hatinya.
Bagai burung dalam sangkar. Indah dan cantik, tapi tidak dapat terbang dengan bebas.
Seperti itulah Yena selama ini, hanya menjadi suruhan seorang Raja Altair. Terus berusaha patuh dan tidak berkhianat. Berlatih untuk menjadi Ksatria terhebat. Berharap suatu hari nanti, dia dan keluarganya dapat terbebas dari jeratan tambang berduri yang terus menyayat kewarasannya sedikit demi sedikit.
Sayangnya, kesetiaan Yena tidak dibalas dengan baik. Sang Raja hanya terlalu egois untuk menyadari bahwa kehati-hatiannya membawa kebencian yang amat dalam untuk Yena.
Dalam diam Yena bersumpah, akan berpihak pada siapapun yang bisa membebaskan dia dan keluarganya dari tali kekang sang Raja. Bila perlu sampai dirinya menghembuskan napas terakhir. Begitulah janjinya selama terkurung dalam kamar ini.
Tok... Tok... Tok...
Yena duduk seketika di ranjang, suara ketukan yang amat di nantikan itu tak cukup nyaring di telinga. Itulah kenapa Yena tidak langsung beranjak. Dia diam dulu untuk menunggu suara selanjutnya.
Cukup lama, tak ada bunyi apapun lagi. Mungkin seperti sebelumnya, sekadar halusinasi saja. "Apa aku sudah tidak waras?" lirihnya sambil menertawakan diri sendiri.
Kini giliran bisik-bisik dua orang terdengar di balik pintu. Yena merasa dirinya memang sudah tidak sehat. Kemudian langsung membenamkan kepala dan menutup telinga dengan bantal.
"Kak! Ini aku Haidar. Kakak ada di dalam?" pekik sebuah suara membuat Yena menggeram kesal.
"Diam!" umpat Yena seraya melempar bantal ke pintu, "aku sampai bisa mendengar suara Haidar. Apa aku sudah segila itu? Arghh!" lanjutnya meradang dan meremas kepala.
"Tante! Tante Yena! Alisha di sini! Tante dengar Alisha?"
Penglihatan Yena langsung tertuju pada pintu. Suara cempreng nan lucu itu sudah jelas suaranya Putri Alisha. Seketika, Yena berlari yang bersimpuh di depan pintu.
"Tuan Putri? Pangeran? Kalian di luar?"
——————
Ket:
[1] Nama asli Jezail, senapan api dari Timur Tengah di masa lalu. Populer dikalangan suku Pashtun.