Pagi ini, kota Reda sudah dipenuhi manusia yang berkerumun di pinggiran jalan utama. Berawal dari gerbang Istana Altair, mereka berderet sampai pada jalan menuju keluar dari kota ini. Hazard, menjadi satu dengan masyarakat yang ada. Terik mentari tidak akan bisa mengurungkan niatnya dalam melaksanakan tugas, meski keringat dingin mulai membasahi pelipis, karena kondisi gurun yang lembab akibat pergantian iklim. Setelah membaca gulungan paripus dari Harith, dia menarik kain hitam di leher menjadikannya masker.
Manik kelamnya berganti biru, memperhatikan setiap unta yang membawa benda penting dan makanan. Nyonya Chayra pernah menjelaskan, ritual pernikahan yang sedang diadakan ini bernama Satu Hari Satu Malam. Di mana mempelai pria harus mengadakan pesta di tempat tinggal mempelai wanita saat malam, sementara mempelai wanita mengadakannya di tempat mempelai pria pada siang hari. Itulah mengapa beberapa hari lalu, rombongan Putri Anyelir datang jauh-jauh dari Negeri Aisty, hanya untuk menyelesaikan ritual pernikahan yang sudah ditetapkan sejak zaman dulu.
Dalam kondisi ramai seperti ini, merupakan keadaan yang paling baik untuk melancarkan tugas dari Harith. Yaitu membunuh Yang Mulia Raja Firan.
Tak lama, tandu yang diduga berisi Tuan Raja dan calon istrinya terlihat mendekat. Keberadaannya sangat mencolok mata, disebabkan hiasan kain tenun dan manik-manik di sekeliling atap tandu yang melingkar.
Saat itu juga, Hazard berusaha membuat kekacauan. Dia menggerakkan pasir dengan kekuatannya lalu dilemparkan pada dua orang laki-laki dan membuat mereka saling bertarung.
Hal yang sama dia lakukan pada penduduk lain, sehingga keadaan yang tidak mendukung ini, membuat jalan utama menjadi terhalang. Mengakibatkan para pengawal harus turun tangan dan mengamankan mereka yang membuat onar.
Pada akhirnya setiap tandu yang dipanggul oleh enam orang pelayan pria itu diturunkan. Terlihat seorang Ketua Pengawal meminta izin pada Yang Mulia untuk menyelesaikan keributan di luar agar situasi bisa tenang kembali. Raja Firan mendadak keluar dari tandu.
"Saatnya melancarkan misi," gumam Hazard dengan jemari mencengkeram erat gagang Zadura.
Debu-debu pasir mulai bergulung dari arah depan layaknya sebuah badai. Senyuman yang selalu menemaninya dalam setiap pertarungan pun mencuat. Dengan satu langkah maju dirinya melesat, mengincar kepala sang Raja.
Tiba-tiba...
Trang!
Dua bilah pedang biasa menghadang serangan Hazard. Matanya membola ketika melihat sosok wanita yang menghalau serangannya. Wanita itu Yena, dia mengenakan pakaian pelayan dengan rambut yang sebagian dicepol.
Hazard pun melompat kebelakang membuat fokusnya sedikit hilang. Akibatnya sebuah belati yang mendadak dilempar tidak dapat dihindari. Pedang Zadura pun terpental dari tangan.
"Aghh!" erangnya seraya mencengkeram lengan. Darah dari pergelangan mulai menetes pada jalan berbatu.
Belati tersebut telah dilumuri racun hasil racikan Zain. Membuat keseimbangan Hazard langsung terganggu. Mereka, para pengawal raja memanfaatkan situasi dengan mengacungkan semua persenjataan kearah Hazard. Dengan begitu Hazard tak mampu mengambil pedangnya kembali.
Dengan sigap, seorang pengawal mengikat lengan Hazard ke belakang, memaksanya berlutut. Semua orang di sana langsung terpaku penuh ketegangan. Perhatian mereka tertuju pada Hazard.
"Oh! Tuan Assassin ternyata. Sudah lama tidak bertemu ya," sapa Raja Firan dengan nada mengejek, "bagaimana kekuatan Anda sekarang? Sepertinya tidak ada yang berubah?"
