Chereads / ADURA / Chapter 44 - Bab 42 — Sekutu

Chapter 44 - Bab 42 — Sekutu

Dengan rambut yang sebagian diikat ke belakang, Senna menghitung persediaan pangan di gudang. Mencatatnya pada lembaran paripus berwarna putih. Pena hitamnya bergerak-gerak seirama dengan bibir yang menghitung tumpukan bahan makanan di sana. Tak sengaja dia mendengar obrolan dua pelayan di depan pintu masuk gudang.

"Kau tahu tidak, Pembunuh Gurun yang selama ini jadi buronan akhirnya tertangkap!" seru seorang pelayan wanita sambil membawa keranjang cucian.

"Ah, yang benar?" sahut pelayan wanita lainnya.

"Saudaraku yang melihatnya langsung!"

"Terus, apa yang terjadi? Saudaramu bilang apa?"

"Dia bilang sih, gak terjadi apa-apa. Hanya saja, Yang Mulia Raja hampir terpenggal oleh assassin kejam itu jika Nona Pengawal Yena tidak menghalaunya. Katanya, Nona Yena pura-pura jadi pelayan untuk mengelabui. Keren, kan?"

"Woah, serius? Nona Pengawal memang selalu keren! Ah, aku jadi ingin seperti beliau."

"Kau harus menjadi Ksatria dulu jika ingin seperti Nona Pengawal!"

"Benar! Sekarang ini, hanya Nona Pengawal yang bisa menjadi Ksatria Wanita ...."

Semakin lama suara kedua pelayan mengecil dan hilang. Senna lantas melirik ke belakang dan mengintip kedua pelayan itu dari pinggiran pintu. Jarinya meremas erat sisi pintu kayu, kemudian berlari memasuki rumah menuju ruang kerja suaminya, Kazmer. Alas laki dilepas agar lantai rumah tidak kotor.

"Kali ini, aku tidak boleh gagal," gumamnya bersandar ke dinding dekat pintu sambil mengeratkan lembaran paripus di dada.

Setelah mengumpulkan keberanian, Senna mengetuk pintu tiga kali. "Tuan Kazmer, bolehkah saya masuk?"

"Ada apa? Aku sedang sibuk," sahut Kazmer dari dalam ruang kerja.

"Um, ini soal undangan dari Yang Mulia Raja," Senna menunduk menatap kaki tanpa alas, "saya berubah pikiran."

Pintu mendadak dibuka. Kazmer terlihat semringah mendengar ucapan Senna. "Kamu serius? Ekhm, maksudku ... kamu tidak apa-apa? Aku takut istri-istri para menteri mengolok-olokmu karena statusmu yang sekarang lebih rendah dari mereka."

"Tidak apa. Meski suamiku hanya seorang saudagar, tapi aku senang tinggal bersamanya," ungkap Senna sembari menampilkan senyum terbaik.

Guratan merah di pipi seketika menyembul keluar. Kazmer memeluk Senna sembari mengecup bibir ranum istrinya. Ia pun berbisik, "Aku baru tahu, istriku bisa menggoda seperti ini."

Bukannya membalas sindiran, Senna justru menelusupkan kepala di tengkuk Kazmer. Dirinya tak berkata apapun.

Melihat tingkah istrinya yang berubah manja berbeda dari biasanya, Kazmer seketika luluh. "Baiklah, aku mengerti. Aku akan membawamu besok."

"Sungguh?" Senna mendongak, manik indah itu berkedip membuat lawannya betah menatap lebih lama.

"Ya. Tapi, sebagai imbalannya kau harus melayaniku. Jangan menolak!"

Senna berteriak ketika tubuhnya dipangku Kazmer bagai karung. Terlihat raut panik dari wajahnya yang masih terlihat sangat muda. "Tu-tunggu, Kaze! Sekarang masih pagi!" pekiknya sambil meremas belakang rambut Kazmer.

"Cih, tak masalah. Bila perlu kita lakukan sampai malam," elaknya sambil memanggul Senna ke kamar.

Untuk sementara, Senna membiarkan Kazmer melakukan apa yang diinginkannya. Sementara, dirinya harus fokus pada tujuan awal, yaitu mencari seorang pemuda bernama Hazard.

***

Sesuai undangan sang Raja. Senna dan Kazmer menghadiri acara pengenalan calon istri raja, sebagai orang-orang penting di Kota Reda. Acara resmi diadakan sebagai pengganti tradisi Satu Hari Satu Malam. Memang sedikit unik, karena calon istri raja yang asli adalah seorang Ksatria Wanita bernama Yena.

