Chereads / ADURA / Chapter 41 - Bab 39 — Pergi dari Kota

Chapter 41 - Bab 39 — Pergi dari Kota

"Di mana Panglima Eden? Mengapa hanya kau yang datang?" tanya Raja Firan. Dengan didampingi Penasihat Zain dan Sameer di sampingnya.

Pandangan teralihkan pada Sameer. Syamsir heran, sejak kapan posisi Yena digantikan oleh pria itu? Rasanya baru kemarin sang Raja memenjarakan Yena. Jika tamu, tidak mungkin pria itu ada di sebelah raja sekarang.

"Panglima Eden tidak bisa datang Yang Mulia, karena terlalu banyak meneguk khamr. Jadi, saya tidak bisa membawanya kemari," jawab Syamsir memilih untuk tidak membahas pria di samping raja. Karena firasatnya mengatakan, akan ada hal buruk yang terjadi.

Syamsir mengamati Raja Firan yang diam, sementara Penasihat Zain tampak membisikkan sesuatu pada Sameer. Ini makin memperkuat dugaannya. Dan benar saja, sebuah belati mendadak dilempar. Senjata tajam itu menancap ke pintu, hampir mengenai jantung bila Syamsir tak mengelak ke samping. Itu adalah belati milik si pria berjaket kulit—Sameer.

Syamsir menggertakkan gigi lalu menatap tajam sang Raja dan penasihatnya, "Apa ini maksudnya Yang Mulia?"

Seringai tampak di bibir sang Raja. Beliau mengangkat tangan, mengisyaratkan masih ada seseorang di belakangnya. "Bicaralah, katakan semua yang kau lihat hari ini."

Dari belakang rak buku, keluar seorang pelayan wanita. Tatapannya tidak seperti pelayan lain yang sering Syamsir lihat. "Tuan Syamsir penyusup Yang Mulia! Saya saksinya!"

"Haha, jangan bercanda. Memangnya apa yang kau tahu tentangku?" Syamsir berusaha membela diri dan berpura-pura tenang. Ia berkeliling di tengah-tengah ruangan pribadi raja dan menunjuk-nunjuk si pelayan tanpa segan. "Pasti, kau! Ingin menjebakku, bukan? Kau penyusupnya!"

Pelayan tersebut sangat jelas tampak ketakutan. Dia menggeleng dengan tangan mengepal di dada. "Tidak! Tidak Yang Mulia! Saya berkata jujur. Saya melihat dengan mata kepala sendiri, kalau Tuan Syamsir membunuh semua prajurit termasuk tunangan saya."

Seketika Syamsir membeku. Jangan-jangan orang yang dimaksud pelayan tersebut adalah saudaranya, Syamsi. Diamnya Syamsir yang mendadak, menambah kuat pengakuan si pelayan.

"Sameer, kau tahu pasti apa yang harus kaulakukan," gumam sang Raja memerintah. Sameer langsung mengeluarkan belati dan maju sendiri, cukup membuat Syamsir gemetar.

"Bagaimana ini. Tuanmu lebih mempercayai pelayan yang tunangannya mati," cela sang Raja seraya bangkit dari duduk, "kau sudah tidak bisa berbohong."

Akan tetapi, bukannya takut, dengan sekejap mata sebuah pedang bermata tajam keluar dari persembunyian. "Baiklah, jika memang harus mati di sini, tak mengapa. Ayo maju kau, k e p a r a t!"

Cemoohan Syamsir tak digubris. Sameer justru tersenyum remeh dan melesat cepat ke arah Syamsir. Belati dan pedang saling beradu. Keduanya memiliki kekuatan yang sama besar.

Sameer menangkis berkali-kali ayunan pedang lawan dengan satu belati. Membuat Syamsir terpental ke belakang, celah itu Sameer gunakan untuk mencabut belatinya dari pintu. Kemudian menangkis kembali tebasan pedang Syamsir. Sorot mata mereka saling bertemu. Keduanya berkeinginan membunuh satu sama lain.

Pergerakan pedang berhasil ditangkis oleh dua belati. Syamsir terjengkang dan pedangnya terlepas dari tangan. Karena menabrak rak, buku-buku berjatuhan menimpanya. Darah segar dimuntahkan begitu saja.

Sameer sukses menancapkan satu belati ke perut musuh. Syamsir baru menyadari ketika lengannya meremas perut, lengket dan anyir. Seketika gigi bergemeretak saat menatap cairan merah menempel di telapak. Batuk berdarah pun tak dapat dihentikan.