Hazard dapat melihat dengan jelas sepatu seorang Raja Altair. Runcing ujungnya seperti kebanyakan sepatu konglomerat. Saat ingin menatap wajah raja, seorang pengawal langsung mengeplak kepalanya agar menunduk lagi.
"Mau apa kau menatap ke atas? Hormati Yang Mulia!" pekik pengawal itu lalu membusungkan dada, merasa bangga karena mampu mengikatkan tali pada seorang buronan berbahaya.
Tak ada balasan apapun dari Hazard, ia benar-benar bungkam. Raja Firan sampai menggertakkan gigi, merasa diabaikan. "Seret dia, bawa ke penjara paling bawah," titahnya seraya melengos dan masuk kembali ke tandu.
Seorang pengawal tadi tanpa belas kasih, memasang tali kekang pada Hazard. Ia memaksanya berjalan seperti kuda yang dituntun oleh majikan.
Sedangkan di sudut lain, Yena memalingkan wajah dan memeluk lengan ketika Hazard melewatinya. Dia kembali pada barisan pelayan yang menuntun unta dan menyimpan pedang biasa di punggung unta lalu ditutup dengan kain hitam. Sementara Sameer, sudah resmi menjadi Pengawal Pribadi Raja yang baru. Dia berpura-pura menjadi pelayan pria yang memanggul tandu, dia juga lah yang melempar belati hingga membuat Hazard tertangkap.
"Panglima Eden, bisakah kau kemari sebentar?"
Eden yang sejak tadi hanya menonton di samping tandu sang Raja, lekas menghampiri saat di panggil. Dia berlutut di luar tandu yang terbuka gordennya. "Ada apa Yang Mulia memanggil saya?"
"Temani Putri Anyelir pulang. Sampaikan pada Raja Bosnavi, terima kasih atas bantuan sandiwaranya," Raja Firan duduk di dalam tandu tanpa menoleh. "Oh, dan ... katakan juga, jangan lupa untuk mempersiapkan pesta pernikahan. Putraku Haidar, akan melamar Putri Anyelir dalam waktu dekat," sambungnya melirik sambil tersenyum, tampak seperti tak pernah ada yang terjadi.
Tandu Yang Mulia Firan berbalik arah, bersamaan dengan setengah rombongannya. Eden menatap lekat kepergian sang Raja. Sebelum hal ini terjadi, dirinya sudah tahu rencana tuannya. Rencana picik beliau tentang pedang Er'dura dan Yena. Juga eksekusi yang akan tuannya lakukan pada assassin buronan itu.
Dengan lantang, Eden menyuruh semua warga kota untuk pulang. Para Pengawal Putri Anyelir ikut membantu membubarkan massa.
"Lakukan saja sesuai tugas," gumam Eden pada diri sendiri. Sekelebat ingatan tentang orang tua tiba-tiba muncul.
Dalam ingatan itu, bayangan ayahnya berlutut dihadapan Eden kecil. "Anakku, Eden. Kau tidak perlu bingung, lakukan saja sesuai perintah. Sebab, Ksatria sejati tidak akan pernah mengkhianati Tuannya."
Eden memejamkan mata sejenak, lalu segera menaiki kuda. Dia langsung memimpin perjalanan pulang sang Putri Bosnavi. Sesuai perintah absolut tuannya.
🍂🍂🍂
Hazard dimasukkan pada sebuah penjara besi di ruang bawah tanah paling dalam. Kedua kaki dan tangan dipasangkan belenggu besi yang rantainya menempel pada dinding batu. Pintu sel segera dikunci oleh pengawal tadi. Di belakangnya ada dua pengawal lain, mengunggu sembari memegang obor.
Pengawal itu penasaran. Mengapa orang yang terkenal bahaya dapat tertangkap dengan mudah. Apalagi melihat tangannya sekarang yang mulai menghitam, sebenarnya kenapa?
"Hey, bicaralah! Mengapa kau pasrah sekali kami tangkap? Apa sebenarnya kau memang lemah?"
Bukannya menjawab, Hazard justru memandang tajam si pengawal. Tak ada ekspresi di sana, bahkan bibirnya tidak bergerak sama sekali. Yang ada hanya tatapan yang makin dalam makin mengerikan.