Mereka, keluarga raja, keluar menuruni tangga. Istri pertama beserta putrinya Alisha, mengenakan abaya biru mewah berhiaskan emas murni bertabur permata. Pertanda keduanya adalah seorang perempuan terhormat dari kerajaan.

Begitu pun Leah, istri kedua raja. Beliau mengenakan abaya merah sembari menggandeng putranya, Haidar. Tentu saja Haidar mengenakan jubah satu warna dengan ibunya. Namun, kerupawananya tak terbantahkan. Tatapan yang tajam, bak serigala alpa yang mampu membius para gadis seumuran begitu melihatnya.

Sementara sang Raja sendiri dan calon istrinya, keluar terakhir sambil bergandengan. Yena begitu menawan dengan abaya kuning keemasan. Penata rias di baliknya sudah sangat sukses mengeluarkan aura kecantikan seorang Ksatria. Bahkan, malam ini, Yena tidak terlihat seperti gadis pengguna pedang. Raja Firan sendiri meski sudah tidak muda lagi. Garis-garis halus jambangnya masih terlihat. Menggambarkan betapa karismatik sang Raja Altair malam ini.

Sementara istri-istri Raja Firan yang lain, hanya menjadi penonton. Melihat dengan pandangan iri dengki pada Ratu Alika, Leah, dan Yena.

Pada Haidar sendiri, terasa aura kecemburuan yang begitu kental. Jemarinya berkali-kali mengepal dengan bergemeretak. Dari awal ia pulang ke istana, bukan untuk melihat ayahnya bersenang-senang seperti ini.

Sebenarnya tua bangka itu mau apa? Apa yang dia rencanakan? gerutunya dalam hati.

Haidar mencoba tenang selama acara berjalan. Sedangkan sang Raja terlihat sibuk berbincang-bincang dengan Raja dari Negeri Seberang. Termasuk Negerinya Tuan Putri Anyelir. Kebetulan, dirinya bertemu dengan sang Putri di balkon kerajaan.

Perlahan Haidar menghampiri sang Putri dan bertanya, "Anda sedang apa di sini, Putri?"

"Pangeran?" Putri Anyelir berbalik, raut wajahnya tampak tidak senang, "saya hanya sedikit tidak nyaman," lanjutnya dengan senyum yang dipaksa.

"Kenapa Tuan Putri tidak nyaman?"

Pertanyaan Haidar cukup mengusik suasana hatinya. Anyelir tak menyangka, Pangeran Haidar akan menanyakan tentang perasaannya lebih dalam.

"Entah, mungkin karena saya baru tahu rencana Ayahanda dan Yang Mulia Raja Altair." Tanpa sadar garis lengkung tercetak dibibir Anyelir.

Mereka berdua akhirnya menjadi akrab dan berbincang semalaman di balkon. Sedangkan Senna yang sejak awal sudah datang bersama Kazmer. Mencari celah agar bisa lepas dari genggaman suaminya.

Saat itu, giliran Kazmer yang berbincang dengan sang Raja. Senna lekas meminta izin ke belakang, beralasan ingin buang air kecil. Namun, nyatanya tidak begitu. Malam ini, dia berencana menemui Yena, sekutunya dalam membebaskan si Pembunuh Gurun. Orang yang diyakini adalah Hazard yang dicarinya.

Sebelum acara ini dilaksanakan, Senna sudah bertemu dengan Yena beberapa minggu yang lalu, pada perkumpulan para wanita terhormat yang dilaksanakan setiap sebulan sekali.

Yena terlihat murung saat itu, sama sekali tidak bergairah seperti yang lainnya. Itulah yang membuat Senna curiga, lalu membuntuti Yena yang memisahkan diri ke taman, dipenuhi air mancur buatan di Kerajaan Altair.

"Anda sedang apa?" Senna melangkah perlahan. Menghapus sedikit jarak dengan Yena.

"Ah, Nyonya Senna," seketika Yena berbalik, "rasanya ... saya sedikit kurang sehat," ungkapnya bersamaan dengan lengkung kesedihan yang jelas terukir dari bibir merah itu.

Senna melangkah lebih dekat lagi, dia menggenggam kedua telapak tangan Yena. "Anda tidak terlihat begitu."

Yena bergeming. Merasa tidak perlu bercerita terlalu banyak pada orang yang baru dikenal.