Samar-samar, sang Raja mendekat, kemudian memanggil pengawal yang ada di luar. "Bawa dia dan kurung di Penjara Penghakiman."

Syamsir sudah tak sanggup untuk membuka mata, dirinya langsung pingsan tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Akan tetapi...

"Jadi kau hanya bersama Panglima Eden semalaman?"

Kedua mata berkedip-kedip dengan wajah bodoh mendengar pertanyaan Raja. Syamsir menjawab dengan cepat, "Benar, saya sama sekali tidak tahu adanya penyusup. Karena malam ini, saya dan Panglima Eden sedang bersantai sambil menikmati khamr di kedai."

Ternyata penyerangan sebelumnya sekadar khayalan Syamsir semata dan tidak nyata. Saat melirik, seorang pelayan wanita mendadak ada di samping, membuatnya sedikit terhenyak. Namun, pada kenyataannya pelayan itu sama sekali tidak mengetahui siapa yang menyerang istana.

Pelayan hanya melihat sebuah panah berkali-kali tertancap pada tubuh para prajurit yang menjaga penyusup termasuk tunangannya. Dia yang merasa terancam, langsung bersembunyi di bawah pohon dan semak untuk menghindari panah menyasar dirinya. Ketika tak ada lagi suara panah melesat, tubuhnya merosot.

"Lalu bagaimana denganmu, sungguh tidak tahu wajah orang yang menyerang istana?"

"Tidak, Yang Mulia."

Saat itulah Syamsir kegirangan, tapi berusaha menahan diri karena masih berhadapan dengan Yang Mulia Firan dan kaki tangan barunya.

***

Di kota Mitri. Rombongan Pangeran Harith sudah bersiap-siap untuk pergi. Karena penyerangan secara sembunyi-sembunyi menimbulkan kegaduhan yang cukup mengancam keberadaan mereka.

"Bagaimana dengan persediaan senjata yang ada di ruang bawah tanah?" tanya Harith. Dia berjalan beriringan dengan seorang Ketua Pengawal, memastikan semuanya bekerja dan tidak ada yang bersantai-santai.

"Sudah kami periksa, Pangeran. Kualitas senjata yang ada di sini cukup baik."

"Hm, bagus bagus," Harith mengangguk setuju seraya mengelus dagu, "sepertinya kita bisa pergi sekarang, bagaimana?"

"Sebelum matahari terbenam kita sudah bisa pergi dari sini."

Pangeran tersenyum, berbasi-basi sedikit kemudian berjalan keluar dari ruang bawah tanah. Hanya butuh berkedip sekali, Hazard sudah ada di depan muka. Membuat dadanya terasa nyeri karena terkejut.

"Kau! Tidak bisakah muncul dengan biasa saja?" protesnya seraya mengusap dada yang isinya hampir meloncat ke luar.

"Maaf, Kak. Tapi saya harus menyampaikan ini."

Manik keemasan itu menyipit. Harith membenarkan cara berdirinya seperti sebelum dikagetkan. "Menyampaikan apa?"

Tangan kanan meraih sebuah barang dari belakang tubuh. Hazard memperlihatkan segenggam pil mera kepada Harith. "Pil ini bisa dipakai untuk obat bagi orang-orang yang terluka, lebih baik simpan beberapa, jika kurang kakak bisa memintanya lagi."

"Kau mendapatkan pil seperti itu dari mana? Aku baru pertama melihatnya."

Pertanyaan yang cukup membuat Hazard berpikir keras. Lalu dia menjawab, "Saya membelinya dari penyamun yang lewat. Dan saya juga sudah mencobanya, jadi tidak ada keraguan tentang khasiatnya."

Harith mengangguk mengerti. Dirinya langsung menerima pil itu tanpa ragu. "Baiklah, terima kasih. Sejujurnya sesuatu seperti ini sangat dibutuhkan. Pil ini akan aku simpan dengan baik," katanya seraya tersenyum sangat tulus. Tidak ada keraguan sama sekali.

Keduanya lekas berjalan keluar rumah mendiang Walikota, sambil sedikit berbincang-bincang. Harith pun menyerahkan pil pada pelayan wanita, yaitu Kaila. Dia memerintah Kaila untuk menyimpan pil ke dalam Kotak Obat. Laila langsung mematuhi perintah Harith dan pergi dengan membungkuk sopan.

"Tampaknya ia menyukaimu, Kak."