Kilat biru mengejutkan si pengawal hingga membuatnya terjengkang ke belakang. Bokongnya menyentuh tanah dengan napas berderu cepat dan tak beraturan.
"K-kau!" Dengan gagap pengawal itu tak mampu meneruskan ucapannya. Ia lari terbirit, meninggalkan dua pengawal di ruang tahanan yang menatapnya heran.
"Ada apa?" tanya pengawal sebelah kiri.
Pengawal lainnya menggeleng seraya mengedikkan bahu, "Manaku tahu." Lalu menatap Hazard yang menunduk diam.
"Sudahlah, ayo pergi," ajak pengawal sebelah kiri. Keduanya pun pergi dari sana meninggalkan Hazard.
Sebelum membawa Hazard masuk ke dalam ruang bawah tanah. Yang Mulia Firan sempat membuka masker yang dikenakan Hazard. Matanya berkedip beberapa kali sembari membeliak tak percaya. Bahkan keseimbangannya langsung terguncang sampai membutuhkan Sameer dan Tuan Zain untuk menopang tubuhnya agar tidak jatuh. Raja Firan pun terduduk di singgasananya.
Kilas balik masa lalu membuatnya tak bisa berlama-lama diam. Dengan berjalan terhuyung-huyung Yang Mulia pergi keluar menuju balkon.
Untuk mengalihkan perhatian tiga pengawal, Tuan Zain berkata, "Yang Mulia tidak apa-apa, kalian tidak perlu khawatir. Langsung penjarakan dia di penjara bawah. Jangan lupa untuk menguncinya rapat-rapat."
"Baik, Tuan," sahut tiga pengawal itu. Mereka pun pergi sesuai perintah.
Sejak pergi meninggalkan Tuan Zain dan Sameer, Raja Firan berhenti di depan balkon kerajaan. Dia memandang kosong keramaian kota Reda yang sudah ia bangun dengan susah payah, bahkan sampai menghalalkan segala cara.
Tak lama, Tuan Zain menyusul Firan, berhenti di belakang untuk menghormati raja.
Jemari mengepal erat. Raut wajah Firan berubah, penuh tekanan dari masa lalu. "Seharusnya bayi itu sudah mati! Mengapa sekarang dia justru muncul di hadapanku?"
"Yang Mulia, saya pikir bayi dan assassin itu bukan orang yang sama. Mungkin—"
"Tidak, Tuan! Saya yakin dia bayi itu! Terutama bentuk matanya, sangat mirip. Saya seperti melihatnya bangkit dari kematian." Ketakutan mulai menyeruak. Firan tak dapat mengendalikan ekspresinya sampai bibir pun digigit untuk pelampiasan.
Tuan Zain melangkah sejajar. Dia menggenggam pagar berlapis emas di balkon itu. "Anda bisa mengandalkan saya, Yang Mulia. Ingat?"
Seketika kepalan tangan sang Raja mengendur. Napasnya mulai teratur kembali disertai tatapan mata yang mulai fokus. "Ya, Anda benar. Saya bisa mengendalikan siapa saja termasuk Anda."
"Selama Yang Mulia dapat memberikan semua yang saya inginkan. Saya dengan senang hati akan membantu Anda," sahut Tuan Zain melanjutkan.
Senyum remeh muncul begitu saja. Beliau menoleh lalu berucap lantang, "Maka dari itu saya tidak menerima kegagalan, Tuan Zain. Anda masih ingat soal perjanjian kita, bukan?"
Zain mengernyit. Tubuhnya mendadak menegang atas pertanyaan sang Raja. Sedangkan Raja Firan justru tertawa layaknya orang tak waras.
"Tenang saja, Tuan. Saya yakin Anda tidak akan gagal. Jadi tidak perlu setegang itu," cercanya dengan sebuah tepukan di bahu. Kemudian beliau meninggalkan Zain dengan senyuman yang begitu sombong.
Amarah membuat kedua tangannya terkepal. Zain menatap punggung sang Raja. Matanya tampak seperti ingin membunuh dari belakang.