Namun, Senna tidak tinggal diam. Dia berucap lagi, "Jika ada sesuatu yang mengganjal di hati, saya siap mendengarkan."

Tatapan mereka pun bertemu. Senna berusaha meyakinkan dengan mengeratkan genggamannya. Pada akhirnya Yena mengedikkan bahu dan mengembuskan napas pelan.

"Ini mengenai nasib keluarga saya ...."

Sejak obrolan dimulai, keduanya makin akrab. Bahkan setiap minggu, mereka bisa bertemu sampai empat kali. Mengobrolkan banyak hal hingga masuk ke ranah pribadi.

Seperti hari ini, Yena mengundang Senna untuk menghadiri jamuan minum teh. Hanya berdua saja, berlokasi di taman istana dengan beralaskan tikar. Mereka berdua tampak bahagia dari kejauhan. Sangat berbeda ketika dilihat dari dekat.

"Jadi, Nyonya berharap saya menjadi sekutu Anda dan mengkhianati sang Raja?"

Senna mengangguk mantap, meg-iya-kan pertanyaan Yena.

Sementara Yena menyunggingkan senyum kecut. "Saya sempat memikirkan hal tersebut. Tapi masalahnya, adik dan ibu saya telah ditawan oleh beliau," tuturnya dengan nada tak bersemangat.

Raut wajah Senna sedikit ditekuk. Dia seperti bisa merasakan kesedihan lawan bicaranya. Rasa kehilangan yang begitu nyata diiringi dengan rasa sakit yang menyesakkan dada.

"Jika itu masalahnya saya akan berusaha menggali informasi tentang keluarga Nona," kalimatnya terhenti oleh helaan napas lalu menggeser posisi duduk lebih dekat. "Maka, hari ini saya ingin meminta kejelasan. Apakah Nona bersedia menerima tawaran saya?"

"Itu ...."

"Keluarga Anda mungkin baik-baik saja hari ini. Namun, tidak ada yang menjamin dihari berikutnya."

Yena diam. Dia mengeratkan genggaman tangan pada secawan teh. Apa yang dikatakan Nyonya Senna bisa jadi benar. Mengingat, Raja Firan sendiri telah memenjarakan Yena padahal dirinya sudah terbukti tidak berkhianat. Kemungkinan buruk seperti itu, jelas sangat mudah menjadi nyata.

"Kalau begitu ... saya ingin Nyonya membuktikan terlebih dulu. Kalau memang benar Anda bisa mendapatkan informasi tentang keluarga saya."

"Baiklah, saya akan berusaha sebaik mungkin Nona," ucap Senna tersenyum lebar. Dia menyesap teh hijau hangat dengan suasana hati yang bagus.

Kembali ke masa kini. Senna menemukan Yena yang sedang melambaikan tangan kearahnya di sekitar lorong panjang kerajaan. Yena tampak masuk ke dalam gerbang dua pintu dan membukanya sedikit agar Senna bisa masuk. Gerbang pun di tutup. Terpampanglah rak-rak besar dan tinggi berisi bahan pangan.

"Ini kan?"

"Ruang penyimpanan. Nyonya bilang lorong menuju ruang bawah tanahnya ada di ruang penyimpan bahan makanan, bukan? Hanya lorong yang ada di sini yang menyatu dengan ruang menyimpan bahan pangan, tidak ada yang lain. Dan liat, lorong itu tepat berada di depan," kata Yena sembari menengok tepat ke depan. Lorong itu yang mereka cari.

"Kalau begitu, silakan Nona yang memimpin," Senna.

Yena mengangguk, mereka berdua segera berjalan pelan melewati ruang penyimpanan menuju lorong yang terhubung ke ruang bawah tanah. Lorong tersebut tidak dijaga oleh pengawal kerajaan, karena lokasi yang tidak mencolok.

Kondisi lorong cukup gelap, sehingga keduanya berjalan bergandengan untuk mencapai ujungnya.

Mereka berdua berhasil sampai di pintu kayu yang sudah usang. Lalu meraba pintu itu, karena tidak membawa lentera dari awal untuk menghilangkan jejak.

Tiba-tiba bunyi kaca pecah mengalihkan perhatian. Yena langsung mendobrak pintu tersebut. Dan keduanya pun terjatuh ke lantai batu.

Suara pecahan kaca terdengar lagi. Makin membuat keduanya menegang hingga bulu-bulu kuduk berdiri dan ludah ditelan dengan kepayahan.