Ucapan Hazard sungguh diluar dugaan. Harith sampai terbengong-bengong dibuatnya. "Begitukah?" timpalnya.

"Iya, dia terlihat seperti itu. Menyukaimu, begitu," jelas Hazard dengan memperagakan kedua telunjuknya sebagai Harith dan Kaila.

Maniknya begitu fokus memperhatikan gerakan tangan Hazard. Harith langsung setuju dengan penjelasan adiknya. "Mungkin kamu benar. Terima Kasih sudah memberitahu," ucapnya sembari menepuk punggung Hazard dengan mantap.

Sejujurnya Hazard tidak mengerti maksud dari rasa 'terima kasih' kakaknya. Namun, Harith terlihat sangat senang ketika mendengar ucapannya tadi. Jadi, ia menyimpulkan ... Harith pun menyukai pelayan tersebut.

Mereka melanjutkan perjalanan menuju prasmanan, mengambil sendiri jatah makannya. Harith memang sudah terbiasa begitu. Tidak membuat sekat dengan bawahannya sendiri.

Baru saja ingin duduk di bangku panjang, Hazard mendadak bertanya, "Kakak sudah menyatakan perasaan pada pelayan itu?"

Lagi-lagi, sesuatu yang keluar dari mulut Hazard selalu tak terduga. Bahkan pertanyaan itu sanggup membuat keseimbangan Harith oleng sesaat, hampir menjatuhkan piring berisi roti pipih dan lauk pauknya.

"Yah ... belum, mungkin tidak akan. Sudahlah, lebih baik kau makan saja. Setelah ini kita akan segera pergi sebelum matahari terbenam." Jawabannya tampak kesal. Harith menekan-nekan sepiring makanan miliknya dengan sendok lalu melahap tanpa ragu.

"Hm, baiklah. Tapi, kakak sungguhan suka padanya, kan?"

Ok, kali ini Harith langsung tersedak makanan sendiri. Ia meraih gelas dan meminum isinya dengan rakus. "Hah, kau ini ...."

Hazard menatap keadaan kakaknya dengan tampang suci tak berdosa. "Kenapa denganku?" sahutnya keheranan.

"Bisa tidak jangan dibahas lagi? Dalam keadaan seperti ini bukan saatnya untuk memikirkan hal itu."

Hazard pun setuju. Ia lekas melahap jatah makannya dengan tenang. Akhir dari pertanyaan yang membuat Harith tak berkutik. Karena kenyataannya hasil analisis Hazard tidak ada yang meleset. Keduanya saling menyukai tapi tak ada yang berani memulai.

🍂🍂🍂

Sore hari, rona kuning kemerahan sudah berpendar di langit luas. Ketika membuka mata, Eden mendapati dirinya terikat dengan ketat di sebuah ruangan tertutup. Dia tidak terlalu ingat kejadian sebelumnya. Terakhir kali sadar, dia sedang minum bersama dengan Syamsir. Namun, sekarang dirinya justru sendirian di ruangan ini.

"Argh! Kepalaku...," erangnya sambil menggeleng kuat, karena sisa-sisa alkohol masih bereaksi.

Saat itu, seorang paman membuka pintu. Lalu mendekati Eden, membawakan segelas susu murni sebagai penetralisir alkohol. Ikatan pada tubuh Eden pun segera dilepas.

"Minum ini, Panglima. Supaya rasa sakitnya cepat hilang," ucapnya sambil menaruh gelas itu di samping Eden.

Tanpa kata, susu di minumnya hingga habis. Eden langsung memberikan gelas pada si paman dengan mengusap kasar susu yang tersisa di bibir.

Dia bangkit beriringan dengan si paman. "Terima kasih, tapi pria yang bersama saya ke mana?"

"Saya tidak tahu pasti, Panglima. Tuan itu hanya menyuruh saya untuk menjaga Anda jangan sampai kabur."

Eden lekas berpamitan pada si paman setelah membayar dulu pesanannya. Dalam perjalanan ke kediaman Syamsir, banyak sekali ingatan yang tiba-tiba muncul saat diri sedang tak sadar. Rasanya malu, sampai membuat kedua pipi bersemu.

Namun, bukan Syamsir yang dia temui, justru para prajurit suruhan raja yang ada di sana. Mereka terlihat mencari sesuatu di rumah Syamsir.

"Ada apa ini? Mengapa kalian tidak sopan, menggeledah rumah yang tidak ada pemiliknya?"